Artikel ini pertama kali tayang di VICE Sports UK.
Beberapa waktu lalu, orang mengira permasalahan FIFA akan tuntas setelah Sepp Blatter dilengserkan dari posisi presiden organisasi sepakbola utama dunia. Memang, Blatter kemudian berhasil disingkirkan, tapi datanglah Gianni Infantino, Presiden FIFA pertama dari UEFA sejak 1974. Orang-orang yang dulu anti pada Blatter justru mengecam kebijakan penambahan peserta Piala Dunia yang diusulkan Infantino. Ide itu sejak lama ditolak oleh Blatter. Jadi pengkritik FIFA untuk kali ini terpaksa bersepakat dengan Blatter.
Videos by VICE
Sebenarnya apa yang ingin dilakukan presiden baru FIFA? Motif yang bisa ditebak tentu saja terkait keuntungan ekonomi. Semakin banyak peserta Piala Dunia, artinya akan banyak pertandingan dan pemasukan dari hak siar maupun iklan. Jangan lupa, pergelaran Piala Dunia adalah kompetisi yang menyumbang 89 persen pendapatan tahunan FIFA. Tapi, banyak yang tidak sadar, ide Infantino sebetulnya dilandasai motif politik, alih-alih keuntungan finansial.
Kita perlu menarik mundur sikap UEFA hingga era 1970-an. UEFA adalah federasi yang selalu mendorong penambahan peserta Piala Dunia sepakbola. Setelah Perang Dunia ke-2, negara Eropa menguasai lebih dari separuh anggota FIFA. Dekade 70-an, timnas Eropa tak lagi dominan dalam jagat persepakbolaan, kalah dari tim-tim Amerika Latin. Di tengah munculnya jagoan-jagoan bola dari benua lain, Presiden FIFA kala itu, Sir Stanley Rous, berkukuh membatasi peserta Piala Dunia hanya untuk 16 tim. Timnas Afrika dan Asia masing-masing hanya punya satu jatah untuk bertanding di putaran final. Perubahan terjadi setelah Joao Havelange, asal Brasil, mengalahkan Rous pada kongres FIFA 1974. Penambahan tim terjadi, lebih banyak tempat untuk wakil Afrika dan Asia. Progresivitas dalam hal penambahan ini diteruskan Blatter namun dengan perkembangan yang sangat lambat.
Infantino, di tengah skandal korupsi yang menggerogoti FIFA serta pemakzulan Blatter, berusaha mencitrakan diri berbeda dari orang-orang tua yang menguasai sepakbola dunia. Dia segera mencari cara memikat hati timnas-timnas dari Asia dan Afrika. Caranya tentu saja menambah jumlah peserta Piala Dunia. Beberapa sumber memastikan Infantino akan maju dalam pemilihan presiden FIFA pada 2019. Artinya, kebijakan ini bagaikan politik dagang sapi agar wakil federasi bola Afrika dan Asia, yang jumlahnya bila digabung adalah separuh lebih semua anggota FIFA itu, mendukungnya kembali.
Blatter sejak lama menolak ide penambahan lagi peserta, dari 32 menjadi 48 tim, atas dua alasan. Sebab pertama, Blatter punya pengaruh kuat di kalangan federasi sepakbola Afrika. Dia tak perlu meraih simpati seperti Infantino. Alasan lainnya, Blatter pernah menyebut risiko yang mengancam bila FIFA menambah peserta Piala Dunia: menurunnya mutu pertandingan. Hal yang sebenarnya juga disadari para pundit bola maupun pendukung timnas masing-masing.
Kompetisi yang ketat ditopang jumlah peserta yang rasional, membuat Liga Champions menjadi ajang sepakbola paling dinamis dan menarik di Planet Bumi. Sementara Piala Dunia punya unsur pembeda: kemampuan memobilisasi orang berdasarkan sentimen nasionalisme, membuat setiap orang merasa berpartisipasi, berbeda dari pertandingan antar klub profesional. Artinya jika tim-tim medioker diizinkan ikut dalam Piala Dunia, mutu perhelatan sepakbola akbar itu akan semakin menurun dibandingkan Liga Champions.
Risiko lainnya adalah menurunnya kualitas pertandingan babak kualifikasi. Di Eropa, tim-tim gurem tidak akan terpacu bertanding melawan timnas kuat, karena peluang mereka lolos lebih besar. Demikian juga kualifikasi di Amerika Selatan. Ini salah satu kemungkinan terburuk yang muncul, jika peserta ditambah menjadi 48 tim.
Faktor lain yang membuat ide ini semakin absurd adalah mahalnya ongkos penyelengaraan. Piala Dunia memang ajang pesta internasional, tapi siapa yang mau membayar? Beban setiap tuan rumah akan meningkat karena peserta menjadi 48 timnas. Harus kita ingat, bagaimana rakyat Brasil marah pada pemerintahnya karena jor-joran membangun infrastruktur untuk turnamen 2014 lalu. Format baru yang ditawarkan Infantino, dari 64 pertandingan menjadi 80 pertandingan, otomatis membuat melar jadwal penyelenggaraan. Lebih banyak lagi pembangunan stadion yang tidak akan terpakai setelah Piala Dunia berakhir. Hal mubazir yang tidak menarik bagi calon tuan rumah dari negara manapun. Format baru ini hanya bisa ditalangi oleh sedikit negara saja yang sudah punya infrastruktur olahraga mapan.
Jangan lupakan juga pelajaran dari penyelenggaraan Piala Dunia 2002 yang dibagi antara Jepang dan Korea Selatan. Ide Infantino ini memunculkan lagi ide tuan rumah bersama. Ada wacana Piala Dunia 2026 nanti digelar bareng oleh Amerika Serikat, Meksiko, dan Kanada. Masalah yang segera muncul adalah mahalnya ongkos yang harus ditanggung suporter masing-masing timnas. Bayangkan jika tim yang mereka dukung harus terbang ke lebih dari satu negara, belum termasuk kerumitan imigrasinya. Di babak penyisihan mereka bermain di Toronto, kemudian lanjut ke Los Angeles, sebelum menembus babak final di Mexico City. Bisakah suporter yang koceknya tak terlalu besar berpartisipasi? Gagasan ini juga mengabaikan semangat Piala Dunia. Ketika orang dari aneka bangsa berada di satu tempat, sama-sama merayakan semangat kompetisi sepakbola.
Secara matematis, ide menambah 48 tim juga sangat tidak masuk akal. Otak manusia hanya bisa mencerna informasi yang terbatas. Bayangkan betapa rumitnya pertandingan dari 16 grup. Tiga tim per grup akan lolos, dan artinya ini perubahan besar-besaran untuk format penyisihan lanjutan. Sebab, ada lubang besar yang membuat format ini merugikan beberapa peserta. Tim yang berhasil lolos berkat dua kemenangan di fase grup, akan punya waktu istirahat terlalu besar dibanding musuh yang nasibnya ditentukan hingga detik-detik akhir. Fase knockout Piala Dunia yang seharusnya dramatis dan penuh semangat akan timpang sejak awal.
Kesimpulannya, tidak ada alasan penambahan 48 tim dalam Piala Dunia patut didukung. Kita wajib mengingat pepatah klasik ini: “hati-hati dengan setiap keinginanmu, apalagi jika itu sampai terkabul.”
*Artikel ini ditulis oleh Tim Vickery. Follow dia di akun @Tim_Vickery