FYI.

This story is over 5 years old.

ekstremisme

Arab Saudi Ingin Moderat, Dakwah Islam Garis Keras di Indonesia Kena Dampak?

Pernyataan mengejutkan dilontarkan Mohammed bin Salman, putra mahkota Saudi. Dia bilang, negaranya tak lagi ingin dipersepsikan radikal. Pengamat yakin kebijakan Saudi kirim dana untuk dakwah 'wahabisme' ke Indonesia terpengaruh.
Pertemuan Raja Salman dan Presiden RI Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta. Foto oleh Adi Weda/Reuters.

Putra mahkota kerajaan Arab Saudi, Mohammed bin Salman, saat diwawancarai akhir pekan lalu, mengatakan siap mengubah arah kebijakan politik monarki absolut tersebut menuju Islam lebih moderat. Mohammed mengatakan kebijakan kerajaannya selama kurun 30 tahun terakhir sebetulnya "tidak normal dan tidak menggambarkan Arab Saudi yang sebenarnya."

Bagi pengamat Indonesia yang sejak lama mengamati pola kebijakan luar negeri Arab Saudi, ada perubahan sedang menjelang. Hubungan antara Indonesia dan Saudi Arabia ternyata lebih dari hubungan antara musim haji dan pengiriman TKI (sekadar catatan, jumlah buruh migran Indonesia di Arab Saudi mencapai 1 juta orang). Negeri Petro Dollar itu bertanggung jawab atas penyebaran fundamentalisme di hampir semua negara Islam moderat, termasuk Indonesia. Setidaknya itu hasil pengamatan Faisal Assegaf, pengamat sekaligus pengelola situs pemantau isu Timur Tengah Albalad.

Iklan

Saudi sejak lama dituding mengongkosi dan mencetak para pendakwah radikal di negara-negara moderat, termasuk Indonesia. Jika Pangeran Mohammed bin Salman tak lagi mendukung penyebaran fundamentalisme, atau yang di Tanah Air sering dijuluki 'wahabisme', maka segera terjadi perubahan konstelasi.

"Imbas jika Saudi Arabia menganut paham moderat, golongan radikal di Indonesia tentu bakal terpojok, tak ada ruang gerak," kata Faisal kepada VICE Indonesia. Indikasi aliran dana itu adalah adanya kelompok yang leluasa mempromosikan intoleransi atas nama agama sudah pasti menandakan mereka punya sumber pendanaan yang besar. Donatur Timur Tengah salah satunya.

Mohammed, yang baru menjelang usia 30-an, adalah calon penerus ayahnya Raja Salman bin Abdulaziz yang saat ini disebut-sebut mengidap dementia. Mohammed oleh banyak kalangan dianggap modernis sekaligus visioner. April 2016, ia menggagas Vision 2030, sebuah cetak biru untuk mereformasi Saudi Arabia secara total termasuk mengurangi ketergantungan terhadap penjualan minyak mentah, membuka pintu investasi, perbaikan semua sektor domestik, dan pembukaan zona ekonomi baru antara Jordania, Mesir, dan Saudi Arabia di pesisir Laut Merah.

Menurut sang putra mahkota, negaranya mengadopsi ideologi Islam Sunni berkarakter keras karena tekanan situasi politik. Terutama setelah rezim Syiah berhasil mendirikan Republik Islam di Iran.

"Setelah revolusi Iran pada 1979, orang-orang ingin mengadopsi model tersebut di negara lain, salah satunya adalah Arab Saudi. Kami tidak tahu bagaimana menghadapinya. Dan masalah tersebut menyebar ke seluruh dunia. Sekarang saatnya meninggalkan hal tersebut," ujar Mohammed dikutip The Guardian. Mohammed melanjutkan kerajaannya siap menindak tegas ekstremisme beragama, terutama yang dipraktikkan mazhab Sunni. "Kami akan menghancurkan paham ekstremis sekarang juga."

Iklan

Pangeran Mohammed bin Salman saat menghadiri wisuda Akademi Angkatan Udara Saudi awal 2017. Foto oleh Faisal Al Nasser/Reuters.

Pernyataan Mohammed seolah bukti Vision 2030 bukan cuma konsep belaka. Arab Saudi mengalami defisit US$84 miliar tahun lalu, menyusul jatuhnya harga minyak dunia. Saudi harus melakukan perubahan agar perekonomian negaranya tetap aman. Mohammed sepertinya sadar, doktrin fundamentalisme yang ketat dan intoleran yang sulit membawa keuntungan ekonomi, karena investor asing cenderung malas masuk ke Saudi.

Pengamat merasa ambisi Mohammed, andai diseriusi, sulit berjalan mulus. Ulama ultra-konservatif yang selama ini menikmati kekuasaan bakal menentang keras rencana modernisasi. Apalagi jika tujuan akhirnya membuat praktik keagamaan lebih longgar.

"Jika memang ada komitmen untuk menuju ke arah moderat, itu adalah sebuah revolusi," ujar Faisal Assegaf. "Namun komitmen [Putra Mahkota] harus dibuktikan lebih dulu."

Menurut Faisal, Arab Saudi saat ini masih terus mendukung intoleransi baik lewat hukum syariah maupun ajaran para ulama konservatif. Dari laporan Human Rights Watch (HRW) yang terbit September lalu, ulama dan institusi pendidikan terus melakukan ujaran kebencian terhadap minoritas termasuk Syiah dan Sufi.

Laporan sepanjang 62 halaman berjudul "They Are Not Our Brothers: Hate Speech by Saudi Officials" dari lembaga Human Rights Watch menemukan data para ulama yang ditunjuk negara kerap menggunakan kata-kata tidak pantas saat merujuk minoritas dalam fatwa ataupun forum resmi. Sikap mereka seringkali mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah pusat.

Iklan

Pada 1970-an ketika Saudi Arabia menikmati booming minyak di bawah pemerintahan raja Faisal bin Abdulaziz Al Saud, golongan konservatif menolak modernisasi yang dicanangkan pemerintah. Kala itu raja Faisal cepat membangun infrastruktur, namun para ulama khawatir modernisasi berdampak buruk terhadap kemurnian Islam. Apalagi sampai membuat rakyat tertarik mengadopsi sistem republik seperti Iran. Maka pemerintah segera melakukan perjanjian: pembangunan infrastruktur bakal terus berjalan, tapi soal agama raja Faisal setuju memberikan kekuasaan mutlak kepada para ulama atau mufti dari aliran Salafi.

Kebijakan itu terus bertahan hingga sekarang. Polisi syariah kerap berpatroli mengatur gaya hidup warga Saudi. Hasilnya, infrastruktur dan sistem ekonomi Saudi sebetulnya sekular, namun secara moral dan agama negara ini sangat keras terhadap warganya. Adanya peran besar para mufti Sunni radikal itu berdampak pada politik luar negeri Saudi. Negara petro dollar tersebut kerap dituduh mendanai, bahkan mendukung gerakan ekstremis di beberapa negara Eropa dan negara-negara mayoritas muslim seperti Indonesia. Laporan ini berulang kali dibantah pemerintah Arab Saudi.

Abdurrahman Wahid, Presiden ke-4 Indonesia, dalam bukunya Ilusi Negara Islam menulis bila Arab Saudi mengucurkan dana sekira US$90 miliar untuk operasional Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) di Jakarta Selatan—lembaga yang berulang kali disebut mengajarkan paham fundamentalisme kepada para mahasiswanya. LIPIA berkali-kali menampik tudingan tersebut.

Iklan

Mahfudz Siddiq, selaku Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengatakan keinginan Pangeran Mohammed membawa Saudi kepada kebijakan Islam yang moderat merupakan upaya memerangi ekstremisme. Terutama saat militan Negara Islam Irak dan Syam (ISIS) sedang diambang kehancuran setahun belakangan.

Menurut Mahfudz, doktrin wahabisme yang dipersepsikan buruk oleh penduduk Indonesia, adalah instrumen Islam melawan hegemoni Barat selama Perang Dingin. Namun, saat ini ketika kondisi geopolitik Timur Tengah telah berubah—terutama dengan adanya krisis antara negara anggota Gulf Cooperation Council)—Wahabisme berubah serupa kanker. Ideologi dakwah Islam yang kaku, tekstual, anti terhadap perubahan, justru memprovokasi warga sipil menjadi radikal, serta memporakporandakan Timur Tengah dan wilayah Asia. "Saat Perang Teluk terjadi, Arab Saudi sudah menyadari adanya percampuran Islam, politik, dan ekstremisme," ujar Mahfudz kepada VICE Indonesia. "Pemerintah Saudi sepertinya ingin memisahkan ketiga hal tersebut. Contohnya beberapa kali pemerintah sudah memberi kelonggaran seperti saat perempuan diperbolehkan masuk dalam majelis syura."

Sayang, dualisme kebijakan sekuler dan moralitas agama yang ketat kadung terjadi lebih dari tiga tahun. Hasilnya Arab Saudi menjadi negara kaya yang sangat represif terhadap warganya. Terutama kepada perempuan maupun kelompok minoritas. Pegiat hak asasi manusia sedunai rutin mengecam Arab Saudi karena tidak memberikan ruang kesetaraan terhadap perempuan. Misalnya soal aturan keluar rumah wajib didampingi muhrim. Di negara Teluk lainnya, katakanlah Uni Emirat Arab atau Qatar, aturan diskriminatif itu sudah dihapuskan sejak lama. Belakangan, Raja Salman melunak. September lalu, sang raja memperbolehkan perempuan menyetir mobil sendiri—sesuatu yang sebelumnya dilarang dengan ancaman kurungan penjara. Sejauh ini belum ada resistensi dari kaum ulama garis keras yang berkuasa. Barangkali mereka sudah ditekan kerajaan. Bisa juga, menurut Faisal, para ulama tersebut akan menyiapkan perlawanan balik untuk mengamankan ideologi wahabisme.

Iklan

"Pernyataan pangeran Mohammed tentu adalah pernyataan perang terhadap ulama yang memiliki kekuasaan. Ini tentu bakal menimbulkan friksi antara pemerintah dengan ulama. Kalau mau menjadi negara moderat, Saudi seharusnya belajar dari Indonesia dong," kata Faisal.

Faisal melanjutkan bahwa golongan muda usia di bawah 30-an di Arab Saudi saat ini mencapai 70 persen dari populasi penduduk. Sehingga amat mungkin bahwa mereka menghendaki adanya pembaruan di semua sektor. Tak pelak pangeran Mohammed yang notabene mewakili golongan muda menjadi corong didapuk melakukan perubahan. Kemungkinan makin banyaknya anak muda terdidik di Saudi, yang kuliah di luar negeri, membuat pengaruh ulama tergerus.

"Sistem moderat akan mengubah wajah sosial Saudi Arabia," ujar Faisal.

Mahfudz, di sisi lain, meyakini kebijakan sang putra mahkota tidak bisa serta merta menumpas fundamentalisme di beberapa negara Islam yang diongkosi Saudi selama ini. Bisa saja, pertempuran ideologis justru pindah ke negara baru, ketika Saudi benar-benar membendung ambisi sebagian ulama Sunni radikal berpolitik.

"Menjadi moderat tentu membawa implikasi ke Indonesia," ujar Mahfudz. "Akan ada kontraksi dan perpecahan. Namun ada kemungkinan para mufti akan dikirim ke negara-negara Islam lainnya untuk menyebarkan kembali ajaran Salafi."