Dalam sidang lanjutan kasus penyalahgunaan narkoba Rabu (23/10) yang menjerat komedian Tri Retno Prayudati, atau lebih dikenal dengan nama panggung Nunung, hadir saksi ahli bernama dr. Herny Taruli Tambunan. Dia adalah dokter yang melakukan diagnosa terhadap Nunung di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO), sesudah anggota Srimulat itu ditangkap polisi lantaran mengonsumsi narkoba.
Herny memberi kesaksian yang menyatakan Nunung mengalami depresi selama tiga tahun terakhir, kondisi itulah yang membuat perempuan 55 tahun itu butuh obat-obatan. Mendengar keterangan ahli, Hakim Djoko Indiarto justru mempertanyakan kesaksian tersebut dengan kalimat yang memicu kehebohan.
Videos by VICE
“[Nunung] kan kerjanya setiap hari cengengesan [di televisi], kok bisa stres?” tanya Djoko dikutip Kompas. Bagi netizen, sebagai hakim yang menangani perkara kesehatan mental, seharusnya Djoko tahu tidak ada hubungannya antara terlihat cengengesan dengan gejala mengidap depresi.
Chester Bennington saja masih terlihat kocak di depan kamera tivi, beberapa hari sebelum ia bunuh diri. Lagian, bisa enggak sih kita enggak menggunakan kata “stres” kepada orang yang depresi? Pernyataan sembrono itu segera menuai kecaman di Twitter.
Kedatangan Herny di persidangan sendiri dimaksudkan buat meringankan potensi hukuman Nunung, lewat kesaksiannya sebagai saksi ahli dari RSKO. Saat mendapat pertanyaan kayak gitu dari hakim, untungnya Herny tetap namaste dan menjelaskan diagnosa secara kekeluargaan.
“Kalau depresi itu seperti seribu wajah. Kalau kita di sini, satu dari empat orang di ruangan ini pasti mengalami depresi. Kondisi Mbak Nunung sebagai komedian yang ceria bukan berarti tidak merasa cemas, (atau) tertekan,” ujar Herny.
Pertanyaan dari Hakim Djoko suka tidak suka jelas menggambarkan bagaimana pemahaman soal depresi memang masih minim di Indonesia—termasuk di kalangan aparat hukum maupun profesional lainnya. Padahal, menurut Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) dr Eka Viora, SpKJ, ada sekitar 15,6 juta penduduk Indonesia mengalami depresi. Namun, hanya 8 persen saja yang mencari pengobatan.
“Banyaknya stigma yang beredar terhadap depresi menghalangi para penderitanya mendapatkan dukungan yang tepat. Depresi bisa pulih sepenuhnya dan kami harap agar penderitanya tidak ragu dalam mencari dukungan dan pengobatan yang terbaik,” ujar Eka dilansir Detik.
Menurut Eka, rasa takut, malu, sampai khawatir dianggap tidak waras menghambat datangnya pertolongan pertama bagi pengidap depresi. Kalau dibiarkan terus-menerus, depresi dapat memicu hasrat mencari pelarian yang berdampak buruk, termasuk dorongan mengonsumsi narkoba dalam kasus Nunung. Terburuknya, bisa muncul keinginan untuk bunuh diri.
Mendukung kekhawatiran Eka, dr. Dhanapal Natarajan, anggota Asosiasi Psikiatris Kanada, mengatakan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memprediksi bahwa depresi akan menjadi pemicu utama penyakit nomor dua di seluruh dunia pada 2020. Bahkan, di negara berkembang yang relatif tidak begitu peduli soal isu mental, depresi berisiko pemicu penyakit nomor satu.
“Satu dari lima orang punya penyakit mental, namun hanya sepertiga dari mereka yang mencari pertolongan. Kalau Anda merasa kesehatan mental terganggu, jangan disimpan sendiri,” ujarnya.
Nataraja lantas menjabarkan tanda-tanda depresi agar bisa dijadikan pegangan kepada para pengidap agar segera mencari pertolongan. Beberapa di antaranya perubahan sikap, kesulitan menghadapi masalah dan kehidupan sehari-hari, delusional, kegelisahan berlebih, kesedihan yang berlarut-larut, jam makan dan tidur yang berubah-ubah, terlintas pikiran atau percakapan soal bunuh diri, penggunaan obat-obatan yang salah, perilaku yang penuh kekerasan, sampai ketakutan irasional.
Jadi, revolusi mental pada seluruh aparatur negara—termasuk hakim—bisa dilakukan dengan banyak cara. Termasuk tidak mengasosiasikan ‘cengengesan’ sebagai tanda seseorang tidak mengidap depresi.