FYI.

This story is over 5 years old.

Arab Saudi

Kerajaan Saudi Akhirnya Mengizinkan Perempuan Mengendarai Mobil

Telat banget sih. Kebijakan ini baru berlaku 2018. Negara Arab lain saja sudah lebih dulu sekian dekade. Setidaknya ini tanda Negeri Petro Dollar mau mengubah kebijakan represifnya.
Aziza Yousef keluar dari mobil sesudah nyetir di jalan tol Ibu Kota Riyadh, Arab Saudi, 29 Maret 2014. Dia memprotes larangan perempuan mengemudi.  Foto oleh Hasan Jamali/Associated Press.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE News.

Berdasarkan Dekrit Raja Salman yang diumumkan Selasa kemarin, perempuan di Kerajaan Arab Saudi akan segera diizinkan memiliki Surat Izin Mengemudi. Kebijakan ini dipastikan mengakhiri status Saudi sebagai satu-satunya negara di muka bumi yang tidak mengizinkan perempuan memiliki surat izin mengemudi. Larangan ini didasarkan pada tafsir agama dari ulama mazhab Wahabbi yang berpengaruh di kalangan kerajaan. Perempuan dianggap tak boleh keluar rumah tanpa didampingi oleh keluarga. Banyak ulama misoginis terus mendukung larangan perempuan menyetir, dengan alasan perempuan rawan diperkosa jika berkendara sendirian, hingga yang bilang perempuan hanya punya otak sepertiga dari lelaki.

Iklan

Kebijakan diskriminatif dan misoginis di Saudi itu sejak lama selalu memperoleh kecaman dari publik internasional. Bukan cuma negara Barat, diaspora Saudi di luar negeri sejak lama menyuarakan desakan agar Kerajaan Petro Dollar itu mencabut larangan perempuan menyetir mobil sendirian. Begitu pula para perempuan dari kota-kota besar Saudi, yang sejak 10 tahun terakhir makin berani berunjuk rasa menuntut kesetaraan soal mengemudi. Larangan ini adalah satu dari sekian bukti yang dipakai banyak pihak, untuk menyudutkan Rezim Bani Saud sebagai tiran di negara kaya minyak tersebut.

Tentu saja, seandainya kebijakan Raja Salman soal SIM bagi perempuan berlaku sepenuhnya, noda hitam pelanggaran hak asasi di Saudi masih berlimpah. Saudi sampai sekarang tercatat memiliki rekam jejak buruk atas perlakuan mereka terhadap tahanan politik dan penganut agama minoritas. Larangan menyetir bagi perempuan hanyalah puncak gunung es saja, dari kritikan yang sebetulnya sudah menyasar elit kerajaan sejak bertahun-tahun lalu.

Apabila berjalan sesuai rencana, maka perempuan akan diizinkan memperoleh SIM pada 24 Juni 2018. Arab Saudi jauh tertinggal dibanding negara-negara Arab lain yang sebetulnya tak kalah konservatif, macam Uni Emirat Arab atau Qatar, yang sejak dua dekade lalu sudah membebaskan perempuan menyetir mobil sendiri.

Kritikan publik internasional tampaknya kali ini didengar oleh Raja Salman, raja ke-8 dari Bani Saud yang memerintah Saudi. Bagi pengamat Saudi, melunaknya sikap kerajaan tetap menandakan ada perubahan geopolitik di negara berpengaruh Timur Tengah itu.

"Sudah banyak sekali organisasi dan kelompok sipil, termasuk gerekana perempuan dari dalam negeri Saudi, yang mendorong agar kerajaan mencabut kebijakan diskriminatif tersebut dicabut," kata Raed Jarrar, Direktur Advokasi Amnesty International untuk wilayah Timur Tengah dan Afrika. Sayang, menurut Jarrar, adanya perubahan sikap soal perempuan mengemudi belum disusul tanda-tanda dari Saudi untuk membenahi sektor lain yang masih berkalang pelanggaran HAM.

Kebijakan Raja Salman juga masih bisa berubah bila ada desakan politik dari kalangan konservatif. Dalam dekrit itu, dijelaskan bahwa komite lintas kementerian akan diminta mengkaji kebijakan tersebut dalam jangka 30 hari ke depan. Beleid raja juga tak secara eksplisit menghapus aturan perempuan wajib ditemani keluarganya ketika keluar rumah. Perlu diketahui, perempuan Saudi harus memperoleh surat izin, minimal dari saudara lelaki atau anak, jika ingin mengurus paspor, ke luar negeri, atau menikah.

Ahmed Benchemsi, yang menjadi direktur komunikasi Human Rights Watch untuk kawasan Timur Tengah, menyatakan perizinan bagi perempuan itu seandainya dipertahankan bakal menghambat kemajuan di Saudi. Pemberian SIM bagi perempuan tidak akan berdampak banyak.

"Pertempuran agar perempuan bisa setara di Saudi masih jauh dari berakhir," ujarnya saat dihubungi VICE News. "Adanya kebijakan baru Raja Salman patut kita apresiasi, namun hal ini terjadi berkat tuntutan dari gerakan perempuan Saudi yang sudah berkampanye sejak lama. Tentu saja, langkah progresif sekecil apapun harus dihargai. Tapi masih banyak pekerjaan rumah yang menanti."