Genderuwo Si Monster Maniak Seks Pengincar Istri Kurang Kasih Sayang, Adalah Simbol Ego Patriarki

Ilustrasi Genderuwo

Kami percaya cerita-cerita hantu yang khas Indonesia tidak begitu saja muncul dari ruang hampa. Sebagai folklore, cerita-cerita itu adalah ekspresi kultural suatu masyarakat tertentu, yang diteruskan dari mulut ke mulut, dari generasi satu ke generasi berikutnya. Dalam banyak kasus, cerita hantu bahkan punya peran sosiologis, peran yang jauh lebih besar daripada menakut-nakuti bocah semata. Analisis, cerita, dan telaah kami mengenai hantu-hantu Indonesia itu kami rangkum dalam seri Cerita Hantu VICE yang dirilis untuk meramaikan Pekan Halloween 2018. Selamat membaca!


Dari dulu, sudah menjadi rahasia umum bila manusia diam-diam punya fantasi ngeseks dengan monster. Obsesi tersembunyi bisa menjelaskan kenapa film The Shape of Water menggondol empat piala Oscar tahun ini, saga Twilight mengeruk lebih dari US$3 miliar di box office atau kenapa Beauty and the Beast masih jadi sejoli fiktif paling terkenal nyaris 300 tahun setelah Gabrielle-Suzanne Barbot de Villeneuve menuliskan cerita tentang seorang perempuan muda cantik yang kepincut sesosok monster pangeran yang mengasingkan diri karena wajahnya mirip singa berbulu.

Videos by VICE

Di Indonesia sendiri, tak ada yang lebih sahih mewakili fantasi seks bestial kita selain makhluk gaib (atau hantu?) bernama Genderuwo. Dalam berbagai cerita rakyat, Genderuwo digambarkan sebagai makhluk dengan dorongan seksual yang tak bisa ditandingi manusia manapun, gemar menggoda perempuan, memberikan mereka kepuasaan seksual tanpa tanding, terutama saat korbannya tak sadar. Seringkali, Genderuwo menyaru sebagai suami seorang perempuan. Bedanya, dia lebih perkasa di atas ranjang. Celakanya, korban umumnya tak bisa menampik rayuan Genderuwo untuk berhubungan seks.

Konon, Genderuwo senang sekali menepuk pantat atau mengelus-elus tubuh perempuan yang terlelap tidur. Target favoritnya adalah janda atau istri-istri bosan lantaran tak mendapat perhatian suaminya. Namun, Genderuwo bisa bersemayam di rahim seorang perempuan. Seumpama ini terjadi, maka perempuan itu berubah jadi maniak seks yang getol bermain serong guna memuaskan dahaga seks sang Genderuwo.

Dengan penampakan aslinya yang menyeramkan, Genderuwo ditakuti. Akan tetapi, di saat yang sama, performanya di atas ranjang diam-diam didambakan banyak orang. Dan, jika dilihat dari betapa populernya cerita-cerita tentang makhluk satu ini, rasanya stok cerita tentang Genderuwo tak habis dalam waktu dekat. Lagipula, saat kita hidup di zaman yang melumrahkan erotika monster atau “Big Foot Porn,” jika otak kalian lumayan ngeres, Indikasinya? Banyak kok.

Di Amerika Serikat, novel-novel erotis pendek tentang makhluk sejenis ular berhubungan seks dengan perempuan laris bak kacang goreng, mencatatkan angka penjualan hingga $30.000 (setara Rp454 juta) dalam satu bulan saja. Sementara itu, dua orang mahasiswa di AS punya uang jajan lebih banyak dari kawan-kawannya lantaran menulis fantasi seks dengan dinosaurus. Adapun di Rusia, sebuah akun Instagram memasang foto-foto perempuan Rusia yang bergelendotan dengan seekor beruang beneran.

Namun sebelum muncul cerita soft-porn ngetren macam ‘Cum for Bigfoot’, sudah ada cerita-cerita tentang Genderuwo. Malahan, beberapa ahli sejarah meyakini asal-muasal dari legenda Genderuwo bisa ditarik hingga Kerajaan Persia—yang berarti Genderuwo adalah nenek moyang dari erotika monster. Berbeda dengan versi-versi monster erotika modern, Genderuwo tidak perlu ratusan halaman muter sana-sini sekadar buat mencapai, ehem, klimaks. Dia menggoda perempuan, meniduri mereka, kemudian membuat mereka orgasme. Titik.

Memang, semua ini problematis. Biarpun kebanyakan genre erotika monster ditulis oleh perempuan, genre ini juga seringkali mengandalkan pemerkosaan dan dominasi seksual. Genderuwo pun sama. Dia menggoda perempuan menggunakan hipnosis monster, dan bahkan meniduri mereka ketika mereka tidak sadar. Lah terus gimana cara perempuan bisa merasakan seks penuh nikmat kalau dia sadar aja enggak?

Genre porno monster ini melanggengkan narasi bahwa perempuan tidak berdaya di hadapan kejantanan seksual laki-laki—bahwa mereka senang dibawa dan “dibantai” di ranjang, entah oleh manusia atau makhluk lainnya. Ini gambaran ego budaya patriarki. Bahwa laki-laki yang harus berperan aktif dalam setiap seks. Dalam narasi macam ini, semakin beringas lelaki, semakin besar kenikmatan yang dirasakan perempuan. Bukankah ini juga semacam refleksi terhadap kultur pemerkosaan yang berkembang di masyarakat kita sekarang?

Tapi erotika harus diakui memberi sebagian kuasa bagi perempuan. Mereka jadi mampu memiliki kendali atas situasi seks yang tabu, mengingat kebanyakan penulis genre ini adalah perempuan. Banyak cerita-cerita erotika, termasuk yang nyerempet soal monster-monsteran, merupakan ekspresi dari keinginan dan fantasi penulis, tidak peduli seberapa aneh ceritanya. Misalnya Seks Dengan Robot Suami Dengan Anatomi Sempurna atau melakoni BDSM bersama Monster Centaur.

Cuma, apalah hak saya menghakimi fantasi ibu-ibu rumah tangga yang bosan dan ingin skidipapap bareng Genderuwo? Kalau memang itu yang bikin mereka hepi, kenapa saya harus sewot.

Cuman, kalau boleh usul nih, tampaknya kita di Indonesia butuh seri cerpen atau komik erotika tentang Genderuwo perempuan yang gemar meniduri laki-laki yang sedang tidak sadar di rumahnya sendiri nih. Supaya seimbang gitu, enggak bias ego patriarki melulu.