“Confessions” adalah seri artikel VICE memuat cerita pengalaman pribadi yang disembunyikan banyak orang, terutama soal kesehatan mental, fobia, dan bermacam pikiran gelap. Melalui pengakuan para narasumber dalam seri ini, redaksi berharap pembaca sekalian bisa mendapat inspirasi, keberanian, serta perasaan lebih ringan menghadapi problem-problem kejiwaan yang sedang dihadapi. Sebab, seunik apapun ketakutan, depresi, trauma; atau seaneh apapun pengalaman seseorang dalam hidupnya, selalu ada orang di luar sana yang mengalami hal serupa—kalian tidak sendirian.
Suatu hari di April 2015, Ale* merasa diburu aparat pemerintah Indonesia. Dia sedang menumpang pesawat rute Yogya-Makassar. Pesawat telah mendarat di bandara Makassar. Seperti biasa, penumpang disuruh menunggu sejenak sebelum dibolehkan turun. Ale berpikir pengumuman agar penumpang tetap di kursi karena dia akan ditangkap.
Videos by VICE
Dia yakin aparat pemerintah setempat tak mengizinkannya menginjakkan kaki di Sulawesi, karena ia sering membuat tulisan-tulisan kritik politik di laman media sosial miliknya. Ia berpikir, mestilah pemerintah khawatir ia bakal membuat keributan dengan kritik-kritik politiknya itu di kampung halaman nanti.
Ini bukan kali pertama Ale naik pesawat, seharusnya ia tahu ketika pesawat mendarat, penumpang sesuai protokol standar harus menunggu sejenak sebelum diizinkan turun. Tapi hanya alasan pengejaran aparat tadi yang ada di kepala Ale.
Dia tercatat sebagai mahasiswa Jurusan Akuntansi salah satu kampus di Yogyakarta angkatan 2013. Di antara tetangga sekitar huniannya, ia dikenal sebagai pemukim Asrama Mahasiswa perantau salah satu kabupaten di Pulau Sulawesi. Di antara teman-teman Yogya, dia dikenal karena pembawaannya sering senyum dan gemar menyimak diskusi politik para mahasiswa.
Tanpa banyak orang tahu, di salah satu rumah sakit Makassar, Ale punya identitas lain: pasien dengan vonis gangguan jiwa jenis skizofrenia.
Berikut penggalan kisah hidupnya dari penuturan teman dekat, yang ditulis ulang seizin Ale.
Kami berteman sejak 2014, ketika ia belum sakit. Ale relatif sehat di tahun itu dan sebelum-sebelumnya. Jika dia sedang ada di kerumunan dan saya diminta seorang asing untuk menunjukkan yang mana Ale, saya akan bilang, “Yang badannya agak kecil, pakai gelang tali di tangan, kumisnya tipis, rambut ikal dicukur pendek. Orangnya tak banyak omong dan kalau menatap orang lain, akan tersenyum. Kalau mau gampang, kamu teriakkan saja namanya, ‘Ale!’ Dia pasti akan menengok.”
Ale tinggal di salah satu asrama mahasiswa di Kota Yogyakarta. Sebuah kompleks dengan lima bangunan yang sebagian berlantai dua. Kolektif mahasiswa di sana dipimpin Pace*, si ketua asrama sekaligus teman saya yang mula-mula.
Pace mahasiswa Ilmu Komunikasi di satu kampus swasta, tetapi cenderung mengabaikan kuliahnya untuk rutin berpartisipasi di satu kelompok kesenian tradisional yang ia ikuti, membaca buku, serta mengikuti diskusi-diskusi kebudayaan. Oleh karena ia punya tampang agak mirip Cak Nun, kadang saya memanggilnya “Budayawan.”
Kegiatan luar kampus membuat Pace punya banyak sekali teman dengan berbagai latar belakang. Tahun 2013 kegiatan ala budayawannya bertambah dengan mengikuti diskusi politik. Ia jadi semakin mirip Cak Nun.
Kolektif diskusi politik dan buku ini tak punya tempat tetap, agenda mereka digelar dari satu warung kopi ke warung kopi lain. Atau, sejak Pace bergabung, dari warung kopi ke asramanya karena di sana ada sebuah gazebo lumayan luas. Ketika asrama makin lama makin sering menjadi titik kumpul, saat itulah Ale tahu-tahu sudah mengambil peran sebagai peserta pengamat.
Yang dimaksud sebagai peserta pengamat adalah orang yang tadinya mungkin tak tertarik ikut diskusi. Masalahnya, kalau dari kamar ia mau ke kamar mandi, ia harus melewati gazebo. Kalau dari kamar ia mau ke dapur atau keluar asrama membeli rokok, Ale pun harus melewati orang-orang yang sedang bersila di gazebo. Tahu-tahu Ale sudah duduk di gazebo juga.
Ia biasanya duduk di tempat yang agak pinggir. Sambil merokok, ia bersila atau menekuk kaki di depan dada. Menyimak.
Lama-lama Ale menjadi anggota kolektif diskusi tersebut. Ketika tempat baru untuk berkumpul ditemukan, ia kini ikut datang dan menjadi peserta aktif, membaca berbagai buku filsafat dan politik, termasuk Das Kapital yang kesohor itu. Ale juga menjadi saksi atas waktu yang berlalu, atas perdebatan dan pertengkaran yang sesekali terjadi, candaan internal internal yang ditemukan untuk kemudian diulang-ulang. Ale pun turut menyaksikan kolektif berjalan sesuai watak alamiahnya: ada anggota yang mulai merasa tak cocok lalu pergi, tapi sebagian besar bertahan karena semakin mencintai kolektif ini.
Diskusi, apalagi diskusi politik, sudah semestinya kadang panas, kadang membosankan. Diskusi yang penting akan menjadi pikiran yang dibawa pesertanya pulang. Jika seseorang mengikuti diskusi kemudian seminggu atau sebulan setelahnya ia masih terus memikirkan persoalan-persoalan yang dibahas, yang demikian bukan hal aneh.
Namun, Ale membawa pulang keresahan yang membuatnya terus dan terus berpikir. Keresahan itu adalah daun kering, di dalam kepalanya yang terus berpikir terdapat api. Suatu ketika Ale terbakar.
Ale makin sering gelisah. Perasaannya tak menentu. Kata-kata beberapa orang dalam diskusi terus membayang di benaknya, merasa kondisi politik Indonesia tidak baik-baik saja. Jauh dari ideal. Ia selalu ingin marah. Ia mulai tidak bisa membedakan kenyataan dari khayalan. Ia, misalnya, merasa melihat dalam benaknya Tugu Jogja diratakan oleh buldozer. Ia yakin itu memang terjadi sehingga buru-buru pergi dari asrama untuk mengecek. Tugu Jogja masih baik-baik saja, berdiri tegak di perempatan.
Pace adalah salah satu orang yang pertama Ale ceritai masalahnya. Katanya, kepalanya panas dan otaknya terus bekerja. Ia minta saran bagaimana cara agar bisa berhenti mikir. Tapi Pace bingung. Ia belum pernah menghadapi persoalan macam ini dialami anggota forum diskusinya.
Di lain hari Pace melihat Ale ketika pulang dari bepergian, langsung mengurung diri di kamar. Membaca buku sambil menyetel keras-keras pidato Sukarno. Di lain hari ia melihat Ale membuang buku-bukunya.
Sakitnya Ale akhirnya diketahui semua penghuni asrama. Keluarga lantas meminta ia pulang kampung. Dari Yogyakarta, Ale terbang ke Makassar dan mengalami kejadian di pesawat tadi. Dari Makassar, keluarga menjemput dan membawanya ke kampung. Namun, ia terus marah-marah di rumah sehingga keluarga membawanya kembali ke Makassar. Kali ini ke dokter jiwa. Vonis dokter, ia mengidap skizofrenia.
Sejak kepulangan itu, Ale tak pernah kembali ke Jogja. Sekolahnya putus. Sekarang ia tinggal di kampung halamannya. Dari media sosialnya saya mengikuti kehidupan Ale. Beberapa tahun lalu ia menikah, kemudian punya anak dan bercerai. Belum lama ini ia diterima sebagai pegawai di sebuah stasiun pengisian dan pengangkutan bulk elpiji (SPPBE) dan sedang menunggu wabah corona mereda sebelum mulai bekerja.
Ini akan menjadi pekerjaan tetap pertamanya setelah sekian lama serabutan. Ia mengaku relatif lebih sehat. Tapi untuk itu, ia cukup lama berjuang yang pada satu titik membuat Ale sadar, ia memperbesar tekadnya untuk sembuh.
Ale semakin membaik karena telah menemukan cara untuk meredam api di kepalanya.
Pekan lalu adalah kali pertama kami ngobrol berdua secara khusus membahas persoalan kejiwaannya. Kami bicara di WhatsApp.
“Gimana rasanya waktu penyakit itu pertama kali datang?”
“Pertama kali rasanya resah, pengin ngamuk enggak jelas aja. Rasanya aku kayak mayat berjalan. Belakangan, ketika aku merasa kambuh, misal aku main domino di luar rumah, pikiranku malah ke mana-mana. Tatapan mata lurus terus. Kalau sudah gini pasti aku pulang minum obat.”
Di awal-awal pengobatan, Ale langganan datang ke rumah sakit, kontrol kepada psikiater dan mendapat resep obat.
Buku dan diskusi-diskusi itu bukan satu-satunya pemicu stres yang membuat Ale sakit. Ia punya masalah lain, yakni problem keluarga yang sudah berlangsung bertahun-tahun. Sempat membaik, stres kembali kerap datang setelah ia menikah. Begitu pernikahannya berakhir, ia mendapat motivasi untuk berjuang sembuh.
“Aku berjuang sembuh setelah capek tiga kali dikarantina di rumah sakit. Caranya dengan rajin minum obat, terus tidak terlalu berpikir yang menimbulkan stres berat. Waktu belum nikah dulu, stresku biasanya dipicu masalah keluarga. Setelah nikah, pas mau punya anak eh kambuh lagi itu sakit. Misalnya ketika aku berpikir anak dalam kandungan itu pasti cewek, tanpa aku USG. Aku juga yakin lahirannya pasti normal. Aku seperti mendahului Tuhan gitu.
“Akibatnya, aku sama sekali tidak mau pergi mengantar proses lahirannya, aku malah berdiam diri di kamar saja. Semua orang sibuk, aku mengunci diri di kamar. ‘Sudah! Kalian pergi saja, anakku pasti cewek,’ aku bilang begitu. Pas lahiran, kakiku dirantai, tidak dibiarkan pergi ke mana-mana dulu. Itu kali pertama dan semoga terakhir aku diperlakukan kayak binatang.”
Sejak 2018, ia merasa makin membaik. Kunjungan ke psikiater dihentikan, diganti hanya minum obat yang perlahan terus dikurangi dosisnya.
“Kuncinya, kalau perasaan itu mulai datang, segera saja minum obat. Sejak saat terakhir aku masuk RS, aku rajin minum obat. Sebab, kemarin-kemarin kalau sudah keluar rumah sakit [untuk karantina], lepas RS [aku] lepas obat juga. Akibatnya jadi bolak balik.”
Ia juga sudah tahu membaca buku-buku dengan tema berat dan memikirkan masa depan bangsanya bisa membangkitkan stres. Sehingga kini memilih menghindar.
“Jadi sekarang aku hidup untuk hari ini aja dan sedikit sekali berpikir masa depan.”
“Dan itu membuatmu lebih bahagia?”
“Sangat bahagia.”
*Nama-nama narasumber disamarkan untuk melindungi privasinya