Planet Bumi telah menjadi tempat kelahiran setiap manusia sepanjang sejarah. Tetapi jika peradaban kita benar-benar akan diperluas ke luar angkasa, kemungkinan besar fakta itu bakal berubah.
Demi menguji kemungkinan bayi bisa terlahir di luar angkasa, para peneliti menaruh sperma beku dalam kondisi gravitasi mikro. Tujuan eksperimen ini adalah menentukan apakah lingkungan luar angkasa mempengaruhi kualitas sperma manusia.
Videos by VICE
Montserrat Boada, pakar embriologi dari Fasilitas Kesehatan Dexeus yang memimpin eksperimen ini, berharap uji coba lembaganya dapat memicu inovasi berikutnya. Misalnya, bank benih luar angkasa yang berpotensi memungkinkan pembiakan manusia di luar planet Bumi.
“Di masa depan, kemampuan menyimpan sperma dan embrio di luar bumi akan sangat penting, bukan hanya untuk memperbesar kemungkinan pembiakan manusia di luar angkasa, tetapi juga untuk memastikan keragaman lokasi kelahiran, yang sangat penting dalam rangka mempertahankan spesies kita,” demikian kata Boada kepada Motherboard saat diwawancarai lewat email.
Boada mempresentasikan temuan timnya di pertemuan Persatuan Reproduksi dan Embriologi Manusia Eropa (ESHRE) di Vienna, Austria, pekan lalu.
Sel sperma sangat sensitif terhadap radiasi. Oleh karena itu, berbagai studi memprediksi astronot laki-laki kemungkinan mengalami lebih sedikit produksi sperma akibat paparan radiasi lebih tinggi di lingkungan angkasa. Namun, efek gravitasi mikro pada kesuburan laki-laki belum jelas.
Untuk mendalami data seputar kondisi tersebut, Boada dan rekan-rekannya mengumpulkan sampel sperma terbeku dari 10 donor, lantas menerbangkan sampel-sampel tersebut di pesawat aerobatik khusus yang dapat memunculkan kondisi gravitasi mikro (itu lho, yang orang bisa melayang sebentar) selama periode pendek. Pesawat tersebut menyelesaikan 20 gerakan, yang sama dengan paparan delapan detik kondisi luar angkasa.
Saat para peneliti lantas membandingkan sampel-sampel yang diterbangkan dengan kondisi sperma yang tetap di darat. Disimpulkan bila tidak terlihat perbedaan signifikan antara konsentrasi sperma, motilitas, ataupun angka fragmentasi DNA. Pengujian dengan sperma segar juga menghasilkan penemuan serupa. Sehingga, gravitasi mikro dianggap tidak mengancam kesuburan laki-laki pada jangka pendek.
Penemuan ini mungkin terdengar menjanjikan bagi yang ingin beranak di luar angkasa, tetapi Boada menegaskan studi ini baru merupakan pendahuluan sebelum bisa dilakukan penelitian serupa di masa mendatang.
“Kami tahu, opsi ideal seharusnya melaksanakan eksperimen ini di Stasiun Angkasa Internasional atau pada penerbangan asli di luar angkasa, tetapi aksesnya masih sangat terbatas,” kata Boada. “Ini baru langkah awal, dan masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut.”
Dia berharap timnya dapat melengkapi penelitian ini dengan eksperimen lebih panjang di atas orbit Bumi, mirip proyek Micro-11 NASA. Dulu NASA menggelar uji coba pemantauan kondisi sperma banteng dan manusia yang sampai sekarang pun masih terus dilaksanakan di Stasiun Angkasa Internasional.
“Kami sedang mempertimbangkan berbagai platform demi mencari jangka waktu paparan gravitasi mirko lebih panjang supaya dapat mengevaluasi efek ruang hampa terhadap sel sperma manusia,” katanya. “Kami juga ingin selanjut mengevaluasi dampak gravitasi mikro bukan hanya pada sperma manusia, tetapi juga oocyte dan embrio.”
Artikel ini pertama kali tayang di Motherboard