Artikel ini pertama kali tayang di VICE Magazine. Klik di sini untuk berlangganan edisi cetaknya.
Berikut ini adalah nukilan buku Blitzed: Drugs in the Third Reich oleh Norman Ohler. Dia menghabiskan lima tahun melakukan penelitian untuk menuntaskan buku tersebut. Ohler memeriksa catatan medis, catatan harian, surat dari perwira Nazi, dan laporan militer yang disimpan di Arsip Nasional Berlin dan Washington, DC. Akurasi buku ini segera dipertanyakan beberapa pihak. Di pendahuluan buku edisi Jerman yang menjadi best-seller tersebut, Ohler mengaku bahwa ketika menulis buku, dia menggunakan “perspektif yang sangat mungkin terdistorsi.” Nyatanya, biografer kisah hidup Hitler ternama, Ian Kershaw, memuji buku tersebut sebagai “tulisan yang mengandung bobot akademis ketat.” Sebuah resensi di Kirkus menilai buku Ohler tersebut “menambah pemahaman kita tentang detail kekuasaan Nazi Jerman secara signifikan.”
Videos by VICE
Operasi Valkyrie, Pemicu Kecanduan
Taman di sekitar Wolf’s Lair (Kantor Pusat Nazi) terlihat megah dihiasi rumput hijau yang rimbun. Saat itu musim panas yang menyengat, Theo Morell memasang kelambu wajah di depan topi seragam tentaranya. Barak kayu di markas führer baru saja dilengkapi dengan perisai sempalan sebagai tembok pertahanan, Joseph Goebbels (Menteri Propaganda Nazi) baru saja mulai merokok lagi. Buku catatan tertanggal 20 Juli 1944. Di dalamnya tertulis: “Pasien A 11:14 diberi suntikan seperti biasa.” Di kartu pasien, prosedur tersebut ditulis sebagai “x.”
Hitler setengah berlari ke lantai dasar gedung, lokasi pengarahan militer yang dilaksanakan di hari itu. Beberapa perwira menunggu di depan pintu. Sang diktator mengernyitkan alisnya yang tebal, sehingga garis di dahinya terlipat selagi dia menyalami beberapa pejabat penting Jerman. Dia kemudian menapakkan kaki dalam barak tersebut. Semua jendela barak terbuka di tengah panas matahari yang menyengat. Dua puluh empat perwira dan pejabat sipil duduk bersama mengelilingi sebuah meja kayu panjang. Hitler memilih duduk di sebuah bangku terpisah dan mulai bermain-main dengan kaca pembesar. Letnan Jendral Adolf Heusinger, yang duduk di sebelah kanannya menjelaskan situasi suram di Front Timur. Claus Schenk Graf von Stauffenberg yang tiba agak terlambat bersalaman tangan dengan Hitler dan meletakkan tas kantor berwarna coklatnya di bawah meja, sedekat mungkin dari target. Dia hendak membunuh Hitler. Tak lama kemudian, Claus kembali meninggalkan ruangan tanpa menarik perhatian. Pukul 12:41 siang, seorang laksamana berjalan menuju jendela menghirup udara segar. Hitler merendahkan tubuhnya di atas meja agar bisa melihat peta dengan lebih baik, mengistirahatkan dagunya di atas tangan, sikut di atas meja. Jam menunjukkan pukul 12:42 siang. Persis saat Sang Fuhrer sedang mengucapkan kalimat ini, “Apabila grup tentara tidak segera kembali dari Danau Peipus, akan terjadi bencana”, ledakan yang mengerikan terjadi.
“Saya melihat ledakan api yang jernih dan terang dan berpikir ‘wah ini pasti peledak milik Inggris.’ Bahan peledak Jerman tidak menghasilkan api terang berwarna kuning seperti itu.” Itu kata-kata Hitler dalam catatan pribadinya. Cara Hitler menjelaskan peristiwa tersebut terasa aneh, seakan-akan dia tidak terlibat peristiwa yang nyaris merenggut nyawanya itu. Ledakan tersebut menghempaskan dirinya dari tengah ruangan ke pintu keluar. Masih berada dalam pengaruh zat “x,” sang diktator merasa kebal. Perwira-perwira di sekitarnya harus berjuang untuk tetap hidup, rambut mereka terbakar api. Seakan-akan dia hanya seorang penonton, Hitler turut menulis peristiwa dalam catatan pribadinya. “Saya tidak bisa melihat apa-apa karena asapnya tebal. Saya hanya melihat beberapa sosok bergerak-gerak di tengah kepulan asap. Saya tergeletak di dalam barak, dekat tiang pintu kiri; di atas tubuh saya banyak potongan kayu dan balok tiang. Tapi saya berhasil bangun dan berjalan sendiri, biarpun agak pusing dan linglung.”
Morell mendengar bunyi ledakan dari ruang kerjanya dan langsung berasumsi itu ditimbulkan bom. Tidak lama kemudian, orang kepercayaan Hitler, Heinz Linge, terburu-buru masuk ke ruangan. Dokter langsung bergegas menyambangi Sang führer. Si dokter dengan terburu-buru mengambil koper berwarna hitamnya dan keluar sempoyongan mencari udara musim panas yang segar. Seorang jendral tergeletak di lantai, satu kakinya copot dan satu matanya hilang. Morell ingin memeriksa keadaaannya, tapi Linge memaksanya terus jalan: nasib Sang Führer lebih penting.
Tidak lama kemudian, mereka menemukan tubuh Hitler dan membawanya ke atas ranjang. Dia tengah tersenyum riang biarpun dahinya bergelimangan darah, rambutnya gosong terbakar di daerah belakang kepala, dan ada luka seukuran mangkok saus di betisnya: “Keitel dan Warlimont mengantar saya ke bunker,” tulis sang diktator dengan ekspresi yang sangat hidup dan ceria. “Dalam perjalanan ke bunker, saya melihat celana saya terobek-robek, dan kulit saya terlihat di mana-mana. Saya kemudian cuci muka, karena wajah saya hitam seperti orang Afrika—kemudian ganti baju.”
Morell mencatat bahwa Hitler tidak menunjukkan rasa sakit sama sekali. Denyut jantungnya sekilas normal. Sesungguhnya, keadaan fisik Hitler memburuk saat itu.
Ketika Hitler menyebutkan bahwa Pemimpin Italia Benito Mussolini akan melakukan kunjungan penting dalam waktu dua jam, Morell mengeluarkan peralatannya dan menyuntikkan “X” lagi ke tubuh Hitler. Nampaknya tidak mungkin suntikkan tersebut hanya berisikan glukosa, bukan obat penghilang rasa sakit. Tubuh Pasien A mempunyai banyak pecahan kayu yang harus dikeluarkan satu-persatu—prosedur yang sudah pasti menyakitkan. Hitler sama sekali tidak bereaksi. Dua gendang telinganya berdarah, tapi dia tidak menunjukkan rasa sakit. Semua orang kagum dengan daya tahan tubuhnya terhadap rasa sakit.
Dalam catatan medis pasien-pasiennya, Morell mencatat Hitler tidak menunjukkan rasa sakit sama sekali. Denyut jantungnya normal seperti biasa. Para dokter tentu saja menganjurkan Hitler beristirahat setelah upaya pembunuhan itu. Namun Hitler yang penuh tenaga akibat suntikkan sudah berdiri mengenakan sepatu bootnya yang mengkilap dan mengatakan bahwa konyol bagi seseorang yang sehat sepertinya menyambut tamu negara dari atas ranjang. Mengenakan mantel hitam, dia pergi ke stasiun kereta Wolf’s Lair dan menunggu kedatangan Mussolini. Kabarnya Mussolini kaget melihat keadaan fisik Hitler: “Gila, tanda dari surga tuh!”
Sesungguhnya, keadaan fisik Hitler lebih buruk dari yang ditampakkan sang pemilik tubuh. Hitler telah kehilangan hampir seluruh indra pendengarannya dan dia mulai merasakan rasa sakit yang luar bisa di lengan dan kakinya ketika efek dari “x” mulai memudar di malam hari.
Darah masih terus bercucuran dari kedua telinganya. Secara psikologis, serangan bom dari Operasi Valkryie tersebut memiliki konsekuensi yang mematikan. Berbeda dari rutinitas harian biasanya, kini Pasien A harus mengerima “x” untuk melawan rasa sakit dan rasa kaget di sarafnya. Dia tidak bisa melewatkan satu dosispun. Imej Hitler sebagai pahlawan yang tidak bisa mati tidak bisa terus diwujudkan. Seminggu kemudian, Hitler didatangi segerombolan perwira tentara berteriak “Heil Hitler!”, teriakan itu segera surut ketika mereka melihat sang Diktator masuk ke ruangan. Tiba-tiba citra Hitler dan kenyataannya terasa jauh berbeda.
Führer Kecanduan Kokain!
Halo malam! Saya baru saja pakai kokain dan menunggu zat ini menyebar di dalam darah, rambut menjadi putih, tahun berlalu, saya harus bersinar lagi sebelum saya mulai membusuk.—Gottfried Benn
Karena luka di gendang telinga Hitler, Dr. Erwin Giesing, dokter spesialis THT diminta datang ke Wolf’s Lair. Setibanya di sana, dia langsung menyadari kepanikan pejabat eselon atas Nazi Jerman. Sebelum kedatangannya, Giesing mendengar omongan bila Hitler adalah semacam figur “kuat, mistis macam Superman.” Faktanya yang dia temui tidak lebih dari seorang pria paruh baya yang tampak linglung, mengenakan baju tidur biru tua bergaris-garis, dan sandal rumah. Giesing menggambarkan apa yang dia lihat secara detail:
Wajahnya pucat, agak bengkak, ada kantung mata besar di bawah matanya yang merah. Sepasang mata ini tidak menimbulkan kesan yang menarik seperti yang kerap ditulis oleh media. Saya kaget melihat kerutan di kedua sisi hidungnya yang memanjang hingga ujung luar mulut dan bibirnya yang kering dan agak pecah-pecah. Rambutnya sudah bercampur dengan helaian rambut putih dan terlihat tidak rapi. Mukanya bersih tercukur, tapi kulitnya layu, mungkin akibat kelelahan. Ketika berbicara, suaranya terdengar keras dibuat-buat dan hampir menyerupai teriakan, namun kelamaan menjad iserak… Dia terlihat seperti seorang pria yang berumur, kelelahan, hampir habis yang harus memanfaatkan sisa tenaganya selagi masih ada.
Dari sisi neurologis, sang dokter spesialis mendiagnosa pasien normal: tidak ada halusinasi, masih ada kontrol diri, memori berfungsi baik dan sadar waktu dan tempat. “Namun secara emosional tidak stabil—entah cinta atau benci. Kepalanya penuh dengan berbagai pemikiran, dan pernyataannya selalu relevan…kondisi psikologis führer sangat kompleks.”
Ketika memeriksa gendang telinga Hitler yang pecah, Giesing menemukan luka berbentuk bulan sabit di telinga kanan, dan luka yang lebih kecil di telinga kiri. Sambil mengobati saraf-saraf telinga yang sensitif menggunakan asam, dia mengagumi daya tahan Hitler. Pasien A mengatakan bahwa dia tidak lagi merasakan rasa sakit dan bagaimana rasa sakit itulah yang membuat orang semakin kuat. Giesing tidak tahu bahwa daya tahan ini disebabkan oleh narkoba yang dikonsumsi Hitler. Tidak hanya Giesing yang tidak mendapat informasi penuh, karena Morell pun tidak tahu obat apa yang dianjurkan Dr. Giesing ke pasien: “Saya tidak diberi tahu apa-apa oleh si spesialis THT Dr. Giesing,” kata Morell agak kesal. Kedua doktor ini saling tidak menyukai satu sama lain dari awal. Ketika baru tiba, Morell mengatakan ke Giesing, “Anda siapa? Siapa yang menghubungi anda? Kenapa gak melapor ke saya?” Giesing membalas: “Sebagai seorang perwira saya hanya harus melapor ke atasan, bukan anda, seorang warga sipil.” Setelah itu mereka saling menghindari tatapan mata.
Giesing menggambarkan sosok dokter pribadi Hitler tanpa banyak simpati:
Morell datang dengan nafas terengah-engah. Dia menyalami tangan Hitler saja dan bertanya dengan tidak sabar apabila ada yang terjadi di malam sebelumnya. Hitler menjawab tidak. Dia tidur nyenyak dan bahkan bisa menyantap makan malamya tanpa kesulitan. Kemudian dibantu Linge, dia menanggalkan mantelnya, duduk di kursi kerjanya dan menggulung lengan kemejanya. Morell memberi Hitler suntikan. Dia menarik keluar jarum suntik dan menyekanya menggunakan sapu tangan. Kemudian dia meninggalkan ruangan dan pergi ke kantornya sambil memegang peralatan suntik di tangan kanan dan ampul di tangan kiri. Dia masuk ke dalam kamar mandi, mencuci jarumnya sendiri dan membuang ampulnya ke dalam toilet. Setelah mencuci tangan, dia kembali masuk ke kantor dan pamit ke semua orang.
Namun Giesing juga bukan hampa tangan ketika menangani Hitler. Obat favoritnya ketika mengobati rasa sakit di telinga, hidung dan tenggorakan adalah kokain, zat yang kerap disebut kaum Nazi sebagai “Obat sampah Yahudi.” Pilihan ini tidak aneh karena di masa itu tidak banyak alternatif bagi anestesi dan kokain bisa ditemukan di setiap apotek. Menurut kesaksian Giesing, satu-satunya narasumber di kasus ini, antara 22 Juli hingga 7 Oktober 1944, selama 75 hari dia memberi resep kokain lebih dari 50 kali sebagai obat untuk gangguan hidung dan tenggorokan. Bukan sembarang kokain, yang digunakan adalah kokain jenis Merck yang terkenal, didatangkan langsung dari Berlin menggunakan kereta dalam sebuah botel berlabelkan “kokain solusi”, dan telah ditanda-tangani oleh ahli farmasi SS sesuai dengan peraturan Kantor Pusat Keamanan Nazi. Di Wolf’s Lair, tangan kanan Hitler menjaga “obat-obatan” ini sangat hati-hati.
“Tolong jangan biarkan saya jadi pecandu kokain,” kata Hitler pada dokter favoritnya. Giesing berusaha menenangkan sang Fuhrer. “Pecandu hanya menghisap kokain kering.” Hitler merasa lega. “Saya tidak mau menjadi pecandu kokain.”
Para penulis biografi Hitler sebelumnya sepertinya gagal menyadari penggunaan narkoba sang Diktator biarpun ini jelas fakta yang layak untuk disebutkan mengingat efek euforia yang ditimbulkan ketika Hitler tengah melewati fase kritis paska usaha pembunuhan. Prosedurnya seperti ini: Di pagi hari, asisten dokter bedah Karl Brandt membawa koleganya Giesing ke sebuah tenda di belakang bunker untuk tamu. Mereka harus melewati pengawasan keamanan yang ketat yang telah diterapkan semenjak 20 Juli. Tas Giesing dikosongkan dan setiap peralatan medis dicek, bahkan lampu bohlam otoskop miliknya dicopot sebelum dipasang kembali. Giesing harus menyerahkan topi dan pisau belatinya, mengosongkan isi kantong celana dan jaket. Hanya sapu tangan, kunci dan alat tulisnya yang dikembalikan setelahnya. Dia diselidiki dari atas hingga bawah. Untungnya kokain lolos dari pemeriksaan karena memang sudah berada di dalam. Lalu Linge, sang tangan kanan, mulai beraksi, mengambil botol dari kabinet obat-obatan dari ruang kantor dan meminta Giesing untuk mulai memeriksa.
Pasien A mengucapkan rasa terima kasihnya atas obat anjuran. Menurut laporan Giesing, Hitler mengatakan “setelah menggunakan kokain, dia merasa lebih ringan dan bebas dan sanggup berpikir lebih jernih.” Dokter menjelaskan ke Hitler bahwa efek psikotropika tersebut datang dari “efek medis dari selaput lendir hidung bengkak yang membaik dan akibatnya makin mudah untuk bernafas lewat hidung. Efeknya bertahan antara empat hingga enam jam. Mungkin ada efek samping mendengus kokain setelahnya, tapi ini tidak akan bertahan lama.” Kabarnya Hitler meminta agar sesi kokain ditingkatkan menjadi satu atau dua kali sehari—bahkan setelah tubuhnya tidak lagi membutuhkan pengobatan paska 10 September. Giesing yang melihat peluang untuk melejitkan karirnya mengiyai, namun memperingatkan pasien bahwa kokain yang dikonsumsi akan masuk ke dalam peredaran darah, sehingga dosis tinggi tidak dianjurkan. Beberapa hari setelahnya, biarpun basah berkeringat, dia menyatakan kegembiraannya: “Untung anda disini, dokter. Kokain sangat menakjubkan dan saya senang anda telah menemukan obat yang pas. Tolong hilangkan rasa pusing saya.”
“Cek hidung saya dan masukan kokain ke dalamnya agar kepala saya berhenti berdenyut. Banyak agenda penting yang saya harus bereskan hari ini.”
Rasa pusing tersebut kemungkinan besar juga disebabkan oleh bunyi ledakan dan lengkingan yang menyebabkan para penghuni zona terlarang Wolf’s Lair menjadi tegang: pengeboran mesin berat tengah dilakukan demi pembangunan Führerbunker (markas perlindungan dari serangan udara) yang lebih kuat. Pasien A hanya bisa tahan mendengarkan suara-suara bising ketika berada di bawah pengaruh kokain dan obat tersebut membuatnya merasa seakan dia tidak sedang sakit: “Sekarang pikiran saya jernih lagi, saya merasa sangat sehat.” Namun ini bukan tanpa kekhawatiran: “Tolong jangan sampe saya jadi pecandu kokain,” katanya ke dokter favoritnya. Giesing menjawab berusaha menenangkan, “Pecandu kokain hanya menghisap kokain kering.” Hitler merasa lega: “Saya tidak mau menjadi pecandu kokain.”
Setelah menghisap zat putih tersebut, Hitler berjalan ke lokasi pengarahan militer dengan penuh percaya diri. Dia sangat yakin bisa memenangkan perang melawan Rusia. Ketika menerima dosis kokain dari Giesing di 16 September, 1944, dia tiba-tiba mendapat ide pseudo-jenius. Dia mengatakan ke prajuritnya bahwa mereka harus segera kembali ke Front Barat biarpun kalah dalam hal jumlah dan senjata. Dia langsung membuat perintah meminta “determinasi fanatis dari semua tentaranya yang siap bertugas.” Biarpun semua orang tidak menganjurkan ide gila ini, sang diktator menolak untuk mundur: Kemenangan akan menjadi miliknya!
Konsekuensinya, Giesing mulai merasa bersalah akibat ketergantungan Hitler terhadap kokain—yang menghapus rasa ragu-ragu dan mendorong megalomania—dan ingin menghentikan sesi kokain tersebut. Tapi Hitler menolak: “Jangan, dokter, lanjutkan seperti sebelumnya. Pagi ini kepala saya berdenyut-denyut akibat efek mengkonsumsi kokain tapi kekhawatiran saya akan masa depan Jerman semakin menghantui setiap harinya.” Namun suara hati Giesing terbukti lebih kuat dari kepatuhannya dan dia menolak memberikan Hitler lebih banyak kokain. Sebagai bukti pemberontakan, sang komander Nazi tersebut tidak muncul di acara pengarahan militer hari itu, 26 September, 1944 namun sempat mengumumkan secara singkat bahwa dia tidak lagi tertarik dengan situasi perang di Timur dimana barisan tentara Jerman sudah hampir ambruk. Terintimidasi, Giesing kembali muncul dan menjanjikan kokain asal Hitler bersedia melakukan pemeriksaan kesehatan secara menyeluruh. Pasien A, yang sebelumnya selalu menolak pemeriksaan semacam itu menyetujui dan pada 1 Oktober 1944, dia bahkan bersedia menanggalkan semua pakaiannya. Semua demi mendapatkan suntikan kokain yang diinginkan: “Cek hidung saya dan masukan kokain ke dalamnya agar kepala saya berhenti berdenyut. Banyak hal penting yang saya harus bereskan hari ini.”
Giesing menuruti perintah tersebut, memberikan sang Fuhrer kokain, kali ini dalam dosis besar. Dampaknya, Hitler sempat kehilangan kesadaraan dan berisiko terkena kelumpuhan pernapasan. Apabila cerita Giesing akurat, bisa disimpulkan pemimpin karismatik Nazi Jerman tersebut pernah hampir tewas akibat overdosis narkoba.
Cuplikan naskah yang dimuat dalam artikel ini berasal dari buku Blitzed: Drugs in the Third Reich yang ditulis Norman Ohler, diterbitkan oleh Houghton Mifflin Harcourt. Naskah dimuat atas seizin penulis dan penerbit.
Follow Norman Ohler di Twitter.