Pada 25 tahun lalu, saya berdakwah di Afrika Selatan ketika diminta menyampaikan khutbah salat Jumat di Masjid Claremont Main Road. Hari itu bertepatan dengan 100 hari masa pemerintahan Nelson Mandela. Semangat kesetaraan dan keadilan amat terasa. Pengalaman ini begitu luar biasa, saya sampai tidak bisa berkata-kata. Pada Agustus 1994, mustahil rasanya mewujudkan kesetaraan gender dalam ibadah. Seperempat abad telah berlalu, kedudukan perempuan Muslim semakin tumbuh.
Seperti agama besar lainnya, dalih agama Islam dibuat dari sudut pandang laki-laki semata. Berabad-abad kemudian, hak istimewa yang timpang ini menjadikan mereka sebagai pemimpin ritual keagamaan wajib bagi semua umat Muslim. Perempuan cuma memegang peran pendukung yang harus “menjaga” suaranya.
Videos by VICE
Kedudukan ini dimulai dengan Alquran sebagai kitab suci dan Nabi Muhammad SAW sebagai panutan. Padahal, tidak ada ayat Alquran atau hadits yang membatasi peran Muslimah sebagai Imam. Walaupun dalil-dalil Islam menunjukkan perempuan memiliki hak spiritual penuh, kebenaran itu seakan tidak terlihat.
Fondasi patriarki yang mengakar kuat menjadi alasan mengapa lelaki memiliki kedudukan lebih tinggi. Begitu perempuan menganalisis sejarah ini sebagai agen intelektual penuh—seperti yang dimandatkan Alquran dan Rasulullah SAW—hak yang timpang tersebut menjadi tidak masuk akal. Feminisme Islam atau pro-iman memecahkan metode penafsiran tekstual, mempelajari ulang sumber dalih agama tersebut, menciptakan metode penafsiran baru, dan membangun pengetahuan baru.
Feminisme Islam menggunakan realitas kehidupan perempuan Muslim untuk menginformasikan cara kita membangun otoritas, tanggung jawab, dan kesejahteraan. Dalam 20 tahun terakhir, perempuan Muslim mencapai masa kritis dalam merebut kembali hak dan tanggung jawab mereka. Perempuan-perempuan ini mematahkan asumsi bias bahwa posisi pemimpin dari sektor manapun hanya boleh diisi lelaki Muslim.
Feminis Muslim seperti Musawah menunjukkan tak ada yang namanya keadilan jika tanpa kesetaraan timbal balik. Dengan menggunakan gender sebagai lensa analitis, kami memeriksa kembali asumsi yang mendasari penafsiran patriarkis terhadap ayat-ayat kitab suci. Setelah itu, kami menyusun kesimpulan lebih egaliter. Beberapa feminis Muslim yang terkenal di Barat adalah: Fatima Mernissi, Rifaat Hassan dan Leila Ahmed pada generasi pertama; Kecia Ali, Sa’diyya Shaykh, dan Asmaa Barlas pada generasi kedua; Jerusha Lamptey dan Aishah Hidayyatullah untuk generasi baru. Pencapaian mereka menantang standar ganda yang kuat dalam semua aspek kehidupan perempuan.
“Perempuan-perempuan ini mematahkan asumsi bias bahwa posisi pemimpin dari sektor manapun hanya boleh diisi lelaki Muslim.”
Lebih dari satu dekade setelah pengalaman besarku, sebuah acara komunitas tahun 2005 di New York City mengadakan salat berjamaah campur. Saya diminta berkhutbah dan menjadi imam. Apa yang sebelumnya mustahil kini menjadi bagian dari identitas komunal kami. Selanjutnya, orang queer Muslim membentuk Inisiatif Masjid Inklusif, dan perempuan Muslim memulai gerakan Women’s Mosque.
Dikotomi antara perempuan dan laki-laki tak lagi berlaku di masa depan. Perempuan Muslim melakukan advokasi atas nama mereka sendiri, menciptakan ruang sakral baik permanen maupun sementara, dan melaksanakan kewajiban beragama.
Sembari mematuhi ajaran agama, kami melangkahi batasan yang sebelumnya ditempatkan pada perempuan oleh orang-orang yang memanfaatkan patriarki atas nama Islam untuk mempertahankan kekuasaan. Dengan kata lain, perempuan tak lagi menunggu persetujuan dari mereka yang membatasi geraknya. Ini adalah bagian dari warisan Islam modern. Saya berharap dalam 25 tahun ke depan, perempuan dan lelaki menempati posisi yang setara di setiap tempat suci.
Artikel ini pertama kali tayang di Broadly
More
From VICE
-
(Photo by Stephen J. Cohen/Getty Images) -
OnePlus Watch 3 — Credit: Google -
Sol de Zuasnabar Brebbia / Getty Images -
tadamichi / Getty Images