FYI.

This story is over 5 years old.

Kesetaraan Gender

Menjadikan Janda Berdaya Adalah Sebuah Perlawanan

Ada banyak cara mendukung janda selain menjadikannya istri kedua atau ketiga. Contoh nyata diberikan Roel Mustafa dkk.
ilustrasi oleh Diedra Cavina

Di saat banyak lelaki termasuk ulama menjadikan alasan "membantu janda" sebagai dalih poligami, Roel Mustafa dan kawan-kawannya berpikiran sebaliknya. Mustafa percaya pada prinsip "menafkahi tidak harus menikahi." Membantu para janda yang tidak berpenghasilan bukanlah pembenaran berpoligami. Setahun terakhir, Roel Mustafa, 39 tahun, bersama kawan-kawannya di Sekolah Relawan secara khusus mencari para janda tua. Mereka membantu para janda tadi agar dapat berdiri di atas kaki sendiri. Hingga kini Mustafa dan kawan-kawannya telah membantu memberi modal usaha bagi sekitar 300 janda di beberapa kota di Indonesia seperti Depok, Lampung, Surabaya, Semarang, Jakarta, Bogor, dan Bekasi. Rata-rata mereka berusia di atas 65 tahun. Atas aksinya, Mustafa mendapat dukungan penuh istri dan keluarganya.

Iklan

"Istri enggak ada istilah cemburu, ya karena sudah terbiasa dan tahu bahwa tujuannya bukan syahwat, malah membuat istri saya mendukung," kata Mustafa seperti dikutip dari Kumparan.

Selain kawan-kawan Mustafa, ada beberapa lembaga swadaya yang mulai bergerak untuk memberdayakan perempuan kepala keluarga, seperti PEKKA dan organisasi Penolong Janda. Namun gerakan serupa masih minim apresiasi. Apalagi, peraturan perundangan Indonesia masih seksis, yakni hanya menganggap laki-laki sebagai kepala keluarga. Sehingga, nasib perempuan kepala keluarga patut dipertanyakan. Komisioner Komnas Perempuan, Adriana Venny Aryani berpendapat Indonesia butuh Undang-Undang lain yang mengatur soal janda dan perempuan kepala rumah tangga.

"Semestinya itu kan bukan tanggung jawab orang tersebut (mengacu pada Roel Mustafa dkk) tapi negara," kata Venny ketika dihubungi VICE Indonesia. "Di negara-negara maju sudah ada Undang-Undang Kejandaan. Sudah terlalu lama kalau sampai sekarang kita belum punya UU itu."

Stereotipe Janda

Secara sosial di Indonesia "janda" dan "duda" punya tanggungan stigma berbeda. Sayangnya predikat janda dalam masyarakat kita lebih sering mendapat cap dengan konotasi negatif. Ada beberapa kemungkinan karakter janda yang digambarkan dalam budaya populer di Indonesia: 1) Jika janda tersebut masih muda berasal dari kelas sosial bawah, maka otomatis tokoh tersebut digambarkan menderita, tak berdaya, menjadi pembantu rumah tangga genit yang kerap dicurigai sebagai penggoda majikan; 2) Jika janda tersebut muda dan kaya raya, maka persepsi masyarakat digiring menyalahkan perempuan karena terlalu cerdas, karirnya terlalu tinggi, dan kerap menghamburkan harta suami sehingga bercerai dan menjanda.

Lain dengan sebutan bagi lelaki. Duda kerap disandingkan dengan konotasi yang jauh lebih keren, seperti "duda keren", "duda ganteng", atau "duda kaya". Kalau begini, dalam kondisi sosial ekonomi apapun, posisi tawar perempuan tidak pernah berubah. Venny bercerita bahwa beberapa negara maju memberikan perlindungan kepada janda dan perempuan kepala keluarga. Di antaranya, ada yang dibebaskan dari pajak. Artinya janda dan perempuan kepala keluarga bebas dari stigma, malah mendapat tempat terhormat. Sementara itu perempuan kepala rumah tangga Indonesia? Jangan tanya, terima kasih deh untuk UU Pernikahan Nomor 1 tahun 1974 yang seksis dan membuat posisi perempuan dalam tatanan sosial jadi subordinat. Berkat itu semua perempuan kepala keluarga jadi punya beban berlapis, diskriminasi pun punya efek lanjutan.

Iklan

"Di dalam dunia pekerjaan, perempuan dianggap enggak penting untuk mendapat upah yang sama. Kalaupun upahnya sama, perempuan tidak mendapat tunjangan keluarga, karena dianggap tunjangan itu sudah didapat dari suaminya yang bekerja, padahal suaminya belum tentu kerja," kata Venny. "Kalau kita membayar pajak (penghasilan), perempuan selalu dianggap singel. Berbeda dengan lelaki yang punya keluarga, dia bisa mendapat potongan pajak karena dianggap menanggung keluarganya." Badan Pusat Statistik (BPS) merilis Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Indonesia 2014. Data tersebut menunjukkan bahwa 14,84 persen rumah tangga di Indonesia dikepalai perempuan. Angka tersebut secara berkala meningkat dari survei sebelumnya pada 2007 dengan angka 13,60 persen. Sehingga data BPS menunjukkan bahwa persentase rumah tangga yang dikepalai perempuan terus naik rata-rata 0,1 persen per tahun, sejak 1985.

Pelemahan Perempuan dan Lingkaran Kemiskinan

Melihat banyak peraturan perundangan yang seksis, tak heran jika posisi perempuan selalu dilemahkan dan akhirnya menjebak perempuan pada siklus pemiskinan yang tak berkesudahan. Ramainya kampanye 'nikah muda' dan 'ayopoligami' membuat perempuan berbondong-bondong daftar ke KUA tanpa persiapan lahir batin mempersiapkan diri ke jenjang pernikahan. Masyarakat menganggap bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi dan berkarir, sehingga ''dinikahi' seorang lelaki' adalah kunci!

Perempuan dipaksa bergantung sepenuhnya secara finansial pada lelaki. Meninggalkan karir dan sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga tentu adalah pilihan yang tidak salah. Sayang tidak semua perempuan beruntung dengan mengakhiri masa lajangnya seperti Cinderella, menikahi seorang pangeran dan akhirnya bahagia selamanya.

Iklan

Semua pihak harus mengakui bahwa kekerasan perempuan dalam relasi personal punya angka mengecewakan. Komnas Perempuan merangkum jumlah kekerasan yang dialami perempuan dalam Catatan Tahunan (Catahu) 2017. Ada 10.205 kasus kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga/relasi personal (KDRT/RP). Dari total jumlah tersebut, 57 persen diantaranya merupakan kekerasan terhadap istri, diikuti kekerasan dalam hubungan pacaran sebesar 21 persen, dan 18 persennya dilakukan terhadap anak perempuan. Sisanya adalah kekerasan oleh mantan suami, atau mantan pacar dan relasi personal lainnya. Angka ini terus meningkat dari tahun ke tahun.

Kini, kecenderungan perceraian digugat oleh pihak istri pun semakin banyak. Data Kementerian Agama (Kemenag) untuk kurun 2010-2014 menunjukkan angka perceraian meningkat 52 persen. Dari angka itu, 70 persen di antaranya diajukan oleh pihak istri. Pada tahun 2014, angka perceraian yang diputus oleh pengadilan tinggi agama di seluruh Indonesia mencapai 382.231 kasus, naik dari angka pada 2010 sebanyak 251.208 kasus. Alasan paling umum adalah karena ketidakharmonisan rumah tangga.

Ketua Komnas Perempuan, Nana Azriana menyebutkan istilah 'ketidakharmonisan keluarga' kerap digunakan di pengadilan untuk menjelaskan sebab cerai 'kekerasan dalam rumah tangga'. "Biasanya alasan ini digunakan istri untuk mengakhiri kekerasan seksual yang dialaminya. Ini tidak mudah diucapkan secara gamblang di pengadilan," kata Nana seperti dikutip dari Detik.

Iklan

Setelah bercerai, perempuan menjanda terpaksa menanggung beban stigma janda yang berkonotasi negatif. Belum lagi, jika sistem pernikahan yang dijalankan sebelumnya berhasil melemahkan posisinya sebagai perempuan dalam aspek ekonomi, tidak aneh posisi perempuan makin rentan.

"Banyak di antara mereka nikah muda, kemudian ditinggalkan suaminya, sehingga harus menanggung dirinya dan anak-ananknya, enggak tahu mau kerja apa, kemudian terjebak jadi korban trafficking atau jadi buruh migran ilegal. Terbentuklah lingkaran kemiskinan perempuan," kata Venny.

Lembaga Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) pernah melakukan riset terkait kualitas sumber daya perempuan kepala keluarga yang rendah di Indonesia. Dari riset yang dilakukan di delapan provinsi tersebut, hasilnya menunjukkan bahwa rumah tangga yang dikepalai perempuan umumnya miskin dan merupakan kelompok termiskin dalam strata sosial ekonomi di Indonesia.

Hasil riset PEKKA membeberkan bahwa perempuan kepala keluarga berusia 20-60 tahun, 38,8 persen di antaranya buta huruf dan tidak pernah mengenyam pendidikan Sekolah Dasar. Rata-rata harus menghidupi 1-6 orang tanggungan, dengan pendapatan kurang dari 10 ribu rupiah per hari, dan sebagian di antaranya mengalami trauma kekerasan rumah tangga. Tidak berhenti di situ, ketika perempuan mencoba menempuh upaya ekonomi dengan bekerja perempuan pekerja masih kerap mendapat diskriminasi, baik dari aspek pendapatan hingga hak-hak dasar yang tidak dipenuhi, atau lebih parah lagi menerima kekerasan seperti yang dialami para buruh migran perempuan. Kondisi ini bergerak terus dalam siklus yang makin melemahkan posisi perempuan.

Bagi sebagian masyarakat, sebutan "janda" mungkin tak lebih berarti dari 'candaan-candaan' seksis, bagi sebagian lagi mungkin cuma jadi dalih syahwat ingin poligami. Namun, buat sebagian lainnya menjadi "janda" dan "perempuan kepala rumah tangga" sangat mungkin sebagai bentuk perlawanan. Di saat janda di negara maju dilindungi, eh di negara kita malah diberi stigma. Aneh.