Teori Konspirasi di Grup WA Indonesia Keliru: Covid-19 Bukan Senjata Biologis

Hoax Konspirasi Virus Corona Senjata Biologis Bikinan Tiongkok atau Amerika Serikat Menyebar di Grup WhatsApp

Setiap kali ada wabah atau pandemi, setiap kali itu pula penggemar teori konspirasi selalu melempar teori yang bikin geleng-geleng kepala. Sebuah jajak pendapat yang dilakukan YouGov pada 2019 misalnya, menemukan 16 persen responden di Spanyol yakin bahwa HIV diciptakan dan disebarkan ke seluruh dunia dengan sengaja oleh suatu kelompok atau organisasi rahasia.

Sementara 27 persen responden dari Prancis dan 12 persen dari Inggris yakin bahwa “kebenaran di balik efek berbahaya dari vaksin sengaja disembunyikan dari publik”.

Videos by VICE

Saat terdeteksi pertama kali pada Desember 2019, pandemi corona juga segera memicu serangkaian teori konspirasi. Salah satunya menduga bahwa Covid-19 adalah senjata biologi Tiongkok yang bocor dari sebuah laboratorium di Kota Wuhan. Informasi ini pun sejak awal Februari 2020 telah beredar di berbagai grup WhatsApp dengan bermacam variasinya. Kini muncul juga konspirasi lain, yang ganti menuduh Amerika sebagai biang keladi penyebaran virus pemicu gangguan pernapasan akut tersebut. Beberapa media lokal turut mengulas konspirasi tersebut.

Sayang mimpi basah penggemar teori konspirasi harus berakhir, sebab para peneliti menemukan fakta konkret bila virus corona adalah hasil seleksi alami. Tak ada bukti sama sekali bahwa virusnya direkayasa manusia.

Sebuah artikel dalam jurnal Nature yang terbit akhir Maret lalu menyebutkan, para ilmuwan telah berhasil mempelajari struktur Covid-19 berdasarkan fitur genomika (cabang ilmu biologi multidisipliner yang mempelajari rangkaian DNA).

Covid-19 merupakan anggota ketujuh dari keluarga coronavirus dan merupakan ‘saudara’ dari SARS-CoV, MERS-CoV, HKU1, NL63, OC43 dan 229E. SARS-CoV pertama kali menginfeksi manusia pada wabah 2003 yang pertama kali muncul di Guangdong, Tiongkok.

“SARS-CoV-2 tidak berasal dari pengembangan virus-virus terdahulu,” demikian kutipan kesimpulan dari kajian tersebut. “Analisis kami dengan jelas menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 tak dibuat di laboratorium atau dengan sengaja diciptakan.”

Salah satu tim peneliti, Robert Garry dari Tulane University School of Medicine, mengatakan virus tersebut berasal dari kelelawar jenis tertentu yang terkombinasi dengan virus dari hewan lain, kemungkinan trenggiling. Covid-19 kemungkinan telah berevolusi dalam waktu yang panjang di dalam hewan atau manusia, sebelum mengalami ‘mutasi kecil’ yang “memungkinkannya tersebar secara cepat.”

Para peneliti mengajukan dua hipotesis soal asal mula virus ini:

  1. Seleksi alam di dalam tubuh binatang sebelum transmisi ke manusia
  2. Seleksi alam di dalam tubuh manusia setelah transmisi dari binatang

“Kita tahu bahwa asal virus ini [SARS-CoV-2] berbeda dari semua jenis virus SARS terdahulu,” kata Robert. “Ini bukan senjata biologis. Tak ada yang menciptakan ini di laboratorium. Ini adalah murni hasil kerja alam.”

Demi memerangi wacana konspirasi dan serangkaian hoaks di sekeliling pandemi, organisasi kesehatan dunia WHO meluncurkan situs myth buster yang berusaha me-debunk hoax dan informasi sesat seputar virus corona. Kalian bisa klik infonya di sini.

Kasus positif Covid-19 tercatat mencapai 858,669 dan merenggut 42,151 jiwa di seluruh dunia hingga berita ini ditulis. Indonesia mencatat 1.528 kasus positif dengan 136 korban jiwa di 32 provinsi merujuk data Selasa 31 Maret.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan telah mengajukan surat permohonan karantina wilayah ke pemerintah pusat awal pekan ini. Sebab DKI Jakarta adalah pusat dari pandemi ini di Indonesia. Permohonan tersebut ditolak oleh pemerintah pusat.

Presiden Joko Widodo berkukuh memilih opsi pembatasan sosial skala besar (PSSB) akan menjadi strategi utama, dengan tambahan stimulus ekonomi buat masyarakat terdampak. Ketika kondisi memburuk, presiden membuka kemungkinan menerapkan darurat sipil, yang segera diprotes oleh aktivis demokrasi dari berbagai kubu, karena berisiko melanggar hak sipil dan kebebasan masyarakat, sekaligus mengindikasikan abainya negara dalam melindungi kelompok rentan selama pandemi.