FYI.

This story is over 5 years old.

Perlindungan buruh migran

Siklus Tragis Pemerintah Marah Usai ART Indonesia 'Dijual' di Situs Singapura

Kasus di Singapura bukan iklan melecehkan pertama menimpa buruh migran asal Tanah Air bekerja di negeri jiran. Akar masalah pelecehan ART macam ini tak pernah serius ditangani.
Buruh migran mengantre foto untuk paspor di Kantor Imigrasi Tangerang. Foto oleh Beawiharta/Reuters.

Jasa buruh migran sektor domestik, atau biasa disebut asisten rumah tangga (ART), sangat rentan begeser jadi perbudakan modern. Buktinya bisa kita lihat dari kasus yang mencuat di Singapura sejak akhir pekan lalu. Pengguna Internet asal Indonesia dikejutkan oleh iklan yang menawarkan jasa ART asal Indonesia di situs Carousell—situs layanan jasa populer di Negeri Singa.

Akun @maid.recruitment menyebarkan wajah-wajah beberapa buruh migran Tanah Air, lengkap dengan usia masing-masing kendati kolom harga tidak diisi. Namun beberapa akun sudah diberi tanda 'terjual'. Dari beberapa cuplikan gambar, ada foto-foto perempuan diberi label "Indonesian maid fresh" alias belum berpengalaman. Ada pula yang disebut "maid ex-abroad" artinya pernah bekerja sebagai ART sebelumnya.

Iklan

Surat kabar Singapura the Strait Times menyoroti iklan tak patut tersebut sejak Minggu (16/9). Dalam hitungan jam, iklan tersebut segera dihapus. Kementerian Tenaga Kerja Singapura berjanji bakal menyelidiki siapa penyebar iklan yang menawarkan jasa ART asal Indonesia di Internet.

"[Pemerintah Singapura] menyadari adanya kasus sejumlah pekerja rumah tangga dari luar negeri dipasarkan secara tidak patut di…Carousell," menurut keterangan tertulis Kementerian Tenaga Kerja Singapura. "Kami tengah menyelidiki kasus ini."

Kendati iklan sudah dihapus, pemerintah Indonesia rupanya merasa tidak puas. Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) mengirim nota protes resmi yang dilayangkan ke Singapura melalui atase di Kedutaan Besar Republik Indonesia. "Harus ada tindakan tegas terhadap pelaku iklan itu," kata Soes Hindharno selaku Direktur Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri Kemenaker saat dihubungi wartawan di Jakarta, Selasa (18/9).

Sayangnya, pemasaran jasa buruh migran Indonesia yang melecehkan ini bukan kali pertama. Dua insiden serupa pernah terjadi beberapa tahun lalu—semuanya di Malaysia. Kasus pertama mencuat pada Oktober 2012. Kala itu, ditemukan brosur di Kuala Lumpur yang secara frontal menawarkan jasa pembantu asal Indonesia dengan ongkos 7.500 Ringgit Malaysia. Kemudian pada Februari 2015, iklan tak kalah menghina muncul di sebuah banner pusat perbelanjaan Kota Petaling Jaya, Malaysia. Dalam pariwara tersebut, konsumen di Malaysia diminta memecat ART asal Indonesia, ganti membeli produk RoboVac yang bisa membersihkan lantai.

Iklan

Pemerintah Indonesia, merespons penghinaan terhadap ART di Malaysia ataupun Singapura, dengan marah-marah atau menuntut pemerintah setempat mencabut iklan macam itu.

Namun tampaknya ada persoalan lain yang terus muncul, yakni masalah sentimen rasis terhadap buruh migran Indonesia. Buruh migran kita biasanya dipandang rendah lantaran mengisi posisi yang tidak butuh keterampilan. Selain itu, perlindungan pekerja dalam hal pemasaran jasanya juga belum diatur. Indonesia-Singapura selama ini baru mengatur soal kontrak, gaji minimum, dan sektor yang bisa diisi.

Bagaimanapun, Singapura merupakan salah satu tujuan favorit buruh migran Indonesia. Negara kota itu, sepanjang 2017, tercatat menyerap 11.175 pekerja asal Tanah Air. Sedangkan Malaysia menjadi negara utama penampung buruh migran Indonesia, mayoritasnya bekerja sebagai ART, mencapai 60 ribu orang.

Tapi masalah yang lebih mendasar, namun tak pernah diurai serius, adalah peningkatan mutu tenaga kerja yang dikirim ke mancanegara. Berdasarkan data 2017, dari total hampir 150 ribu buruh migran, 32 persennya masih berprofesi sebagai ART. Karena sektor yang diisi TKI dipandang tidak butuh keterampilan, alhasil pandangan rasis dari orang tak bertanggung jawab—termasuk misalnya penyalur yang menampilkan iklan di Singapura—akan terus terjadi di masa mendatang.

"Pemerintah tidak memiliki standarisasi dan sertifikasi pekerja di sektor nonformal," kata Enny Sri Hartati selaku Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) saat dihubungi VICE sebelumnya. Kelambanan pemerintah membenahi kualitas tenaga kerja, membuat masih banyak orang memilih berangkat ke mancanegara dengan skill alakadarnya. Alhasil, posisi yang tersedia adalah menjadi asisten rumah tangga yang rentan dilecehkan ataupun disiksa.

Iklan

Tanpa membenahi persoalan mendasar dari dalam negeri, yakni memberi pelatihan memadai bagi calon buruh migran, serta memastikan penyalur jasa bonafid memberi pelatihan nilai tambah kepada para pekerja, maka jumlah profesi ART masih akan dominan. Ketika akhirnya terjadi kasus penyiksaan ART atau pelecehan seperti di Singapura, pemerintah akan kelabakan merespons dengan marah-marah. Tragisnya, pemerintah juga tahu risiko pelecehan jasa ART macam ini sudah berulang kali terjadi. "[Kemenaker] menyadari adanya kasus sejumlah pekerja rumah tangga dari luar negeri dipasarkan secara tidak patut," kata Hindharno.


Tonton dokumenter VICE menyorot profil buruh migran asal Indonesia yang terancam dihukum karena terlibat pembunuhan Kim Jong-nam:


Pemerintah menerapkan moratorium pengiriman buruh migran ke Timur Tengah, yang dianggap biadab memperlakukan ART asal Indonesia. Sampai saat ini belum ada perubahan signifikan terhadap perlindungan dan perlakuan untuk buruh migran asal Tanah Air. Berkaca dari penelitian Jurnal Paradigma Ekonomika, moratorium yang sebelumnya dilakukan pemerintah, seperti ke Arab Saudi, berhasil mengurangi jumlah buruh migran sektor informal, terutama pembantu rumah tangga. Namun secara kualitas, tenaga kerja dari Tanah Air yang dikirim mutunya disimpulkan tak kunjung membaik selama periode moratorium.

Jika sebaran profesi yang rentan dianggap tak butuh keterampilan masih tinggi, tak perlu kecewa bila di masa mendatang iklan melecehkan macam di Singapura, Malaysia, atau di negara lainnya terulang kembali.