FYI.

This story is over 5 years old.

Hubungan

Putus Baik-Baik Tanpa Berantem Brutal Sama Mantan Tuh Mungkin Banget Lho

Bayangkan, dunia pasti menjadi tempat yang lebih baik andai semua orang bersikap lebih baik setelah putus.

Jatuh cinta adalah salah satu hal paling menyenangkan yang bisa dialami seorang manusia.

Tentu saja ada banyak hal-hal menyenangkan lainnya di dunia: bermain musik, berkarya seni, travel, dan masih banyak lagi. Tapi pengalaman paling sederhana, positif dan transformatif dalam hidup adalah jatuh cinta dengan orang lain. Banyak cerita fiksi dimulai dan diakhiri dengan "kemudian saya jatuh cinta." Ini karena tidak banyak hal lain dalam hidup, selain mungkin musik dan alam yang bisa menghasilkan sensasi tubuh luar biasa seperti jatuh cinta.

Iklan

Saya tinggal di Berlin. Setengah pendatang di kota ini datang demi musik tekno, dan setengahnya lagi demi cinta, sebelum nantinya menyadari bahwa musik tekno lebih stabil daripada hubungan romantis. Karena sifatnya yang tidak stabil, cinta—cinta sejati—itu sangat langka, dan kalau manusia tidak belajar untuk bersikap lebih lembut terhadap kasih dan orang lain, mungkin nantinya cinta akan berakhir sebagai barang langka, bak mencari udara segar di kota urban besar.

Masalahnya itu bukan bagaimana kita jatuh cinta, tapi bagaimana cinta itu kerap berakhir. Seingin-inginnya kita berlaku baik ke orang lain, ujung-ujungnya di akhir hubungan kita hampir selalu berubah menjadi sosok yang egois dan kejam. Kita menjadi versi terbaik diri di awal hubungan dan versi terburuk di akhir hubungan. Dan inilah yang membuat kita kesulitan menemukan cinta lagi di masa depan. Bukan berarti pasokan cinta di dunia itu terbatas, tapi ada batas seberapa sering kebanyakan manusia bersedia untuk membuka diri dan beresiko disakiti.

Memikirkan hal ini membuat saya khawatir, maka saya menelpon psikolog langganan, Bojan Lapčević di Serbia, untuk menanyakan nasehat putus cinta baik-baik.

"Perpisahan itu selalu traumatis," katanya ke saya, "dan beberapa trauma memang tidak bisa dihindari, tapi kamu harus belajar mengintegrasikan trauma tersebut. Kamu harus bisa melihat sisi konstruktif perpisahan, dan lebih penting lagi, melihat masa depan."

Iklan

Dari pengalaman pribadi saya, mengintegrasikan trauma tersebut biasanya membuat saya mengambil keputusan yang buruk. Apabila saya baru putus dengan seorang perempuan yang kuat dan mandiri, biasanya setelah itu saya justru mencari sosok yang lemah, dan belum dewasa. Dan biasanya di titik ini saya memiliki masalah konsumsi alkohol berlebihan atau narkoba.


Baca juga artikel VICE Indonesia lainnya yang membahas perkara patah hati:

Kalau kamu sosok yang butuh perhatian dan mencari pasangan yang bisa memberikan hal ini, kemungkinan besar hubunganmu berakhir dengan kekecewaan. Setelah sering dikecewakan, kamu akhirnya hanya akan mencari cinta di tempat-tempat yang "aman", dan berakhir dengan orang-orang yang tidak cukup peduli untuk menyakitimu. Atau lebih gampang lagi: pelihara anjing atau kucing. Otak manusia itu mudah dibentuk, diatur oleh amygdala yang bisa menyerap trauma seperti sepon. Setelah patah hati beberapa kali, ada kemungkinan kamu bakal menyerah.

Maka dari itulah, tidak peduli seberapa lihai kamu memulai hubungan, yang lebih penting lagi adalah bagaimana kamu siap mengakhirinya. Kasih sayang benar-benar diuji bukan di awal hubungan, tapi sangat mungkin justru ketika harus merelakan pasanganmu pergi.

"Ada perbedaan yang besar bagaimana setiap orang menghadapi perpisahan," kata Bojan. "Ini tergantung pengalaman pribadi di masa lalu. Anda harus berhati-hati dengan orang yang tidak bisa menghadapi perpisahan dengan baik dan menjelaskan bahwa perpisahan tersebut tidak ada hubungannya dengan kualitas atau nilai pasangan anda—bahwa itu masalah ketidakcocokan saja."

Iklan

Bayangkan sebuah realitas alternatif. Kamu bisa duduk bersama kekasih dan berkata: Sayang, jangan tersinggung ya, tapi aku akan meninggalkanmu, tapi aku akan memberikanmu dukungan emosional sebanyak mungkin dan berjanji menunggu paling tidak setengah tahun sebelum mulai main Tinder/mengunggah foto mabuk bersama cowok lain.

Tentu saja perasaanmu hancur. Tapi mungkin saja dengan begini, kamu tidak merasa terlalu 'kalah' dalam hidup. Mungkin kalau kita menaruh banyak usaha berlaku baik terhadap partner seperti di awal hubungan, banyak orang akan keluar dari sebuah hubungan terluka, tapi tidak trauma hingga mereka akhirnya lari dari setiap potensi hubungan romantis. Kalau cinta itu seperti medan perang, maka tujuannya adalah berusaha keluar dari perang dengan semua organ masih utuh.

Kalau kamu cukup beruntung dalam hidup dan bertemu seseorang yang jatuh cinta padamu dan mempunyai nyali untuk mengucapkan tiga kata sakti itu—maka kamu harus membalas keberanian mereka dengan cara bersikap baik, mengapresiasi keteguhan hati mereka, dan membiarkan mereka pergi sehalus dan selembut mungkin ketika saatnya tiba. Begitu juga ketika kamu akan mematahkan hati seseorang, berusahalah tidak merusak hatinya.

Saya pernah mengalami perpisahan yang baik. Mungkin yang terbaik. Waktu itu saya masih berusaha menjadi seorang seniman. Saya melukis burung merpati abstrak dengan cat air dengan latar belakang kota. Jelek banget memang, tapi tidak ada yang mengingatkan saya. Tidak ada yang mengingatkan saya hingga akhirnya saya putus dengan pacar saat itu. Berusaha meminimalisasi rasa pahit, kami memutuskan untuk bersikap jujur dan baik satu sama lain.

Saat itu kami memang masih muda dan idealistis, tapi hasilnya kami masih berteman hingga sekarang. Beberapa tahun lalu ketika kami saling mematahkan hati satu sama lain selembut mungkin—memenggal kepala menggunakan pisau mentega, kalau pake istilah dia—dia mengatakan, "Kamu adalah orang yang baik, pacar yang manis dan manusia yang kuat, tapi kamu harus berhenti melukis dan fokus menjadi penulis." Dia mematahkan hati saya, merajutnya dan mengirim saya keluar ke dunia dengan sedikit nasihat yang akhirnya menyelamatkan saya dari pilihan karir yang salah.

Ketika sedang menulis artikel ini, saya berbicara dengan Ibu saya, seorang konselor hubungan yang tahu tentang semua kegagalan kisah cinta saya semenjak kecil. "Selalu ada hubungannya dengan masa kecil, Conor," jelasnya, "manusia cenderung mencari kualitas yang hilang dari masa kecilnya dalam diri pasangan, dan ini akan selalu memperberat perpisahan."

Kemudian dia mengirimkan sebuah nukilan dari Dean Ornish:

"Kemampuan bertahan manusia bergantung pada daya sembuh cinta, intimasi dan hubungan. Sebagai individu, sebagai komunitas, sebagai sebuah negara, sebagai kultur, dan bahkan mungkin sebagai spesies."