Sejak Minggu (6/12) malam, Biro Pers dan Media Sekretariat Presiden mengirimkan pesan bombastis kepada awak media, dengan tajuk “Live streaming kedatangan vaksin Covid-19”. Tak berapa lama, Presiden Joko Widodo segera memberi pernyataan resmi, bahwa kedatangan 1,2 juta dosis vaksin dari Tiongkok itu di Bandara Soekarno-Hatta sebagai “kabar baik”.
“Vaksin ini buatan Sinovac yang diuji secara klinis di Bandung sejak Agustus 2020,” tutur Jokowi. Dia mengisyaratkan masyarakat semestinya bahagia karena kandidat vaksin itu dinilai bisa mengeluarkan Indonesia dari pandemi yang berlangsung sejak Maret. “Kita sangat bersyukur, alhamdulillah, vaksin sudah tersedia. Artinya kita bisa mencegah meluasnya wabah Covid-19.”
Videos by VICE
Jokowi juga mengungkap ada 15 juta dosis dan 1,8 juta dosis yang akan tiba bertahap awal dan akhir Januari 2021. Ada juga 30 juta dosis dalam bentuk bahan baku yang akan “diproses lebih lanjut” oleh Bio Farma, perusahaan pelat merah yang ditunjuk menjadi rekanan Sinovac di Indonesia.
Lewat jumpa pers Senin (7/12), lima menteri yang ditugaskan menjelaskan alasan pemerintah memilih Sinovac, tidak menjabarkan banyak detail soal uji klinis vaksin tersebut yang belum selesai. Pemerintah mengklaim pembelian sinovac merupakan langkah terbaik menangani pandemi.
“Indonesia menjadi salah satu negara yang menunjukkan langkah konkret untuk menghadirkan vaksin Covid-19 sesegera mungkin di Tanah Air,” kata Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menambahkan, vaksin dapat membantu “membangun rasa aman dan kepercayaan diri kita sebagai bangsa dalam melakukan berbagai aktivitas sosial ekonomi untuk mendukung ketahanan kesehatan, mendorong produktivitas, serta menjaga dan meningkatkan”.
Berdasar catatan Kementerian Keuangan, total anggaran untuk berbagai kebijakan merespons Covid-19, termasuk pengadaan vaksin, mencapai Rp95,6 triliun hingga 2021. “Untuk 2020, Kemenkes telah membelanjakan Rp637,3 miliar untuk pengadaan vaksin, yakni untuk tiga juta dosis dari Sinovac dan 100 ribu dosis dari Cansino,” kata Menkeu Sri Mulyani.
Vaksin Sinovac yang dimaksud pemerintah masih berstatus pengawasan. Juru Bicara Uji Klinis Vaksin Covid-19 Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, Rodman Tarigan, pada November lalu menyatakan proses monitoring efektivitas vaksin baru berakhir paling cepat Mei 2021.
Jangankan untuk vaksinasi massal, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sempat menyatakan belum akan mengeluarkan izin pemakaian darurat (emergency use authorization), mengingat laporan awal dari hasil uji klinis fase ketiga baru akan diumumkan pada Januari 2021.
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto optimis dengan kualitas kandidat vaksin Sinovac. Dia mengklaim BPOM akan menyetujui vaksinasi memakai Sinovac dengan skema izin darurat. “Vaksin akan segera dilakukan persetujuan untuk penggunaan EUA-nya oleh BPOM, sesuai dengan scientific dan ketentuan perundangan-undangan,” kata Terawan.
Di luar itu, pemerintah memiliki skenario pembedaan vaksin. Bagi masyarakat miskin, atau penerima bantuan iuran BPJS Kesehatan, maka vaksinasi diberikan gratis oleh pemerintah kemungkinan dengan memakai Sinovac.
Sebaliknya, sesuai Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/ Menkes/9860/2020, Erick Thohir ditunjuk untuk melanjutkan pengadaan vaksin bagi masyarakat mampu yang akan datang pertengahan 2021. Pemerintah sejak beberapa bulan lalu sudah mengimbau orang dari latar ekonomi menengah ke atas membayar sendiri vaksin Covid-19.
“Aturan rinci untuk kedua skema [vaksinasi] tersebut akan segera diterbitkan dalam 1-2 minggu ke depan,” ujar Menko Airlangga.
Menurut epidemiolog Universitas Indonesia Pandu Riono, sikap pemerintah yang ngotot membeli vaksin belum selesai uji klinis terkesan demi “menyenangkan dan menenangkan publik dan presiden”, sekaligus sebagai “kado Natal dan Tahun Baru”.
“Dari dulu informasinya [soal vaksin] dibuat agar masyarakat tenang,” kata Pandu saat dihubungi VICE.
Ia menduga jika tujuan ini tercapai, tidak hanya pemerintah yang abai, tetapi juga publik. “Terutama pemerintah, tidak akan serius meningkatkan kapasitas tes, pelacakan dan isolasi,” imbuhnya. “Edukasi 3M [memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak] tidak prioritas karena beralih untuk edukasi meningkatkan penerimaan vaksin oleh publik.”
Dia juga khawatir bahwa dengan situasi ini, BPOM akan sulit untuk bersikap independen. “Situasinya jadi banyak tekanan politik dan psikologis ke BPOM,” tegasnya.
Informasi penting lainnya yang tidak diumumkan pemerintah adalah fakta Sinovac belum mengumumkan efficacy data kandidat vaksinnya. Ini merujuk kepada persentase ampuhnya vaksin terhadap orang-orang yang menerimanya jika dibandingkan dengan mereka yang tak divaksin.
Lain halnya dengan Pfizer dan Moderna yang masing-masing melaporkan lebih dari 90 persen keberhasilan. Di Amerika Serikat, badan pengawas obat dan makanan (FDA) setempat sangat memperhatikan ampuh atau tidaknya kandidat vaksin selama uji coba.
Bahkan, FDA baru akan melakukan rapat untuk membahas izin emergency use untuk Pfizer dan Moderna masing-masing pada 10 dan 17 Desember mendatang. Tidak ada penyambutan aneh-aneh oleh pemerintah terkait kandidat vaksin yang mungkin dipakai.
Persoalan berikutnya adalah mengenai rendahnya jumlah relawan kandidat vaksin Sinovac di Indonesia yang hanya 1.620 orang. Angka ini sangat jauh jika dibandingkan, misalnya, dengan Pfizer yang melibatkan lebih dari 42.000 relawan di Amerika Serikat. Semakin sedikit jumlah relawan, semakin sulit mendapatkan data keampuhan yang terpercaya.
Gegap gempita yang diperlihatkan pemerintah sekaligus mengesampingkan informasi bahwa Sinovac dikenal luas sebagai perusahaan obat yang beberapa kali terlibat skandal penyuapan. Misalnya, pendiri Sinovac Yin Weidong mengaku menyuap pejabat sejak 2002 sampai 2011 agar vaksin buatannya mendapatkan sertifikasi pemerintah. Meski demikian, pengadilan tidak menjatuhkan hukuman kepada dirinya.