FYI.

This story is over 5 years old.

sains dan kepribadian

Kepribadian Manusia Rupanya Bisa Diketahui Lewat Sampah

Para arkeolog sedang berusaha mendalami kebudayaan kita dengan meneliti sampah yang sehari-hari kita buang.
Audy Bernadus
Diterjemahkan oleh Audy Bernadus
Narendra Hutomo
Diterjemahkan oleh Narendra Hutomo
 kolase foto oleh Kitron Neuschatz

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Magazine Edisi September. Klik di sini jika ingin berlangganan.

Apa sih yang terlintas di pikiran kalian waktu mendengar kata 'arkeologi'? Mesir? Tulang belulang? Atau celana yang dipakai sampai perut dan paha? Kata 'arkeologi' berasal dari bahasa Yunani arkhaiologia yang artinya 'mempelajari benda-benda kuno'. Tapi di tahun 1970-an, arkeolog berkebangsaan Amerika Serikat, William Rathje memilih untuk mempelajari sampah di era dia hidup, hasilnya, sebuah genre baru dalam bidang akademis yang dia geluit: arkeologi kontemporer.

Iklan

Buku yang ditulis oleh Rathje dan Cullen Murphy itu dipublikasikan pada 1992, judulnya Rubbish! The Archeology of Garbage. Lewat buku itu, Rathje mengatakan barang-barang yang pernah dimiliki oleh seseorang, yang kemudian dibuang, bisa menjelaskan perihal kepribadian si mantan pemilik. Penjelasannya pun dinilai lebih informatif dan jujur dibanding kalau kita mewawancara orang yang bersangkutan. Mereka menemukan fakta bahwa orang-orang makan sedikit buah dan banyak mengkonsumsi junk food serta alkohol. Ternyata orang-orang lebih sering membuang sesuatu pada masa resesi ekonomi.

Buku telepon, popok bekas pakai, dan kaleng cat setengah penuh adalah contoh barang-barang yang dipelajari oleh Rathje. Menurutnya, barang-barang tersebut layak untuk dipajang di museum bersama artefak dari era lain (tapi ya pasti ada yang tetep menganggap barang-barang itu sampah belaka).

Sementara Suku Maya di masa prasejarah meninggalkan kepingan batu dan wadah keramik, orang-orang dari abad 20 meninggalkan plastik, tembok, alumunium, dan lain-lain.

Menurut studi Science Advances yang terbit Juli lalu, hingga tahun ini manusia telah memproduksi sekurang-kurangnya 8.3 triliun ton sampah. Pada 2050 diperkirakan jumlah sampah diperkirakan akan naik 50 persen, merujuk laporan yang dibuat oleh World Economic Forum. Artikel tersebut mengatakan kelak di tahun itu, populasi sampah plastik bakal lebih banyak daripada ikan di laut.

Iklan

Plastik, yang lebih mudah dan murah dibuat dibanding kaca dan keramik, bisa digunakan dalam jangka pendek, tapi tidak bisa digunakan dalam jangka panjang, plastik seenggaknya butuh 500 tahun untuk terurai. Pada tahun 2013, para ilmuwan menemukan suatu benda yang disebut ' plastiglomerates', yaitu batuan yang terbuat dari plastik, batuan vulkanik, pasir, dan koral, di sebuah pantai di Hawaii.

"(Plastiglomerates) mungkin bisa dipakai sebagai penanda bahwa manusia datang untuk mendominasi dunia, lalu meninggalkan sampah dengan jumlah yang sangat massif," kata Douglas Jerolmack kepada American Association untuk artikel Advancement of Science di Jurnal Ilmiah Science terbit pada 2014.

Dan yang kita tinggalkan bukan hanya jejak sampah: Umat manusia ternyata telah memodifikasi lapisan sedimen bumi. Menurut sebuah artikel lain yang diterbitkan di Science oleh sekelompok ilmuwan yang mempelajari Anthropocene, lapisan paling atas bumi sekarang sudah melebur bersama plastik, radiasi, dan residu asap hitam.

"Ini adalah akibat dari konsumsi berlebih dan membuang berlebih. Dan ini terjadi dalam jumlah yang kita semua belum pernah lihat sebelumnya," ujar Courtney Singleton, seorang murid PhD antropologi dari Columbia University, yang seperti Rathje mempelajari sampah era modern. Dia sekarang sedang fokus mempelajari daerah-daerah kumuh di daerah Bronx, dimana pulpen, tutup botol, serakan stirofom, mainan rusak, tabung film, kondom, botol-botol kecil bekas kokain, dan jepitan rambut dapat memberikan petunjuk dari kehidupan orang-orang berlalu lalang di situ sejak 1980-an.

Ketimbang melakukan penakaran tanggal berbasis uji karbon, Singleton malah membakar barang-barang temuan yang ia teliti. Lelehan, bau, serta plastik yang dihasilkan dari pembakaran itu bisa jadi sumber informasi menarik untuk didata. Seterusnya dia akan mencari nomor paten di google atau mengunggah gambar ke Facebook dan melibatkan warganet untuk memberikan jawaban-jawaban perihal kapan suatu barang diproduksi.

"Banyak mahasiswa datang kepadaku, aku selalu merasa kalau bicara arkeologi mereka selalu inginnya bergulat dengan artefak-artefak kuno Mesir atau barang Inca!" kata Singleton sambil tertawa. "Lalu aku malah menyutuh mereka menganalisis sampah yang mereka sendiri buang."

Ketika Rathje dulu menggali tempat pembuangan sampah pada tahun 80-an, terdapat ketakutan yang menjalar di Amerika Serikat bahwa terdapat semacam krisis sampah yang sedang terjadi, dan stirofom lah yang utamanya yang patut disalahkan. Tapi itu hanyalah mitos. Tempat sampah penuh bukan oleh bungkus Big Mac, kaleng alumunim atau popok, namun oleh kertas. Rathje mencatat penemuan ini di Rubbish!, dan pada saat peluncurannya, seorang wartawan New York Times mengatakan itu bukan hal yang mengejutkan di "era informasi" seperti sekarang ini.

Loncat ke 2017, informasi sudah berarti HTML, file MP3, GIF, atau metadata dari gambar bugil yang kamu kirim pada 2003. Warisan dari spesies kita sudah bukan lagi sampah berbentuk fisik seperti plastik atau bahkan buangan atomsferik (seperti CO2), namun artefak-artefak yang tidak berwujud. Sebuah bidang baru arkeologi pun akhirnya muncul untuk berurusan dengan sampah semacam ini: arkeologi digital. Muncul juga tanda tanya- alat macam apa yang dibutuhkan untuk mengaduk-aduk dan menguak sampah internet?