Ricuh Pemilu 2019

Akses Medsos dan Aplikasi Pesan Dibatasi Selama Aparat Tangani Ricuh 22 Mei

Menkopolhukam Wiranto dan Menkominfo Rudiantara mengklaim tindakan ini terpaksa dilakukan sampai situasi tenang. Download ataupun upload gambar di WhatsApp jadi lebih susah.
Akses Medsos dan Aplikasi Pesan di Jakarta Dibatasi Selama Aparat Tangani Ricuh 22 Mei
Peserta unjuk rasa di depan Gedung Bawaslu, Jl M.H Thamrin memotret polisi yang bertugas. Foto oleh Firman Dicho Rivan

Sejak Rabu (22/5) pagi waktu Indonesia barat, warga Ibu Kota mengeluhkan leletnya akses menuju platform sosial media dan aplikasi pesan. Padahal situasi Jakarta cukup mencekam jika mengacu pada gambar-gambar di media sosial. Terjadi bentrokan antara warga dan aparat di Tanah Abang, ataupun Slipi.

Beberapa warga yang bermukim di Jakarta, mengaku kesulitan mengakses medsos. Satu orang tinggal di kawasan Jakarta Barat, tidak jauh dari kerusuhan di Slipi dan Tanah Abang. Sementara seorang yang lain berkantor persis di kawasan Jalan Thamrin, dekat demonstrasi di depan kantor Bawaslu.

Iklan

"Gue enggak bisa buka instagram nih, enggak kebuka-buka hampir semua sosial media," kata Filani Olyvia kepada VICE. Dia berkantor di Kawasan Thamrin, berprofesi sebagai social media specialist. "Gue nggak bisa download image juga, kalau gini gue mau kerja juga nggak bisa, kerjaan gue bergantung sama internet sosial media nih."

Tak lama berselang Ade Citra, yang berdomisili di Jakarta Barat mengatakan bahwa dirinya kesulitan mengakses aplikasi instagram dan Whatsapp. "Enggak bisa refresh instagram, dan nggak bisa ngirim foto di Whatsapp juga."

Ternyata, hambatan akses ini terkait dengan kebijakan pemerintah meredam kericuhan akibat aksi massa pendukung Prabowo Subianto sejak Selasa (21/5) malam yang berlanjut hingga Rabu 22 Mei. Polri menetapkan Jakarta mengalami siaga satu setidaknya hingga 25 Mei mendatang. Dalam kondisi rentan ini, penduduk Jakarta pun akan kehilangan sebagian akses sosial media dan aplikasi pesan.

Pembatasan ini, menurut Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, demi mengurangi penyebaran hoax dan mobilisasi massa terkait aksi kericuhan akibat penolakan hasil pemilu.

"Pembatasan ini bersifat sementara dan bertahap. Pembatasan dilakukan terhadap fitur media sosial memang tidak semuanya, dan juga messaging system," ujar Rudiantara dalam jumpa pers.

Hoax yang beredar selama 12 jam terakhir menurut Rudiantara sudah dalam kategori negatif. Modus utamanya terutama berupa gambar lewat aplikasi pesan macam WhatsApp. Kontennya memprovokasi massa agar mendukung agenda anti-pemerintah. Poin utama agitasi itu adalah menuding pemerintah curang, setelah Komisi Pemilihan Umum menyatakan Presiden Joko Widodo sebagai pemenang pilpres 2019.

Iklan

"Kita tahu modus hoax ini posting di Facebook, Instagram dalam bentuk video instagram dan foto. Kemudian di screenshot lalu viralnya bukan di medsos tapi di WhatsApp," imbuh menkominfo.

Pembatasan ini sangat mungkin bertahan hingga 25 Mei mendatang. "Teman-teman akan mengalami kelambatan kalau kita download atau upload video dan foto," kata Rudiantara.

Pembatasan akses terhadap sosial media seperti Instagram, Twitter, Facebook, dan aplikasi pesan lainnya sudah biasa dipraktikan di beberapa negara, untuk "meredam aksi massa." Akhir 2017 lalu, taktik serupa dilakukan beberapa kota besar Iran, misalnya seperti Esfahan dan Tehran yang sedang goncang stabilitas ekonomi dan politiknya. Setelah eskalasi demonstrasi Desember 2017 meningkat, Iran memutus akses masyarakatnya pada sosial media, terutama Instagram dan aplikasi pesan Telegram yang dipercaya sanggup memobilisasi massa.

Pertanyaannya, mungkinkah langkah ini dapat berhasil meredam hoax dan meredakan ketegangan, atau malah memutus akses rakyat sepenuhnya dari informasi yang mestinya mereka dapatkan?

"Tergantung situasi, kami juga menyesalkan harus melakukan [pembatasan akses]. Ini suatu upaya mengamankan negeri ini sehingga berkorban 2-3 hari enggak lihat gambar kan enggak apa-apa. Teks masih bisa," kata Menkopolhukam Wiranto. "Kita enggak ingin upaya mengamankan negeri ini hanya aparat kemanan. Ketika masyarakat tidak percaya hoax dan percaya berita rasional. Ini membantu mengamankan negeri ini."

Dalam jumpa pers yang sama, aparat menduga ada skenario yang sedang disiapkan dalam kericuhan ini. Ketika dilaporkan jatuh korban tewas, akan disebar hoax yang menyulut warga agar mendiskreditkan pemerintah. Kericuhan sejak semalam makan banyak korban.

Hingga artikel ini dilansir, Rumah Sakit Umum Tarakan, di Jakarta Pusat, menjadi rujukan 120 korban luka dan dua orang yang tewas akibat bentrokan 21-22 Mei. Gubernur DKI Anies Baswedan sendiri mengklaim korban tewas mencapai enam orang, dengan 200 lebih peserta aksi lainnya cedera. Rata-rata korban masih berusia 20-an tahun. Polisi mengaku perlu memverifikasi data-data itu sebelum membuat pengumuman resmi lebih lanjut.