Cara menemukan musik yang tak pernah kita dengar sebelumnya, beberapa tahun lalu, sederhana banget loh. Sesimpel ngorder ojek online atau ngisi pulsa ponsel. Kamu hanya perlu beranjak ke toko musik terdekat—Disc Tarra, misalnya. Sesampai di toko kaset, kamu tinggal ngeloyor ke sesi “album baru.” Beres deh.
Atau kamu juga bisa bisa bereksperimen. Caranya masih sama: datang ke toko musik terdekat—syukur-syukur yang kurang mainstream, tapi koleksinya variatif. Mereka punya CD, kaset sampai buku. Bedanya, hindari bagian album baru. Langsung jajal album-album yang jarang disentuh. Cari album dengan cover paling bikin penasaran. Beli, bawa pulang, dan langsung setel begitu tiba di rumah. Dengan cara ini, kalian bisa memperluas wawasan musik kalian—perkara album baru itu nyantol di otak kalian atau kalian langsung lego lagi, itu masalah belakangan.
Videos by VICE
Cara lain yang bisa ditempuh adalah minta referensi dari teman, kakak atau siapapun yang kalian anggap lebih ngeh musik. Malu? Sabar masih ada opsi berikutnya: buka sampul kaset kesayangan kalian. Kadang-kadang, sebuah band bermurah hati menyebutkan band-band obscure yang jadi inspirasi mereka atau setidaknya membariskan nama-nama band kawan-kawan seperjuangannya. Catat dan buru album-albumnya.
Begitulah, jika kalian lahir sebelum dekade ‘90an seperti saya, beginilah cara kami menemukan musik baru: saya menemukan Puppen dan Biohazard, misalnya, dari sampul album Pyscho ID-nya Pas Band. Saya sampai pada The Dillinger Escape Plan lewat sampul album War All The Time-nya Thursday. Lalu, pernah juga saya beli album Giant Sand yang saya sangka musiknya progressive rock. Dugaan saya meleset jauh.
Giant Sand bukan Gentle Giant. Mereka main americana/folk. Tapi saya enggak nyesel sama sekali. Dari situ toh, saya pelan-pelan merambah album-album Bonnie ‘Prince” Billy. Intinya, tak ada yang salah dengan menemukan musik baru—lagian kalau enggak cocok, dulu sih opsinya enteng: album fisiknya ditukar atau dijual lagi.
Penemuan musik baru juga bisa diakomodasi oleh siaran radio. Misalnya, jika kalian sempat hidup di Jakarta barang 15 tahun lalu. Ada Cutting Edge—siaran radio yang diampu oleh Ditta Wahab dan Sammy Bramantyo—pernah jadi muara single-single indie (istilah ini masih boleh dipakai enggak sih?) tergress di masanya. Di Solo, seorang kawan menjadikan siaran ‘Solo Rock Bergema’ yang diasuh Stephanus Adjie (sekarang jadi vokalis Down For Life) sebagai radar instan pemantau band/solois anyar di blantika musik non-mainstream setempat. Intinya, siaran radio macam ini lazim ditemukan di kota-kota lainnya di Indonesia, atau seluruh dunia.
Nah, pengalaman menemukan musik baru seperti yang sudah dijabarkan sebelumnya jelas tak dialami Gen Z—julukan untuk generasi setelah millenial yang lahir mulai 1996. Bagi generasi bungsu ini, semua yang mereka perlukan begitu dekat. Tinggal sentuh, tersedia. Dari beli tiket melancong ke seluruh dunia, memesan ojek online, sampai filter yang bikin wajah mereka semirip alien. Begitu juga dalam perkara mencari musik baru.
Gen Z cuma perlu memencet tombol digital di ponsel pintar. Tentu, pergeseran cara mengonsumsi musik ini sudah pernah panjang lebar dibahas. Sudah pasti dalam bahasan-bahasan tersebut, ada saja yang buru-buru menangisi matinya musik murni (apapun itu maksudnya). Perubahan cara “berburu” musik ini juga dirasakan imbasnya oleh para musisi dan anak band. Menggubah musik kini bukan melulu bikin riff yang memorable, komposisi yang catchy, lirik yang jenial tapi juga menemukan aspek apa yang bikin Gen Z bertahan mendengarkan satu lagu mereka.
Patut dicatat, cara mengonsumsi musik di era algoritma Spotify ini enggak serta-merta bikin Gen Z durjana dari generasi-generasi pendahulunya. Buktinya, mereka toh sudah punya pahlawannya sendiri dalam sosok seperti Ariana Grande, Brockhampton, The 1975 sampai Hayley Kiyoko. Merekalah yang mewakili sifat terbuka dan inklusif Gen Z (Brockhampton misalnya terdiri dari orang dengan ras dan orientasi seks yang beragam.)
Sayangnya, berkembang semacam stigma yang menggambarkan Gen Z sebagai generasi yang kurang menghargai musik. Mentang-mentang mereka tak lagi tertarik mengoleksi CD/Plat dan mengonsumsi musik lewat layanan streaming, Gen Z disangka tak begitu peduli tentang perkembangan musik. Jelas, ini asumsi yang sok tahu lagi sembrono. Gen Z mencintai musik sama dalamnya seperti generasi Baby Boomers, Gen X dan Millenial.
Guna memastikannya, kolega saya dari VICE UK menemui sejumlah remaja untuk tahu seberapa pentingnya musik bagi mereka, bagaimana mereka menemukan musik dan kriteria apa yang mereka terapkan dalam memilih musik baru dalam tsunami musik di era streaming saat ini.
Keir Bradwell, 18 Tahun
Noisey: Hi Kier! Bagaimana caranya kamu menemukan musik baru di zaman sekarang?
Dan: Aku sih pakai Twitter dan medsos untuk menemukan musik baru soalnya aku enggak suka-suka amat lagu-lagu yang dikurasi Apple Music.
Kok kamu lebih milih medsos daripada playlist layanan streaming? Menurut saya sih, playlist layanan streaming itu lumayan membantu tapi ya gitu deh, kita kayak dicekokin algoritma…
Selera musikku lumayan spesifik sih. Jadi, playlist-playlist itu berisi band-band indie kesayanganku. Tapi, playlist ini juga menganjurkan aku dengerin band indie lainnya. Sayang, band-band itu enggak masuk seleraku. Kan kalau di Twitter, kondisinya berbeda. Kamu bisa lihat apa yang dipost atau direkomendasikan oleh musisi idola kita. Maksudnya, jika musisi idola kita suka satu band baru, kan kita jadi terpancing untuk mencobanya. Ini proses yang lebih alami menurutku daripada disodori lagu baru sama algoritma. Itu sama saja kayak kamu dibilangin sama layanan streaming “hei, ini lagu sudah kami pilihin buat kalian. Sekalian juga, ada band-band lain yang mungkin kamu suka.” Medsos masih punya sisi manusiawi daripada algoritma layanan streaming.
Bener banget. Oh ya, ada anggapan kalau Gen Z itu generasi paling politis. Maksudnya, kalian paling ahli menghindari semua yang provokatif. Kamu nyari apa sih dalam sebuah band/artis?
Melek politik itu penting. Seenggaknya, kita punya pendapat. Pada akhirnya, musik itu adalah salah satu bentuk seni. Dan seni yang paling bagus dan seniman yang bermutu adalah yang menyampaikan pandangan mereka lewat karyanya. Ambil contoh To Pimp A Butterfly, album favoritku sepanjang masa. Atau Blonde, yang menakar ulang narasi pop tradisional dengan caranya sendiri. Aku enggak bisa enggak menyebut Dev Hynes. Cupid Deluxe adalah salah satu album favoritku. Hynes membiarkan dirinya “bocor” ke dalam album itu—entah itu pengalaman pribadinya atau lainnya. Benar-benar album yang sangat personal. Feeling yang ditularkan oleh album seperti ini sangat nyata. Itu yang penting menurutku.
Naomi Gillies, 22 Tahun
Noisey: Hai Naomi! Kamu dapat musik baru dari mana?
Naomi: Campur-campur sih. Aku sering mendengarkan radio dan Spotify. Dua itu sih yang utama.
Wow kamu masih mendengarkan radio. Radio kan sudah hampir gak relevan—apalagi kalau dibandingkan dengan layanan streaming online.
Aku terbiasa mendengarkan radio tiap pagi sejak umur sepuluh atau sebelas tahun. Setelah bangun tidur, barang yang pertama aku nyalakan adalah radio. Sekarang, aku masih dengar radio lewat ponselku. Jadi kalau ada di rumah, aku pasti nyalain radio.
Penemuan musik terbesarmu yang terakhir dapat dari radio?
Kayaknya Sam Fender deh. Aku dengar dia banyak diomongin orang. Sam itu contoh yang bagus karena awalnya aku nemu dia di layanan streaming dulu terus aku dengar lagunya di radio. Dia masuk hottest record pilihan penyiar Annie Mac.
Itu yang bikin kamu tertarik mendengarkan Sam Fender?
Dia bagus banget ngomongin masalah kesehatan mental dalam sebuah wawancara. Dia tuh kaya aktivis sosial dengan musiknya. Aku suka banget dengan apa yang dia perjuangkan.
Apakah kamu mengidolakan seseorang karena musisi membahas isu tertentu dan bukan karena musiknya?
Justru itu kelebihannya buatku. Dia menjadi seniman yang berkredibilitas tinggi. Aku bukan tipe orang yang suka merendahkan seseorang hanya karena mereka enggak pernah bahas hal-hal penting, seperti politik misalnya. Tapi aku merasa lebih terhubung kalau mereka membicarakannya. Dia mendapat dukungan yang lebih kuat karenanya.
Pernahkah kamu menemukan musisi lewat Snapchat atau Instagram?
Pernah sekali! Waktu Dua Lipa belum terlalu terkenal. Kamu bisa meng-Shazam lagunya, dan dia muncul di bagian telusuri. Aku sangat jarang pakai Instagram dan Snapchat buat nemuin musik baru. Aplikasi ini biasanya cuma buat mengikuti seniman yang sudah aku tahu, kecuali kalau ada orang yang memposting foto atau video dan menandai mereka.
Tia, 22 Tahun
Noisey: Kamu bilang kamu dapat musik baru dari Spotify. Dari fitur playlistnya, bukan?
Tia: Aku menemukan musik baru bukan dari playlist Discover Weekly, tapi dari halaman musisi serupa di setiap profil. Aku lihat-lihat saja di situ. Aku juga mendengarkannya di YouTube dan mengecek rekomendasi yang muncul di beranda.
Apa saja yang sudah kamu temukan?
Kanal YouTube COLORS bagus banget, deh. Aku juga suka Tiny Desk.
Seberapa besar peran musik live dalam proses penemuanmu?
Kebanyakan musik yang aku tahu itu dari internet. Kayaknya aku enggak pernah deh nonton konser musisi yang belum aku tahu.
Sul Fell, 20 Tahun
Noisey: Jadi, Sul, bagaimana kamu menemukan musik baru?
Sul: Biasanya sih di layanan streaming—Youtube dan radio artis di Soundcloud atau Spotify. Atau kadang aku dikasih rekomendasi. Misalnya, aku mulai suka sama Odd Future karena teman-temanku pada suka, habis itu aku mulai suka Brockhampton karena ada yang memposting sebuah artikel tentang mereka di Facebook-nya Odd Future, terus aku dengerin deh. Dan melalui Brockhampton, aku mulai dengerin 88Rising.
Jadi ini kayak efek domino gitu yah. Kamu loncat dari satu artis ke musisi lainnya.
Iya. sekarang ini waktu paling menyenangkan buat jadi musisi indie karena kamu bisa naruh lagumu di internet dan semua orang bisa mendengarkannya di Spotify.
Kapan kamu terakhir kali membeli rilisan fisik musik di toko?
Aku enggak punya pemutar piringan hitam, jadi—dan ini agak aneh karena zaman sekarang udah enggak ada yang beli CD—tapi aku sering membelinya pas masih sekolah, dan sampai sekarang aku masih suka beli. CD terakhir yang aku beli itu Flower Boy dari Tyler the Creator karena pada saat itu aku masih mempunyai laptop lama yang masih bisa memutar CD. Tapi sejak itu aku lebih sering streaming musik.
Kalian bisa ajak ngobrol Ryan di Twitter dan lihat ilustrasi keren Esme via Instagram.
Artikel ini pertama kali tayang di Noisey UK