Dari menit pertama, saya menonton video klip Single A$AP Rocky ” Fukk Sleep” yang dibesut Diana Kunst“, saya diam-diam memanjatkan doa agar videoklip ini tidak berakhir menjadi sebuah film fesyen. Yang saya maksud dengan film fesyen adalah segala jenis video yang aspek naratif dan substansinya dibikin seminim mungkin untuk memberi ruang bagi fesyen dan fesyen doang. Saya juga memanjatkan doa agar pesona Rocky tidak lantas tenggelam karena baju-baju yang dia kenakan. Untunglah, doa kedua ini dikabulkan. Rocky tetap Rocky dengan segala karismanya. Adapun doa pertama saya, hanya terjawab setengahnya. Kendati tak berakhir jadi film fesyen standar, videklip “Fukk Sleep” mengingatkan saya pada editorial soal fesyen dalam majalah-majalah anak muda independen.
Dari semua pakaian yang dikenakan Rocky di video itu, saya melihat jaket pemadam kebakaran rancangan Raf Simons untuk Calvin Klein, kemeja rajutan dengan sarung tangan merah panjang dan sebuah balaclava rancangan Raf Simons, beberapa celana pendek berpayet buatan Comme Des Garçons, celana pendek kulit ular dan sepatu boot hiking rancangan Alyx. Dalam sejumlah adegan, Rocky tampak mengenakan sapu tangan sutra yang diikat di sekitar mukanya seperti Babushka atau nenek-nenek Rusia—gaya yang sama kembali dia perlihatkan dalam penampilannya di LACMA. Sekilas, dandanan Rocky dalam video klip ini agak mirip rancangan-rancangan Lotta Volkova bagi brand Vetements dan rumah mode Balenciaga. Di saat yang sama, penampilan Rocky tak bisa diremehkan begitu saja karena nuansanya yang memberontak dan mengaburkan batas-batas gender dengan cueknya.
Videos by VICE
Video terakhir yang lagi-lagi punya rasa editorial fesyen adalah video klip Rihanna ” Bitch Better Have My Money” yang gayanya diarahkan oleh Mel Ottenberg, lelaki yang bertanggung jawab atas Rihanna Fashion Effect. Berkat Ottenberg, apapun yang dipakai Rihanna otomatis dianggap cool dan ditiru. Arahan gaya “Fukk Sleep” dikerjakan oleh stylist A$AP Rocky, Matthew Henson dan Mathhew Josephs yang sudah sering berkolaborasi dengan FKA Twigs. Kedua video tersebut berhasil menemukan titik keseimbangan antara fesyen dan narasi—ini dia kuncinya: keseimbangan. Jika segala barang fesyen yang dipakai menenggelamkan narasi video dan pesona sang musisi, videoklip akan berakhir menjadi film fesyen belaka, atau malah lebih parah lagi, jadi iklan fesyen nyebelin berdurasi empat menit. Contoh paling baru dari videoklip yang dengan sukses membidik titik tengah antara hasrat memamerkan barang fesyen kelas atas dan narasi video yang ciamik adalah videoklip The Carters “Apeshit” yang menampilkan Jay Z dan Beyonce dalam balutan busana yang serasi—Versace Couture untuk Beyonce dan double breasted suit untuk Jay Z.
Namun, sejatinya, persekutuan antara hip-hop dan fesyen kelas atas bukan baru terjadi kemarin sore. Mulai dari videoklip Busta Rhymes pada 2001 ” Pass The Courvoisier” sampai ke videoklip Lil Pump” Gucci Gang”, product placement dalam lirik hip-hop sudah lazim terjadi. Dengan demikian, selipan iklan sudah jadi bagian integral dari hip-hop selama kurang lebih dua dekade ke terakhir ini.
Beberapa waktu lalu, saya sempat ngobrol lewat telepon dengan sepupu saya yang baru berumur 20 tahun. Kebetulan dia sangat mendalami kultur hip-hop. Iseng-iseng saya bertanya pendapatnya tentang merk fesyen tertentu yang kerap muncul dalam lirik lagu hip-hop. Lucunya, sepupu saya ini mengaku tak banyak ambil pusing tentang hal ini. Katanya, saking banyak merk fesyen yang disambat dalam lirik hip-hop, dirinya sudah masa bodo amat—samalah seperti ikan yang tak peduli keberadaan air karena saban hari berenang dalam air. Lagian, braggadocio atau menyombongkan diri dan ngerap tentang betapa suksesnya seorang rapper merupakan salah satu aspek penting dalam hip-hop. Dan, salah satu bentuk braggadocio adalah menyebut segala macam jam tangan mahal, barang-barang brand mewah serta segala macam barang yang melambangkan kesuksesan.
Sejak awal, jiwa dari hip-hop adalah kejujuran dan autentisitas. Di saat yang sama, hip-hop berfungsi bak sebuah otobiografi. Makanya, jika seorang bersitegang dengan rapper lainnya, mereka akan segera melayangkan diss track. Seorang rapper juga seyogianya menulis apa yang dia lakoni sepanjang hidupnya. Jadi, dia tak akan menulis tentang keseharian di lingkungan hood, kalau dia tak pernah tinggal di dalamnya. Dengan logika seperti ini, sah-sah saja bila Nicki Minaj bernyanyi tentang Coco Channel lantaran dia dikirimi tas tangan edisi terbatas dari brand mahal tersebut. Lebih jauh lagi, mengharap kancah hip-hop hanya diisi oleh rapper yang berbusa-busa ngomong tentang kekerasan seperti di era saat gangsta rap sedeng ngetrennya adalah perbuatan yang mubazir—jika tak bisa dikatakan reduktif, picik dan kelewat membatasi kreativitas musisi hip-hop masa kini. Belakangan, bahkan beredar sebuah meme yang menyandingkan Ice Cube yang sedang menenteng senapan mesin tentunya dan 6ix9ine yang bergaya dengan rambut serta mantel bulu warni-warni. Caption meme itu pendek saja ““Hip Hop Then and Hip Hop Now,” menegaskan bahwa musisi masa kini sangat terobsesi dengan imej diri.
Jacques Attali, dalam bukunya Noise: The Political Economy of Music, menyinggung tentang musik komunitas Afrika-Amerika dan dalam bab yang membahas tentang free jazz menyuguhkan cara pandang segar terhadap kondisi yang dialami komunitas kulit hitam: “Warga kulit hitam Amerika mengadopsi posisi politik yang cenderung ‘reflektif’..bagi mereka, mengambil risiko, menonjolkan diri dan mengobral sompral di TV adalah perbuatan yang mubazir. Semua aktivitas itu membuat kami gampang diserang di semua tingkatan dan dikenali oleh kekuatan reaksioner.”
Artinya, musik harus dimanfaatkan tak hanya sebagai kanal hiburan dan ekspresi diri tapi juga sebagai sarana penyebaran pesan di dalam sebuah masyarakat yang tak menyediakan ruang ekspresi diri atau malah memberangus segala macam ekspresi diri. Dari sononya, musik merupakan bagian dari bahasa komunitas Afrika-Amerika. Budak-budak Afrika yang didatangkan ke dataran Amerika menggunakan musik untuk menyebarkan pesan rahasia tanpa menimbulkan kecurigaan majikan mereka.
Dalam zaman media sosial seperti sekarang ini, para artis bisa sepenuhnya mengontrol imej dan gaya pribadi mereka. Medsos seperti Instagram memungkinkan penggemar mengintip keseharian, pilihan fesyen dan brand-brand yang digilai idolanya—sesuatu hal yang nyaris mustahil di zaman pra-medsos. Pilihan-pilihan para pesohor memengaruhi kita—fan mereka—serta akhirnya majalah-majalah fesyen. Medsos sudah berhasil menggeser kendali yang sebelumnya dimonopoli oleh majalah-majalah fesyen. Dalam satu generasi terakhir, rapper/penyanyi hip-hop laki-laki dianggap sebagai ikon fesyen yang wajib dikagumi—dan didaulat sebagai acuan berdandan. Buktinya, dalam peragaan busana laki-laki rancangan Virgil Abloh perdana untuk Louis Vitto, rapper tersebut tak datang cuma sebagai penonton VIP di jajaran depan. Mereka sendiri yang melenggak-lenggok di atas catwalk. Abloh sendiri adalah seorang DJ, musik hip-hop adalah bagian tak terpisahkan dari apa yang dia ciptakan dan jati dirinya.
Hip-hop memberikan tempat bagi siapapun untuk menghidupi mimpi-mimpi hedon dan ambisi meraup kesuksesan tanpa ujung meski cuma dalam durasi satu lagu belaka. Industri fesyen juga memberikan sarana yang sama meski hanya sepanjang acara peragaan busana, selama kita melihat-melihat etalase sebuah butik atau menjelajahi laman resmi brand kelas atas.
Musisi Hip-hop terbiasa ngerap tentang aksi kriminalitas, seks, obat-obatan terlarang, rasisme dan uang—pokoknya segala hal yang malas diperbincangkan secara terbuka di masyarakat barat. Begitu juga fesyen, jika dirancang dengan konsep yang matang, sebuah karya fesyen bisa menyentuh subyek-subyek semisal politik, identitas gender, kelas dan agama untuk mempertanyakan status quo dan menawarkan sarana ekspresi diri. Baik hip-hop dan fesyen memungkinkan kita mendefinisikan diri kita lewat apa yang kita kenakan. Kalian bisa dengan mudah bilang bahwa hip-hop ujung-ujungnya tentang ekspresi diri, tapi belakangan ini fesyen makin sering menyediakan sarana untuk melakukannya, semakin ke sini, kita hidup dalam kultur visual dan fesyen kian kemari makin berfungsi sebagai sarana komunikasi.
Akhir-akhir, perhatian industri fesyen mulai bergeser, beradaptasi dengan generasi yang memilih kemudahan dan realitas yang ditawarkan streetwear—generasi yang menaruh identitas di atas keinginan menjadi sama dengan orang lain. Produk rumah-rumah mode kelas atas, yang makin sering mencari inspirasi dari streetwear, tak kelihatan ganjil dalam videoklip hip-hop karena sebagian barang fesyen, gaya dan attitude-nya berasal dari kancah hip-hop. Keeratan hubungan antara hip-hop dan fesyen makin dipertegas dengan, misalnya, kolaborasi Gucci dan Dapper Dan untuk menciptakan line clothing baru; kebiasaan A$AP Rocky menjajal segala ruang dalam avant-garde fashion; Young Thug memanfaatkan fesyen sebagai sarana untuk mengaburkan batas gender demi menantang machismo dalam hip–hop; Pusha T membalut tubuhnya dengan busana rancangan Craig Green; Lil Uzi Vert yang menyambat kaum mallgoth; Travis Scott jadi bintang iklan Saint Laurent. Dan kita bahkan belum menyebut Kanye.
Yang jelas, bagi musisi-musisi ini, fesyen adalah bagian integral dari hip-hop. Begitu juga sebaliknya,