Pengasuh pesantren Baitul Ilmi di Kabupaten Jember, Ustaz Mastur, sempat bingung ketika bantuan yang udah diserahkan Bupati Jember Faida kepada santrinya malah diminta kembali sesaat setelah prosesi penyerahan bantuan selesai.
Peristiwa ini jadi perbincangan di internet setelah Mastur mengatakan kepada jurnalis situs Merdeka bahwa dari 18 paket bantuan yang dijanjikan, hanya dua paket jadi diantar. Pada 14 Februari lalu, Pemkab Jember akhirnya melakukan penyelamatan krusial untuk menjaga harga diri lembaga, dengan mengantarkan kekurangan sumbangan.
Cerita memalukan ini bermula Jumat (7/2) dua pekan lalu , ketika Bupati Jember dr Faida berinisiatif mengunjungi Pondok Pesantren Baitul Ilmi. dalam rangka bagi-bagi bantuan kepada korban banjir di Kelurahan Mangli, Kecamatan Kaliwares.
Videos by VICE
Mansur, sebagai pemilik pesantren, diajak berdialog oleh Faida soal berapa warga terdampak banjir bertahan di pesantrennya. Saat itu Mansur menjawab ada 18 santri terdampak. Faida spontan memerintahkan anak buahnya memberikan bantuan satu-satu ke setiap santri.
“Ada Pak Camat, Lurah, dan RT-RW. Lalu, diserahkan bantuan secara simbolis berupa selimut, kasur, dan paket sembako,” kata Mastur. Saat penyerahan simbolis, diserahkan masing-masing lima kasur, lima selimut, dan dua dus paket sembako. Yang lucu, di setiap kemasan paket bantuan Pemkab Jember ini ada foto Bupati Faida (kayaknya ini emang udah kebiasaan Pemkab Jember, deh).
Penyerahan selesai, para pejabat dan awak media pulang. Tidak lama berselang, seorang pegawai pemkab datang ke Mastur, minta izin menarik kembali sumbangan yang udah dikasih untuk “sementara waktu”. Alasan sang pegawai: pemkab akan datang kembali sambil menyerahkan bantuan dengan jumlah yang lebih sesuai data. Hmm, ada dua hal yang membuat alasan itu aneh.
Pertama, yang namanya bantuan banjir ya darurat, harus dikasih saat itu juga, kenapa harus diambil lagi sih? Kedua, kalau emang bantuannya (baru lima paket) tidak sesuai data (18 santri), kenapa harus ditarik, kan nanti bisa tinggal ditambah sesuai kuota yang kurang.
Di tengah kebingungan, Mastur masih berpikir positif dan memercayai omongan pegawai pemkab. Cahaya harapan datang tiga hari dari kunjungan pertama. Kata pihak RT/RW, ada kiriman dari pemkab untuk pesantren yang bikin makin kesel. Mastur hanya mendapati dua paket berisi kasur dan selimut alias lebih sedikit dari kunjungan pertama.
Penjelasan yang diberi camat malah menyedihkan, garis besarnya: karena yang banjir bukan cuma di asrama pesantren saja, tapi di tempat lain juga, makanya bantuan diratakan demi terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Jember.
Cerita Mastur itu kemudian tersebar sehingga Pemkab terpaksa mengklarifikasi. Kata Camat Kaliwates Asrah Widono, 18 paket sumbangan tidak langsung diantarkan karena BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) Jember sedang banyak agenda kegiatan. Juga ada kendala lain kayak pohon tumbang dan “sebagainya”.
Baru pada 14 Februari lalu, janji bantuan pemkab betulan diantar oleh Camat Asrah ke pesantren. Akun-akun media sosial Pemkab Jember dan juga Faida segera mengumumkan klarifikasi tentang “miskomunikasi” ini. Pembersihan nama baik sukses dilakukan.
Kejadian bantuan ditarik kembali setelah penyerahan simbolis pernah juga terjadi di Kota Banjarmasin, September tahun lalu. Stok makanan melimpah namun tidak adanya alat masak membuat pengungsi sangat membutuhkan kompor. Saat bantuan kompor datang, para pengungsi akibat musibah kebakaran di Alalak Selatan malah kena PHP Wali Kota Banjarmasin Ibnu Sina karena sumbangan diminta kembali oleh pemerintah.
“Iya, kebetulan yang menerima secara simbolis itu saudara saya langsung, si Sabrah. Cuma setelah diserahkan, kompor diambil kembali. Sampai saat ini, kami tidak ada kompor dan lainnya,” ucap Darmawati kepada Tribunnews.
Hal sama terjadi di Kecamatan Mandalawangi, Kabupaten Pandeglang, Kota Banten. Warga korban gempa bumi 2 Agustus 2019 mempertanyakan kepastian waktu bantuan turun. Padahal, penyerahan bantuan secara simbolis telah dilakukan sejak sepekan pascabencana. Masyarakat terdampak merasa dipermainkan karena birokrasinya lempar sana-sini.
“Katanya besok ke kecamatan yah ibu-ibu untuk buat buku tabungan. Setelah ke kecamatan, pihak kecamatan juga pada enggak tahu. Jadi gimana yah, kok membingungkan kami gini, seperti dipermainkan begitu,” ujar salah satu korban gempa Sawiri.
Mending perlakuan kayak gini kita balas, gimana kalau nanti ada pelantikan simbolis pejabat baru, kita pura-pura mengakuinya, tapi pada kenyataan kita tetap menganggap Presiden Indonesia adalah Alfonso d’Albuquerque—pelaut legendaris yang merintis masuknya kolonialisme ke Tanah Air.
(P.S: Lalu saya terjerat pasal makar. Bye!)