FYI.

This story is over 5 years old.

Hak Perempuan

Perempuan Afghanistan Menuntut Hak Dipanggil Dengan Nama Sendiri

Laki-laki Afghan terbiasa memanggil istri pakai sebutan “kambingku” atau “ayamku.” Para perempuan melawan tradisi tersebut melalui kampanye media sosial.
Foto oleh SHAH MARAI/AFP/Getty Images

Artikel ini pertama kali tayang di Broadly.

Minggu ini surat kabar New York Times menerbitkan kisah Mujib Mashal. Artikel ini menceritakan betapa sebagian laki-laki Afghanistan terbiasa memanggil istri mereka dengan julukan merendahkan kayak "kambingku," "ayamku," dan "si lemah" alih-alih dengan nama mereka. Para laki-laki percaya menyebut nama perempuan akan mencemarkan si perempuan itu sendiri. Ribuan perempuan Afghanistan kini melawan di media sosial menggunakan tagar #WhereIsMyName dalam kampanye yang menarik perhatian dunia. Tujuan mereka, menurut Times, bukan hanya untuk merebut identitas mereka sendiri, namun juga untuk "mematahkan tabu mengakar yang mencegah laki-laki menyebut nama-nama perempuan di ruang publik." Sosiolog Afghanistan Hassan Rizayee berkata pada Times bahwa "kebiasaan panggilan itu mengakar dari cara-cara hidup suku asli Afghan." "Masalah sebutan merendahkan bagi istri dipengaruhi tradisi dan isu budaya; untuk mengubahnya butuh perlawanan budaya dalam waktu panjang," kata Rizayee pada Times. "Dengan melemahkan budaya-budaya kesukuan, dan kesadaran melalui media, cara berpikir seperti itu mengenai perempuan bisa diubah." Itulah persisnya yang diupayakan para perempuan yang berpartisipasi dalam kampanye #WhereIsMyName. "Dalam masyarakat kita ada banyak ketidakadilan bagi para perempuan, pada dasarnya semua hal adalah tabu bagi perempuan," ujar aktivis Bahar Sohaili pada Thomson Reuters Foundation, seperti dikutip Independent. Rilisan ini menunjukkan meski perempuan-perempuan Afghan meraih kembali hak untuk memilih, bekerja, dan bersekolah sesudah Taliban tumbang pada 2001, kekerasan terhadap perempuan masih terjadi dalam skala massif. "Dengan kampanye ini, kami berupaya untuk mengubah banyak hal bagi perempuan-perempuan dan media sosial telah membuka jendela baru bagi generasi muda Afghanistan," kata Sohaili. Protes yang dilayangkan kampanye tersebut bermula pada Provinsi Herat. Kini, kampanye ini menyebar ke seluruh Afghanistan lewat media sosial. Para aktivis mendesak politisi dan selebritas laki-laki untuk turut mendukung. Farhad Darya, penyanyi sekaligus aktivis perempuan terkemuka di negara itu, menyuarakan dukungannya lewat Facebook. "Pada banyak kesempatan di hadapan orang yang tidak memiliki hubungan darah dengan saya, saya menyadari bagaimana para laki-laki mengerutkan dahi mereka saat saya menyebut nama ibu dan istri saya. Menurut mereka ini culun," kata Darya.

"Mereka memandangi saya seolah-olah saya adalah pemimpin seluruh pengecut di dunia dan saya tidak memahami 'tradisi dan kebanggan Afghanistan.'" Tentu saja, sebagian laki-laki Afghan menjadi defensif. Mereka menganggap kampanye ini berlawanan dari "nilai-nilai Afghanistan." Sebagian lelaki, seperti dilaporkan Times mencatat ada banyak lelaki melalukkan kampanye balasan di Facebook. "Namaku Akram. Nama Ibu dari Anak-anakku? Aku lebih baik mati daripada menyebutkannya." Modaser Islami, laki-laki lain lagi yang disebut dalam rilisan Times, menulis begini pada laman Facebooknya: "Nama ibuku, saudara perempuanku dan istriku sakral seperti jilbab mereka, dan ini adalah tanda kemuliaan mereka… Nama ibuku, saudara perempuanku, dan istriku akan disebut jika diperlukan. Kamu sebaiknya pakai jilbab dan celana." Laki-laki seperti ini gagal memahami bahwa mereka justru sedang menunjukkan alasan kampanye ini dibuat. Meski begitu, seharusnya perempuan berhak memilih bagaimana dia ingin disebut. Perkara nama dan panggilan ini sama sekali bukan urusan laki-laki.