Opini

Ngapain Sewot Agnez Mo Mengaku tidak berdarah Indonesia? Menurut Sains itu Akurat Kawan

Penyanyi 33 tahun ini jadi trending topic di Twitter, gara-gara mengaku ke media asing kalau dia tidak berdarah Indonesia. Buat kalian yang pada sewot, emang apa sih sebenarnya "darah Indonesia" itu?
Netizen Mengecam Agnez Mo Mengaku tidak berdarah Indonesia? Menurut Sains itu Akurat
Foto Agnez Mo saat menghadiri American Music Award 2019 oleh Matt Winklemeyer/AFP

Keputusan Agnez Mo mengatakan dirinya tidak berdarah Indonesia dalam wawancara Build Series by Yahoo berbuntut panjang. Potongan video kurang dari semenit yang merekam Agnez mengatakan hal tersebut beredar di media sosial. Nah rekaman itu jadi landasan orang-orang yang merasa tersinggung karena.. enggak tau juga sih kenapa :P

(Iye, iye, karena jiwa nasionalisme yang tergetar dari netizen). Buat yang belum nonton, berikut cuplikan video sumber polemik itu:

Iklan

Potongan tersebut adalah bagian kecil dari 27 menit wawancara Agnez yang bisa ditonton di tautan ini. Kalau Anda agak santai hidupnya dan punya kesempatan nonton video lengkapnya kayak saya, apa yang dikatakan Agnez (menurut saya) sama sekali tidak menyinggung apapun dan siapapun. Lebih-lebih geng NKRI harga mati.

Berawal dari pertanyaan pewawancara yang menyinggung soal Agnez yang kerap merasa dirinya berbeda, penyanyi 33 tahun tersebut hanya memberikan informasi bahwa sebagai orang yang lahir di Indonesia, Agnez justru tidak berdarah murni Indonesia, namun hanya memiliki darah keturunan Jerman, Jepang, dan Tionghoa. Agnez menambah jawaban soal “bagaimana ia merasa berbeda” tersebut dengan menjelaskan bahwa ia adalah penganut Kristen, agama minoritas di Indonesia. Setelah mengatakan itu, ia menyatakan meski berbeda, itu tidak jadi masalah karena toh lingkungan tetap menerima keberadaannya. Salah satu contoh netizen yang paling merasa perlu berpendapat soal pernyataan Agnez ini adalah, Permadi Arya—itu lho, yang sempat tersandung debat pakai atribut Nazi.

Apa yang dikhawatirkan Permadi ini menurut saya salah sasaran. Soalnya, pemahaman Permadi dan Agnez soal “darah Indonesia” jelas-jelas berbeda. Dari yang saya tangkap, Permadi mengatakan definisi “darah Indonesia” sebagai istilah dari hasil konsensus politik berkat salah satu momen sejarah penting bangsa ini. Jadi, tiap-tiap yang lahir di Indonesia dan membela Indonesia bisa diartikan berdarah Indonesia.

Iklan

Sedangkan Agnez melihat frasa “darah Indonesia” sebagai garis keturunan orang tuanya. Jerman, Jepang, dan Cina bukanlah Jawa, Kalimantan, dan Sumatera yang secara garis keturunan termasuk "darahnya" Indonesia. Permadi dan Agnez benar dalam dunianya masing-masing, tapi kalau mau adu argumen siapa yang paling benar ya sampai Jokowi beneran tiga periode juga enggak bakalan kelar.

Sebaiknya, mari kita lihat sudut pandang yang paling imparsial untuk menentukan apa itu darah Indonesia dan orang asli Indonesia. Tentu, sains lebih tepat untuk jadi pengadil.

Peneliti Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Herawati Supolo-Sudoyo menjelaskan, bahwa secara genetis manusia Indonesia dibentuk oleh empat gelombang migrasi. Gelombang pertama terjadi 40 ribu tahun yang lalu saat pengembara Afrika Timur melewati Indonesia ketika ingin ke Australia. Kedua, kelompok dari Asia daratan yang masuk Indonesia dari Semenanjung Malaya.

Ketiga, empat ribu tahun lalu saat gelombang dari Cina Selatan sampai ke Sulawesi dan Kalimantan. Lalu, gelombang keempat terjadi pada masa Indianisasi dan Islamisasi di Kepulauan Nusantara terjadi di zaman kerajaan.

Herawati melakukan studi genetika dan hasilnya mengatakan penghuni awal di Indonesia hadir 70 ribu-50 ribu tahun lalu. Dari situ, kita mengetahui bahwa Indonesia dibangun dari migrasi manusia sehingga tak mungkin melabeli kelompok tertentu sebagai manusia asli Indonesia karena ya tidak ada pemilik gen murni di Nusantara.

Iklan

"Kita ambil dua kutub [asal nenek moyang] yaitu Han Chinese dari Mainland China, satu lagi dari PNG [Papua New Guinea]. Buktinya bisa dilihat, Indonesia bagian barat lebih banyak Astro Asiatik dan Astronesian, Cina Selatan, di daerah Yunan," kata Herawati pada VICE beberapa waktu lalu.

Lagipula, kalau kita bicara pengalaman spesifik warga Tionghoa, ada trauma sejarah yang masih membekas sampai sekarang. Rasisme kolonial pada era penjajahan Hindia Belanda yang menciptakan istilah "pribumi". Istilah 'pribumi' dan 'nonpribumi' (lebih sering melekat pada etnis Tionghoa) terus berkembang hingga rezim Orde Baru yang dipimpin Suharto. Istilah ini digunakan terutama sebagai alat kontrol dan teror. Opini yang pernah dimuat VICE Indonesia turut mengulas di era Orde Baru, agar etnis tionghoa diterima sebagai warga negara "sah" (dan tentu saja sedikit lebih bernuansa pribumi), mereka harus mengubah nama. Munculnya celaan 'aseng' yang populer sejak 2017 menerbitkan kembali trauma bagi beberapa orang.

Intinya, kembali ke penjelasan Herawati, kajian ilmiah menunjukkan tidak ada darah Indonesia yang murni. Clear ya.

Sementara dari sudut pandang politik, Indonesia sendiri rasanya bukan proyek kebangsaan yang final. Jadi, akan lebih tepat memosisikan pernyataan Agnez sebagai refleksi bagi kita semua: sudahkah kita memosisikan semua penduduk benua maritim ini sebagai saudara sebangsa yang sebenarnya, lepas dari warna kulitnya?

"Kalau ada yang bilang 'kamu Indonesia murni', pertanyaannya, 'what is Indonesia?'" kata Herawati. "Indonesia itu geopolitik, satu yang [isinya] beda-beda."

Begitulah realitas Tanah Air kita. Memang kompleks dan tidak mungkin dituntaskan dengan marah-marah dengan semangat NKRI harga mati doang.