FYI.

This story is over 5 years old.

Diskriminasi

Berikut Cara Terbaik Jika Ingin Melawan Larangan Bercadar di Lembaga Pendidikan

VICE menghubungi LBH soal kebijakan UIN Sunan Kalijaga, sekaligus meminta saran hukum bila kalian berniat menggugat kampus atau sekolah yang melanggar kebebasan beragama.
Mahasiswa bercadar di salah satu universitas Makassar. Foto oleh Yusuf Ahmad/Reuters.

Memilih berpakaian terbuka ataupun tertutup, perempuan senantiasa berpeluang kena masalah di Indonesia. Lihat saja polemik soal cadar, burqa, ataupun niqab—intinya berbagai jenis pakaian muslim yang menutup seluruh tubuh kecuali mata dan telapak tangan—yang ramai diperbincangkan tiga hari terakhir. Perdebatan itu dipicu kebijakan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, awal pekan ini menuntut 41 mahasiswi bercadar mengikuti pembinaan. Bila tak bersedia dibina, atau mengubah cara berpakaiannya, pihak kampus melontarkan ancaman ‘pemecatan’ yang diperhalus dengan bahasa “rekomendasi pindah kampus.”

Iklan

Rektor UIN Sunan Kalijaga, Yudian Wahyudi, beralasan cadar patut dilarang di wilayah kampus karena bertentangan dengan semangat Islam moderat yang dikampanyekan lembaganya. Pilihan memakai cadar, menurut Yudian, patut dicurigai sebagai dukungan mahasiswi itu terhadap ideologi radikal. “Kami melihat gejala itu. Kami ingin menyelamatkan mereka, jangan sampai [mahasiswi] ini tersesat,” ujarnya kepada BBC Indonesia.

Bagi pegiat hak-hak sipil, kebijakan rektor UIN Yogya itu justru bukan langkah terbaik mempromosikan Islam moderat. Sebaliknya, tindakan rektor melalui surat edarannya melarang cadar merupakan pembatasan ekspresi pribadi sekaligus menyebar fobia cadar, yang rentan memicu diskriminasi pada penggunanya di tingkatan lebih luas. “Kami menilai Rektor UIN Sunan Kalijaga telah gegabah dalam membuat kebijakan, tidak mencerminkan penghormatan terhadap hak asasi manusia, dan cenderung diskriminatif,” menurut LBH Yogyakarta melalui keterangan tertulis.

Larangan bercadar di UIN tidak hanya berlaku di Yogyakarta. Kebijakan sejenis melarang mahasiswi mengenakan burqa rupanya telah diadopsi UIN Sunan Ampel Surabaya.

Kebijakan macam itu menjadi bentuk kekinian fobia terhadap ekspresi busana kalangan muslim warisan era Orde Baru. Semasa Presiden Soeharto berkuasa, jangankan cadar, mengenakan hijab saja tak diperkenankan di lingkungan pendidikan ataupun birokrasi.

Memasuki pertengahan Dekade 90’an, barulah pemakaian jilbab, hingga kemudian cadar, tumbuh subur karena Orde Baru melonggarkan aturan. Sesudah reformasi, jilbab semakin banyak digunakan berbagai lapisan masyarakat.

Iklan

Di sisi lain, harus diakui bila radikalisme agama adalah masalah pelik di Tanah Air. Tahun lalu muncul survei Kemendikbud menengarai 7,2 persen responden pelajar tingkat SMA menyetujui gerakan terorisme yang dilakukan ISIS. Alhasil, Presiden Joko Widodo mencanangkan upaya memerangi radikalisme di dunia pendidikan, termasuk lembaga pendidikan tinggi.

Namun apabila semangat deradikalisasi seperti dilakukan rektor UIN diterjemahkan dengan mengebiri hak perempuan bercadar, aktivis hukum menganggapnya pelanggaran terhadap norma hukum internasional yang turut diteken Indonesia. Bahkan surat edaran rektor itu dapat digugat lho.


Baca juga liputan VICE Indonesia lainnya mengenai topik kebebasan beragama:

Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati menyatakan larangan cadar bertentangan dengan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil Dan Politik (ICCPR) yang sudah diratifikasi pemerintah Indonesia. Dalam Pasal 18 beleid tersebut, dengan tegas dinyatakan bila setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan, dan beragama. Atas dasar itulah, perempuan bercadar yang mengalami diskriminasi macam di UIN dapat menggugat rektorat, walau bukan dalam delik kebebasan beragama melainkan melalui jalur perdata.

“Kebebasan beragama UU-nya belum ada, tetapi bisa [menggugat] lewat perbuatan melawan hukum/PMH 1365 Kitab UU Hukum Perdata,” kata Asfin kepada VICE.

Benar juga. Indonesia kan masih negara hukum ya. Maka VICE menghubungi Direktur LBH Yogyakarta, Hamzal Wahyudin, untuk menilik lebih lanjut apa saja langkah hukum yang bisa ditempuh mahasiswi ataupun pelajar, andai tertimpa nasib seperti mahasiswa UIN. Yakni diasumsikan mendukung ideologi radikal, atau bahkan pendukung terorisme, hanya karena pilihan busananya.

Iklan

Langkah Pertama: buat surat gugatan ke kementerian yang menaungi institusi pendidikan di mana kamu berada

Dalam kasus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, menurut Hamzal berkas surat gugatan dapat diarahkan ke Kementerian Agama, sebab UIN masuk dalam payung Kemenag. Untuk SMP dan SMA, dapat diarahkan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sedangkan jika kasus pelarangan busana macam ini terjadi di perguruan tinggi negeri atau swasta, surat dialamatkan ke Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.

Karena pokok masalahnya adalah atribut beragama dan berkeyakinan, maka surat gugatan kalian nantinya pasti tetap bermuara ke Kementerian Agama. Nah, setelah berkas gugatan masuk ke Kementerian terkait, langkah selanjutnya adalah: menunggu. Betul, menunggu memang tak menyenangkan, tapi kementerian butuh waktu untuk mengkaji peraturan pelarangan cadar tersebut.

“Jika hasil kajian Kemenag menyatakan peraturan tersebut tak memiliki dasar atau payung hukum, maka Kemenag dapat instruksikan institusi terkait untuk mencabut peraturan tersebut. Namun, jika nyatanya Kemenag mendukung dan menilai peraturan terkait memiliki dasar hukum, maka institusi masih tetap bisa menerapkan peraturan yang tengah digugat,” kata Hamzal.

Langkah Kedua: Kirim Surat ke Lembaga Independen Negara

Apabila surat gugatan tak mempan atau tak direspons oleh institusi negara, masih ada langkah lain yang bisa dilakukan untuk menggugat peraturan terkait. Yakni pengaduan melalui lembaga independen negara, seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) atau Ombudsman Indonesia untuk pendekatan pengaduan secara administratif.

Katakanlah aduan atas suatu peraturan yang dirasa bermasalah direspons Komnas HAM. Maka Komnas HAM bakal mengkaji surat edaran yang dikeluarkan oleh institusi terkait. “Jika ditemukan tengara pelanggaran hak asasi, maka Komnas HAM akan mengeluarkan surat rekomendasi yang diarahkan pada kementerian terkait untuk mencabut kebijakan tersebut,” kata Hamzal.

Iklan

Sayangnya, jangan terlalu gembira. Menurut Hamzal, sampai sekarang lembaga independen negara masih belum punya kuasa yang cukup kuat untuk mengeksekusi sebuah tindak perkara. Dampaknya rekomendasi Komnas HAM atas suatu kasus kerap diabaikan.

Langkah Terakhir: Tempuh jalur hukum lewat Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)

Rektor universitas milik pemerintah maupun swasta, dengan segala surat keputusan atau edarannya, dapat digugat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. Sudah ada yurisprudensi di peradilan Indonesia sebelumnya yang memenangkan gugatan mahasiswa saat kebijakan administratif kampus dirasa merugikan.

Masalahnya, mengajukan gugatan ke PTUN cukup rumit. Mulai dari mengurus pengaduan, membayar biaya ongkos perkara, menyewa pengacara, hingga akhirnya hadir ke hari persidangan untuk memenangkan gugatan yang bisa berlangsung berbulan-bulan. Proses ini membutuhkan waktu, tenaga, pula biaya ekstra.

Terlepas dari hasil akhirnya, melawan lewat tiga opsi di atas adalah jalan terbaik bagi pelajar atau mahasiswa yang merasa diperlakukan tidak adil akibat larangan bercadar. Proses di atas juga dapat dilakukan untuk jenis kebijakan pendidikan lain yang diskriminatif.

Bagi kawan-kawan yang bercadar, kalian tidak sendirian kok. Ada perwakilan pemerintah yang mendukung kalian. Contohnya Masruchah, selaku Komisioner Komnas Perempuan, yang saat diwawancarai media menilai upaya menyamakan cadar dengan radikalisme adalah pemikiran sembrono dan keliru—yang sepatutnya tak dilakukan pimpinan perguruan tinggi.

“Belum tentu orang yang menggunakan cadar itu pikirannya tertutup atau masuk dalam kategori orang-orang yang fundamentalis atau radikal.”