Hadirnya Vaksin Tak Menyelesaikan Masalah Demam Berdarah di Indonesia

Nyamuk Aedes aegypty. Foto oleh Sanofi Pasteur via Flickr.

Vaksin demam berdarah pertama dunia sekarang diedarkan resmi di Indonesia. Sayangnya bagi banyak penduduk, termasuk lebih dari 100 ribu orang yang terjangkit penyakit ini di Indonesia saban tahun, vaksin tersebut mustahil terjangkau karena diproduksi oleh pabrikan swasta.

Vaksin dinamai Dengxavia ini dikembangkan perusahaan farmasi internasional bernama Sanofi Pasteur, setelah melalui 20 tahun riset dan uji coba. Menurut sebuah kajian yang baru-baru ini diterbitkan di jurnal ilmiah Science, Dengxavia terbukti efektif mengurangi angka rawat inap sebanyak 30 persen di wilayah-wilayah yang rentan terjangkit demam berdarah.

Persoalannya biaya vaksin yang tinggi—Rp900.000 untuk setiap rentetan tiga suntikan—mengakibatkan sebagian besar masyarakat menengah ke bawah yang justru paling membutuhkan, sulit memperoleh vaksin yang dapat menyelamatkan hidup mereka. Separuh dari 250 juta populasi Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, dengan penghasilan sekitar Rp26.000 per hari. Wilayah dengan tingkat penghasilan rendah terbukti lebih rentan terhadap penyebaran virus demam berdarah. Kampung-kampung miskin di Jakarta Timur dilaporkan memiliki tingkat penularan yang lebih tinggi dibanding daerah-daerah dengan tingkat pendapatan yang lebih tinggi.

Videos by VICE

Tahun lalu, virus demam berdarah menginfeksi hampir 129.650 orang dan membunuh 1.071 jiwa di Indonesia. Negara ini memiliki angka penularan demam berdarah kedua tertinggi di dunia, setelah Brazil.

“Permasalahan dengue ini sudah seperti siklus tahunan tersebar merata hampir di seluruh Indonesia,” kata Andi Khomeini Takdir Haruni dari Ikatan Dokter Indonesia kepada VICE. “Sebenarnya kita bisa mencegah [penularan], tapi upaya pencegahan dengue sendiri belum maksimal.”

Demam berdarah merupakan salah satu virus paling mematikan di dunia. Menurut laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), diperkirakan 100 juta orang dari seluruh bumi tertular penyakit ini setiap tahunnya. Separuh populasi dunia tinggal di daerah yang rentan terhadap virus DBD. Daerah-daerah ini juga biasanya penuh dengan nyamuk Aedes Aegypti yang bertanggung jawab menularkan infeksi. Faktanya, demam berdarah—dan penyakit-penyakit seperti malaria, diare, dan TBC—menimbulkan lebih banyak korban dibanding Ebola atau MERS di negara-negara berkembang. Tetap saja, penderitanya kerap tidak mendapat perhatian layak.

Di Filipina, sebuah program vaksinasi nasional sedang digagas. Sayangnya menurut pejabat Kementerian Kesehatan, butuh waktu sebelum Indonesia bisa melakukan upaya serupa. Pemerintah Indonesia masih perlu melakukan uji coba besar-besaran sebelum vaksin tersebut menjadi bagian dari program vaksinasi nasional. Proses uji coba ini akan dimulai Agustus 2017 dan hasil tahap awal siap ditinjau awal 2018, seperti dituturkan Elizabeth Jane Soepardi, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, saat dihubungi VICE.

“Kita harus lakukan yang namanya demonstration project. Kita harus mencoba memberikan vaksin itu kepada kelompok tertentu,” jelas Elizabeth. “[Setelah itu] diteliti dan dilihat dampaknya, strategi operasionalnya, mungkin nggak itu dilaksanakan di Indonesia, konsekuensi biaya operasionalnya. Kita harus punya semua bukti-bukti itu dulu kalau menunjang ke arah positif, bahwa dia lebih menguntungkan. Dengan itu baru kita bisa berjuang ke DPR semua ke Kementerian Keuangan, bisa engga nih uang rakyat sebagian dibelikan vaksin ini dan untuk kita adakan imunisasinya.”

Beberapa uji coba awal berskala kecil yang diadakan di Indonesia menunjukkan vaksin tersebut berhasil mengurangi angka risiko penularan virus hingga 65 persen, rawat inap hingga 80 persen, dan kasus berjangkitnya demam berdarah serius hingga 92 persen.

Hanya saja, sebuah penelitian yang belum lama digelar mempertanyakan efektivitas program vaksinasi nasional untuk demam berdarah. Pasalnya vaksin ini bekerja dengan menyuntikkan benih virus ke dalam tubuh pasien, sampai akhirnya mereka menjadi kebal gejala demam berdarah.

Alhasil, vaksin demam berdarah ini sangat efektif terutama untuk populasi yang pernah terjangkit, sedangkan populasi yang sebetulnya tidak rentan demam berdarah, vaksin ini berisiko memperparah gelombang infeksi. Sebab virus demam berdarah menular melalui tahapan yang khas.

Tahap pertama biasanya menyakitkan namun tidak berbahaya. Barulah tahap-tahap infeksi berikutnya layak diwaspadai. Di wilayah rawan demam berdarah, vaksinnya berfungsi sebagai tahap infeksi kedua tanpa disertai penyakitnya—mendorong tingkat kekebalan tubuh pasien.

Sedangkan di kawasan pemukiman yang tak termasuk endemik demam berdarah, vaksin itu ketike diinjeksikan pada penderita, dapat membuat gejalanya meloncat ke tahap infeksi kedua yang lebih parah. Berdasarkan kajian berbeda, penggunaan vaksin berisiko memperbanyak jumlah pasien rawat inap di lingkungan tertentu.

Para ahli kesehatan Indonesia turut menegaskan sepenting-pentingnya sebuah vaksin, tindakan pencegahan masih lebih vital. Pengasapan [fogging] nyamuk demam berdarah, mencegah munculnya genangan air, dan penggunaan kelambu merupakan cara-cara yang murah dan efektif mengurangi laju penularan virus DBD.

“Jadi dalam ilmu kedokteran, penggunaan vaksin itu kan maksudnya sebagai tindakan kuratif,” jelas Marius Widjajarta, presiden dari Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI). “Sebetulnya yang penting itu adalah tindakan preventifnya, cuman sifatnya masih musiman. Vaksin itu kan masuknya ke pengobatan. Nanti kalau pemerintah fokus sama kuratif, nanti promosi preventifnya, engga ada gunanya.”