‘Hampir Semua Novelku Berbicara Soal Kekuasaan’: Obrolan Bersama Eka Kurniawan

Berselang tiga tahun, akhirnya penis lembek yang menjadi pusat cerita novel Eka Kurniawan menyapa pembaca internasional. Terjemahan novel ketiga penulis asal Tasikmalaya itu diterbitkan oleh New Directions tahun ini memakai judul Vengeance Is Mine, All Others Pay Cash—atau yang sebelumnya dikenal publik Indonesia dengan Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Terjemahan novel yang sama oleh Annie Tucker itu terbit pula tahun ini di UK, India, dan Australia.

Perkara penis mempengaruhi hidup karakter utama buku ini, lelaki bernama Ajo Kawir yang kehilangan kemampuan ereksi setelah menyaksikan dan dipaksa berpartisipasi dalam pemerkosaan brutal perempuan pengidap gangguan mental bernama Rona Merah.

Nantinya, Ajo jatuh cinta pada perempuan jago silat bernama Iteung. Namun dia menyadari ketidakmampuannya memuaskan si perempuaan pujaan secara seksual, biarpun dia sudah menggunakan jarinya, bukan penisnya atau “burungnya”, di setiap kesempatan.

Videos by VICE

“[Si burung] bagaikan seekor beruang yang ingin hibernasi dalam waktu yang sangat lama. Burungnya tidak mati, tidak juga hidup, ia damai seperti seorang pertapa,” tulis Eka.

Novel ini dapat disebut prosa penuh humor dan situasi sureal yang meneruskan ciri khas bibliografi Eka. Penulis yang kini berusia 41 tahun itu masuk nominasi International Man Booker Prize untuk karya fiksi yang terjemahan Inggrisnya terbit pada 2016, Man Tiger (Lelaki Harimau)—sebuah kisah seorang lelaki yang memiliki jiwa harimau dalam tubuhnya. Seperti banyak disorot berbagai media maupun peminat sastra, cerita Eka adalah gabungan realisme magis, drama, satir, sekaligus dongeng khas Indonesia. Dalam karya-karya Eka, adu balap truk lintas pantura, perkelahian jawara, perempuan bangkit dari kematian, atau seorang anak ditelan oleh harimau putih sudah menjadi hal yang lumrah. Berkat pilihan gaya tutur tersebut, Eka menjadi penulis Indonesia yang paling sering mendapat sorotan pembaca sastra internasional lima tahun belakangan.

Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas adalah penghormatan Eka terhadap beberapa genre sastra populer Indonesia, terutama pencak silat dan novel kriminal yang dulu kerap dianggap picisan. Setelah menerbitkan novel keempat, O, Februari 2016, Eka belum menunjukkan tanda-tanda akan rehat. Dia terus menulis, menyelesaikan proyek baru yang rencananya akan menyapa pembaca dalam waktu dekat.

Mewakili VICE Indonesia, Stanley Widianto ngobrol bareng Eka sambil makan siang di Ciputat, Banten, membicarakan buku-bukunya, sekaligus meminta pendapatnya mengenai kemungkinan sastra Indonesia tak lagi terjebak membicarakan sejarah kelam masa lalu bangsanya sendiri.

VICE: Beberapa bukumu, termasuk Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas menampilkan tema-tema maskulin. Si tokoh utama Ajo Kawir, bergumul dengan disfungsi ereksi yang membuatnya tidak mampu memuaskan istrinya dan bahkan dirinya sendiri. Tak heran ada pembaca merasa sebagian isi buku itu agak misoginis. Apa tanggapanmu?
Eka Kurniawan: Kalau dari sudut pandang aku, aku tidak bermaksud begitu. Justru niatku untuk meledek sikap sikap misoginistik — tapi kadang-kadang, ketika orang membaca, tidak menutup kemungkinan seperti itu. Ketika kita bicara menulis sebuah novel dengan cara pandang feminis, bisa dilihat orang sebagai anti-feminis, kemungkinan bisa terjadi, apa boleh buat.

Ada juga pembaca yang merasa buku-bukumu ‘sarat pemerkosaan’
Aku merasa ketika kita bicara tentang relasi sosial secara umum, hal itu bisa kita lihat dari relasi seksual. Relasi yang baik maupun yang tidak baik, bisa tergambarkan dalam relasi seksual. Dominasi atau penindasan.

Jadi penggambaran pemerkosaan adalah caramu mengkritik patriarki atau kultur dominasi lelaki?
Salah satunya. Kalau kita lihat dari konteks seksualitas sebagai lelaki dan perempuan, ya bisa dilihat seperti itu. Misalkan kasus perkosaan Rona Merah, kan tidak semata-mata seorang perempuan diperkosa laki-laki—di adegan itu ada dua polisi, ada relasi kekuasaan di sana. Relasi kekuasaan juga ada antara guru dan murid, dalam kasus Iteung [dia diperkosa oleh gurunya-red]. Hampir semua novelku berbicara soal kekuasaan. Kekuasaan hanya salah satu topik, tapi salah satu itulah yang sangat menonjol.

Kira-kira apa alasanmu tertarik pada topik kekuasaan?
Penulis itu selalu punya cause, mungkin tema kekuasaan itulah doronganku untuk menulis. Aku sangat gelisah soal represi, soal ketidakadilan, tapi aku menuliskannya dengan cara yang lain aja.

Saya merasa banyak penulis Indonesia menghasilkan karya berdasar peristiwa sejarah tertentu, yang sebisa mungkin akrab bagi pembaca internasional. Biasanya peristiwa-peristiwa ini berhubungan dengan masa lalu kelam Indonesia, misalnya pembantaian komunis 1965, atau huru hara politik 1998. Dalam beberapa resensi media luar untuk novelmu Cantik Itu Luka, tema pembantaian ‘65 disebut beberapa kali. Menurutmu, apakah penulis Indonesia akan terus dihubung-hubungkan dengan babak kelam dalam sejarah bangsa Indonesia?
Kurasa itu tarik-ulur, karena Indonesia jelas harus kita akui enggak banyak orang yang tahu. Dari luar, ketika orang pengin memahami Indonesia melalui karya sastra, ada hal-hal tertentu yang mungkin bisa jadi jalan, tema-tema tertentu yang juga familiar buat mereka. Kalau misalkan soal ’65 mereka cukup familiar, karena itu bukan cuma kasus Indonesia. Perang dingin itu kasus global. Indonesia salah satu bagian dari peristiwa sejarah tersebut. Pembaca luar tahu tentang komunisme, mereka punya referensi tentang diktator militer. Tema semacam itu lebih mudah buat mereka masuk, buat mereka memahami, meskipun enggak semuanya juga. Ada juga pembaca luar yang apolitis, yang enggak ngerti apa apa. Tapi setidaknya, tema-tema tertentu mempermudah mereka untuk masuk [membaca karya sastra Indonesia-red].

Mungkinkah di masa mendatang pembaca sastra kita bisa membuat peta atau semacam pembabakan tema yang sudah dijelajahi penulis terdahulu yang memungkinkan ada pembaruan cerita?
Sejak [kritikus sastra] HB Jassin meninggal, warisan seperti itu udah enggak ada lagi, dalam arti yang melakukan pembabakan sastra Indonesia berdasarkan angkatan-angkatan itu kan HB Jassin. Dan tentu saja ide-ide itu udah banyak dikritik banyak orang, oleh penulis sendiri, oleh generasi setelahnya, karena buatku sendiri problematik kalau melihat sastra semata-mata cantelannya ke politik. Itu kan pembabakan politik banget: Apakah signifikan gitu? Maksudnya, itu peristiwa-peristiwa besar dalam politik Indonesia, tapi apakah itu peristiwa-peristiwa besar di sastra Indonesia? Kalau kita misalkan kita membaca Taufik Ismail sebagai Angkatan 66, ada perbedaan nyata gak sih dengan puisi sebelumnya? Itu kan harus dikritisi, gak cuma sekedar lahir dan berkarya di tahun 1966. Pramoedya karena lahir dan beraktivitas di tahun ’45 dengan Chairil juga dianggap Angkatan ’45. Nah Pram tahun 80’an dia masih menulis—karyanya bisa dibandingkan: Apakah masih bercorak waktu misalkan Perburuan atau Keluarga Gerilya?

Gaya tuturmu beberapa kali dibandingkan dengan penulis realis magis Kolombia, Gabriel Garcia Marquez. Tentu bukan hanya kamu penulis Indonesia dengan karakter seperti itu. Bisakah Indonesia berpeluang ikut merasakan ledakan penjualan karya sastra seperti yang pernah terjadi di Amerika Latin?
Sulit sih menurutku. Dulu aku berharap begitu. Waktu aku masih mahasiswa, pengin menulis sastra, aku baca-baca karya Amerika Latin. Kenapa di Amerika Latin bisa boom seperti itu? Ada hal-hal yang sangat berbeda. Pertama, Amerika Latin disatukan oleh sebuah bahasa, bahkan meskipun pada dasarnya dua bahasa — Spanyol dan Portugis — tapi enggak terlalu jauh. Terus kesamaan nasib: Negara-negara itu bekas koloni Spanyol, Portugal, baru memperoleh kemerdekaan di waktu yang bersamaan.

Tapi yang paling membedakan dengan Indonesia adalah pada saat yang sama mereka terpisah-pisah. Aku sempat membaca bagaimana cikal bakal boom-nya Amerika Latin. Mereka tidak membaca satu sama lain juga, jadi mereka tumbuh sendiri-sendiri. Waktu itu yang paling menonjol ya Argentina. Tapi di sana-sini, penulis Amerika Latin enggak saling baca gitu karena perbedaan teritori, meskipun dalam bahasa yang sama. Ya itu yang membuat aku membayangkannya seperti memungkinkan untuk kayak jamur tuh, tumbuh di mana-mana, bukan kompleksitas masing-masing dan ketika satu persatu ditemukan, tiba tiba mereka menemukan banyak. Sedangkan Indonesia enggak seperti itu kondisinya. Ketika kamu masuk sastra Indonesia, kamu bisa melihat semuanya. Kamu bisa melihat penulis dari Sabang sampai Merauke. Kamu cuma harus belajar satu bulan untuk melihat konstelasinya. Kita tidak melihat suatu yang tersembunyi. Aku rasa orang asing belajar bahasa Indonesia, bisa dia satu-dua bulan secara general bisa melihat [petanya]. Dan penulis Indonesia juga relatif tahu satu sama lain. Tapi mungkin saja ada perubahan 10-20 tahun yang akan datang.

Biarpun tidak diniatkan menulis karya untuk pasar internasional, terjemahan buku-bukumu akhirnya memasuki pasar luar negeri. Sempat merasa bangga?
Mungkin perasaan seperti itu ada ya. Aku waktu nulis tidak terlalu membayangkan untuk sampai sana, karena situasi tahun 2000’an untuk bisa menerbitkan novel saja, di penerbit di Jogja—penerbit kecil—buatku udah ultimate, udah terbit gitu. Tapi karena aku familiar membaca novel terjemahan dalam bahasa Inggris, setidaknya, aku mengetahui banyak penulis dan karya-karya mereka melalui buku-buku dalam edisi bahasa Inggris. Ketika karyaku muncul di sana, aku merasa, “oh itu seperti yang aku biasa baca.” Setidaknya aku merasa ada di situasi yang aku familiar.

Jadi apa sebetulnya tujuanmu terus menulis?
Terutama aku pengin [karyaku] dibaca oleh orang Indonesia. Terutama kan itu. Karena aku kan nulis dalam bahasa Indonesia. Itu yang terutama dan terpenting.

Wawancara ini telah disunting agar lebih ringkas dan enak dibaca