Kafe Hewan Peliharaan di Seoul Beneran Gokil, Ada Kapibara Sampai Meerkat
Semua foto oleh penulis.

FYI.

This story is over 5 years old.

Korea Selatan

Kafe Hewan Peliharaan di Seoul Beneran Gokil, Ada Kapibara Sampai Meerkat

Di tiga kafe hewan yang kami datangi di Ibu Kota Korsel, kamu bisa makan waffle sambil menggembala domba, juga ngasih meerkat peliharaanmu smoothies.

Artikel ini pertama kali tayang di MUNCHIES.

Sejak konsepnya pertama kali diperkenalkan di Taiwan kira-kira 20 tahun lalu, kafe hewan peliharaan menyebar ke seluruh wilayah Asia, lalu menular hingga ke belahan dunia lainnya. Kafe kucing, misalnya, sudah lazim ditemukan di beberapa benua. Tahun lalu, kafe anjing untuk pertama kali dibuka di Amerika Serikat. Di Seoul, kafe hewan peliharaan tak cuma menyediakan hewan-hewan populer macam kucing dan anjing. Kafe-kafe hewan peliharaan di sana kini juga menampung beragam binatang-binatang eksotis lainnya. Kira-kira sebulan lalu, saya sengaja datang sendiri ke Seoul mengunjungi kafe-kafe hewan peliharaan paling unik di sana. Beberapa diantaranya berani menjanjikan pengalaman unik makan wafel dan menyeruput kopi sambil dikelilingi domba, rakun, ataupun meerkat. Bahkan, ketika saya melakukan riset lebih jauh tentang bisnis kafe hewan peliharaan di kota itu, saya menemukan nama-nama hewan yang sebelumnya enggak pernah mampir ke kuping saya. Misalnya, ada yang tahu apa itu kapibara? Petualangan saya dimulai di Thanks Nature Cafe, yang kondang sebagai "kafe domba." letaknya di Hongdae, kawasan ternama Seoul yang sering menjadi lokasi konser musik independen, segudang kedai kopi, dan butik fesyen yang inovatif. Untungnya, kafe domba ini terpisah lumayan jauh dari restoran lain yang menawarkan kopi, smoothie, jus, dan wafel.

Iklan

Sebagaimana aturan yang umumnya berlaku di kafe hewan peliharaan, agar bisa nongkrong bareng domba kita harus lebih dulu membeli semacam konsesi. Pelanggan kafe ini tak cuma datang untuk menghabiskan waktu dengan dengan domba. Mereka juga mengincar wafel dan patbingsu, kudapan khas Korea berbentuk es susu serut dengan beragam topping. Di Thanks Nature Kafe, makanan penutup tradisional ini dioprek lagi. Patbingsu yang saya pesan misalnya datang dalam bentuk es susu serut yang ditaburi pasta kacang merah, bubuk kacang panggang dan mochi kacang merah. Es serutnya punya tekstur lembut seperti salju. Antitesis yang pas bagi udara Seoul yang waktu sedang berada di puncak musim panas.

Segera setelah kami masuk, barista menyodorkan menu pada pacar saya dan selebaran berisi aturan dalam kafe seperti "jangan mengangkat rakun" atau "jangan mengelus rakun yang sedang asik tidur."

Kekhawatiran pertama saya terhadap kafe hewan peliharaan adalah masalah sanitasi. Wajar saja sih. Hewan dibiarkan berkeliaran di sekitar tempat makanan disiapkan dan dihidangkan. Saya bahkan membayangkan bagian luar kafe itu bakal bau pesing domba. Dugaan saya meleset. Ternyata pemilik kafe ini sangat trengginas membersihkan setiap area pakai disinfektan. Hasilnya, kandang hewan dalam kafe terlihat kinclong, sementara dombanya selalu tampak seperti baru saja dimandikan—bulunya malah lebih putih dan berkilau daripada awan di atas kota Seoul yang penuh polusi. Tak cuma terlihat segar, "kesejahteraan" mereka terjamin. Kandang domba-domba ini dilengkapi lumbungnya masing-masing. Jika sedang tak mood bertemu pelangganan, mereka bisa sembunyi bahkan tidur di kandangnya. Dua domba di kafe itu—namanya Sam dan Anna—sangat ramah. Mereka datang menyapa pelanggan. Malah, mereka kadang seperti hendak meloncat ke arah pengunjung mana pun yang berbaik hati memberi mereka makan. Suara embikan mereka jauh lebih halus dari musik K-pop yang disetel lumayan kencang di luar kafe. Tujuan saya berikutnya adalah Blind Alley alias kafe Rakun. Awalnya, saya pikir ini kafe yang paling aneh yang bakal saya kunjungi. Saya tumbuh besar di New Jersey, Amerika Serikat. Di sana, kami terbiasa menganggap rakun sebagai hewan berbahaya yang doyan mengacak-ngacak tempat sampah dan agen utama penularan rabies. Intinya: makan dekat rakun adalah tindakan gegabah…. tapi itu di New Jersey.

Iklan

Blind Alley terletak di sebuah kawasan sepi pinggiran Seoul. Di area yang sama, beberapa kafe hewan peliharaan bisa mudah dijumpai. Setelah ngobrol bersama beberapa barista dan pemiliki kafe, saya akhirnya paham alasan di balik populernya kafe hewan peliharaan di Negeri Ginseng ini. Populasi Seoul tercatat dua kali populasi populasi New York City. Sebagian besar warga tinggal di apartemen, yang tak mengizinkan keberadaan binatang peliharaan. Belum lagi, budaya Korea Selatan menjunjung tinggi kerja keras. Akibatnya, sampai saat ini, Korea Selatan memiliki rata-rata jam kerja dalam seminggu terpanjang ketiga di dunia. Hampir tak ada waktu nyantai bersayang-sayangan sama hewan peliharaan. Jadi, enggak aneh juga kalau penduduk Seoul ingin nongkrong dengan hewan-hewan peliharaan di akhir pekan setelah bekerja 60 jam seminggu. Meski ada meja yang kosong—kafe ini memang tak seramai Thanks Nature Cafe—pengunjung tak henti-hentinya datang. Sebagian adalah penduduk setempat sementara sisanya adalah kaum ekspatriat. Segera setelah kami masuk, barista menyodorkan menu pada pacar saya dan selebaran berisi aturan dalam kafe seperti "jangan mengangkat rakun" atau "jangan mengelus rakun yang sedang asik tidur." Melihat sekilas kertas berisi aturan itu, saya jadi pengin lihat apa jadinya jika ada pelanggan yang enggak tahu apa-apa masuk kafe dan langsung mengelus rakun yang sedang tidur. Pasti berabe hasilnya.

Iklan

Yang mengagetkan, lembaran berisi aturan juga mewanti-wanti kami bahwa rakun bisa mengambil makanan yang kami pesan atau—lebih parah lagi—menggigit pelanggan. "Jangan kaget. Bilang saja "tidak" kalau seekor rakun bertingkah menyebalkan sama kalian." Selain karena rakunnya, Blind Alley termahsyur berkat olahan ricotta cheese rumahan dan gelatonya. Salad yang disajikan di kafe ini berisi segunung ricotta cheese yang disajikan bersama potongan tomat dan taburan kismis. Menu lainnya, Orea 'Bong Bong", adalah semacam brownie yang dibuat dari wafer Orea dengan topping gelato vanialla rumahan, saus coklat, karamel dan almon. Saya mengaduknya sampai lelehan coklat Oreonya mirip muka rakun yang berkeliaran di sana.

Seperti kafe sebelumnya, ruangan makan dipisahkan dari kandang para rakun. Saya mendapat tempat duduk agar di pinggir. Saya was-was jangan-jangan makhluk berbahaya itu bisa kapan saja meloncat dari salah satu pojok ruangan. Kenyataannya tak seseram itu. Tiga ekor rakun yang saya temui sedang asik tidur. Salah seorang pegawai kafe memberi saya remahan daging cumi-cumi kering, ketiganya langsung terjaga, menyium baunya yang amis. Rakun paling lucu dari ketiganya adalah rakun albino bercakar putih kecil. Cakar itu dia gunakan mengambil remahan daging cumi-cumi yang saya berikan.

Seperti semua ekspatriat asal AS yang saya jumpai di sana, saya agak tersentak saban kali tangan kecil rakun menyentuh telapak tangan saya. Ruangan Blind Alley selalu temaram. Dindingnya dari batu bata. Ada semacam pipa-pipa kecil yang menggantung tak terlalu tinggi. Sepintas, ruangan dalam kafe ini mirip lorong-lorong gelap di kampung saya, New Jersey. Di tempat-tempat seperti inilah, rakun-rakun sering terlihat mengacak-acak tempat sampah dan menyeruput susu basi yang kami buang. Seekor rakun mencengkeram sebuah papan terus dengan kabur dengan cepat menyusuri sebuah pipa. Rakun bukan hewan asli Korea. Jadi, pengunjung kafe dari Seoul enak saja mengambil swafoto sama rakun. Mungkin, mereka tak mafhum reputasi buruk rakun di Amerika Serikat. Mereka dengan seenaknya tersenyum beberapa sentimeter dari moncong salah satu rakun. Seekor anjing corgi masuk kafe lalu mulai bergulat dengan salah satu rakun. Di ruangan sebelahnya, kafe ini baru saja menambah koleksi hewan peliharaannya: seekor kapibara. Seumur hidup saya, ini pertama kali saya melihatnya. Layaknya rakun, kapibara bukan hewan endemik Semenanjung Korea. Hewan pengerat paling besar di muka bumi berasal dari Amerika Utara. Bentuknya seperti seekor groundhog seberat 70 kilogram dengan muka bak kelinci dan kuping yang mungil. Menyeruput kopi di dekat hewan-hewan liar ini bikin saya yakin semua hal-hal yang aneh yang bisa ditawarkan Seoul sudah saya cicipi. Ini baru appetizer doang lho.

Iklan

Saya bisa bilang rasanya aneh saat seekor meerkat ngruntel di selimut yang kita pegang…

Akhirnya, saya sampai ke kafe yang paling enggak lazim dari dalam rencana perjalanan saya: Meerkat Cafe. berbeda dengan dua kafe hewan peliharaan sebelumnya, tak ada pembedaan berarti antara ruang makan dan kandang hewan. Semua jenis binatang liar bisa berkeliaran di seluruh ruangan kafe. Di atas saya, misalnya, saya mendapati seekor genet, mamalia totol-totol dari Afrika yang mirip hasil kawin silang lemur dan luwat. Di belakang saya, seekor wallaby—anak baru di kafe itu—sedang asik meloncat-loncat di atas meja. Seekor rubah Arktik berlari menyusuri jendela dan mulai bergulat dengan si anak baru, Wallaby. Di saat yang sama, kucing dari beragam jenis meloncat ke meja atau pangkuan pelanggan yang mau berbagi makanan.

Karena tak ada pemisahan ruangan, kafe ini hanya menyajikan minuman dingin dalam botol. Saya memesan es kopi dan langsung mengantre masuk kadang meerkat. Tiap pengunjung bisa berada di sana selama 10 menit buat bercengkrama sama lusinan meerkat. Kami dibekali selembar selimut. Yang mengejutkan, meerkat ternyata hewan ramah yang dengan senang hati duduk di pangkuan manusia. Dari yang apa yang saya alami, saya berani bilang rasanya aneh melihat seekor meerkat ngruntel di selimut yang kita pegang. Melihat meerkat-meerkat ini berusaha meladeni insting hewani mereka di sebuah kafe yang padat bikin saya gatal bertanya-tanya: apakah kafe hewan peliharaan adalah cara yang etis untuk memelihara mereka? Untuk menjawabnya, saya ngobrol langsung dengan Natalie, sang pemilik kafe dan bertanya opininya tentang perlakuan terhadap binatang di kafe-kafe hewan peliharaan di Korea Selatan. "Beberapa kafe terus terang sangat jahat. Mereka enggak mengurus binatang-bintang yang mereka miliki. Mereka boro-boro mau membersihkan hewan peliharaan mereka. Pemilik kafe cuma mau uangnya doang," ujar Natalie. "Lalu, apa dong bedanya kafemu dengan pesaing?" saya kembali bertanya.

"Aku suka hewan-hewan ini. Beberapa sering saya bawa pulang. Meerkat dan rubah arktik sudah jadi peliharaanku sebelum kafe ini dibuka. Aku kadang berat meninggalkan mereka saat aku kerja. Solusinya, aku buka kafe ini jadi mereka bisa dapat lebih banyak perhatian."

Apa yang diucapkan Natalia sudah sering dibahas. Rakun di Blind Alley awalnya juga peliharaan sang pemilik kafe. Rakun-rakun itu diselamatkan ketika bulunya hendak dibikin mantel bulu, ujar pemilik Blind Alley. Terus bagaimana dengan Capybara? Binatang pengerat ini ternyata didapat sebuah kebun binatang yang baru saja tutup. Kendati domba-domba di Thank Natur Cafe awalnya bukan peliharaan sang pemilik, dia mengaku hewan-hewan ini dirawatnya sedari kecil. Setelah beberapa kafe anjing dan kucing di Korea Selatan digerebek karena menelantarkan binatang, masing-masing pemilik ketiga kafe ini berharap nama kafe mereka bakal mencuat bukan cuma karena koleksi hewan mereka yang ajaib tapi juga cara mereka memastikan hewan-hewan mereka sejahtera. Bagaimanapun, susah menentukan apakah cukup adil menempatkan hewan-hewan liar jauh dari habitat aslinya dan membiarkan mereka disentuh sembarang orang. Bagi beberapa orang, kafe-kafe hewan peliharaan ini adalah solusi yang lebih baik daripada hewan-hewan ini dibiarkan sendirian, terkunci di apartemen kota yang sempit. Seenggaknya nasib hewan-hewan ini lebih baik ketimbang telantar atau dibunuh untuk diambil bulunya semata. Dalam kasus Natalie, niatnya kelihatan tulus. "Aku dasarnya pecinta binatang," ujarnya. "Niatku cuma berbagi binatang peliharaan dengan orang lain yang sama-sama mencintai hewan-hewan ini."