Tech

Ilmuwan Bikin Program Bedakan Fosil Kotoran Manusia dan Anjing dari 7.000 Tahun Lalu

Koprolit dari Tiongkok. Gambar: Jada Ko dari Institut Warisan Budaya dan Arkeologi Provinsi Anhui.

Manusia dan anjing domestik telah hidup berdampingan sejak 12.000 tahun lalu. Studi yang diterbitkan Jumat dalam jurnal PeerJ menyebutkan buktinya bisa dilihat dari lokasi tempat tinggal dan buang hajat mereka.

“Kotoran manusia dan anjing umum muncul di situs arkeologi yang sama,” demikian kesimpulan studi yang diketuai Maxime Borry, mahasiswa Ph.D bidang bioinformatika di Max Planck Institute for the Science of Human History.

Videos by VICE

Sampel fosil tinja, yang disebut koprolit atau paleofeces, dapat memberikan informasi penting tentang kehidupan di masa lalu. Koprolit bahkan bisa mengawetkan DNA pembuangnya, serta sumber makanan asli dan mikrobioma usus mereka.

Feses anjing dan manusia di masa lalu sulit dibedakan karena kedua makhluk memiliki pola makan dan bentuk tinja yang mirip satu sama lain. Perilaku lainnya juga semakin mempersulit penentuan “asal-usul tinja”. Anjing terkadang memakan pup manusia, begitu juga dengan manusia yang memakan daging anjing. Dengan begitu, paleofeces anjing dan manusia memiliki DNA campuran.

Maxime dan rekan mengembangkan metode bioinformatika coproID untuk menyelesaikan masalah ini. Studinya menjelaskan coproID menggunakan perangkat machine learning yang dapat membandingkan DNA inang purba dan modern, sehingga bisa membedakan keduanya dalam kebanyakan kasus.

“CoproID adalah metode identifikasi koprolit pertama yang mengonfirmasi apakah fesesnya milik manusia atau anjing,” kata Maxime ketika dihubungi lewat telepon.

Tim peneliti menguji metodenya pada 20 sampel—beberapa berumur 7.200 tahun—dari 10 situs arkeologi di Meksiko, Tiongkok dan Eropa. 13 sampel adalah paleofeces, sedangkan sisanya berupa sampel sedimen untuk memastikan coproID bisa membedakan non-feses dari feses.

CoproID berhasil mengidentifikasi lima sampel paleofeces manusia dan dua koprolit anjing, serta melaporkan enam koprolit yang belum diketahui asalnya. Machine learning ini secara akurat memisahkan sampel non-feses.

Tiga koprolit yang tidak berhasil diidentifikasi mengandung sedikit sekali DNA mikroba, sehingga sulit untuk ditentukan sumbernya. Tiga lainnya yang berasal dari situs arkeologi berusia 1.300 tahun di Meksiko memiliki mikrobioma usus mirip manusia, tapi juga sesuai dengan DNA anjing.

“Ada dua kemungkinan yang bisa menjelaskan sampel ‘tak pasti’ ini,” tulis peneliti. “Pertama, feses ini bisa saja berasal dari manusia yang mengonsumsi daging anjing.”

Mereka mengimbuhkan, “Atau bisa saja itu adalah feses anjing yang komposisi mikrobiomanya bergeser relatif terhadap referensi metagenom yang digunakan dalam set pelatihan kami.”

Dengan kata lain, fesesnya bisa saja berasal dari anjing yang mikrobiomanya berbeda dari kebanyakan anjing di masa sekarang. Anjing yang terbiasa berburu di alam bebas mungkin memiliki mikrobioma usus berbeda dengan anjing yang makan makanan hewan secara teratur.

“Tak banyak yang bisa diketahui dari mikrobioma anjing,” ujar Maxime. “Kami berharap ada penelitian yang mengamati keragaman mikrobioma usus anjing, sehingga kami bisa lebih akurat lagi membedakan mana yang feses anjing dan mana yang manusia.”

Maxime dan rekan berniat untuk terus memasukkan informasi baru ke dalam coproID, supaya dapat meningkatkan proses identifikasi inangnya. Selain membedakan spesies, metode ini juga bisa membantu peneliti merekonstruksi sejarah evolusi mikrobioma manusia selama beberapa ribu tahun terakhir.

Tak seperti di film-film, arkeolog di dunia nyata bisa memperoleh informasi penting dari seonggok tinja saja. Dan kini, penelitian mereka menjadi terasa lebih mudah dengan adanya metode canggih.

Artikel ini pertama kali tayang di Motherboard