Indonesia menerima 167 rekomendasi yang dikeluarkan oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB dalam sidang Universal Periodic Review (UPR) pekan lalu. Namun 58 rekomendasi di antaranya “ditolak” pemerintah karena bukan termasuk prioritas penegakan Hak Asasi Manusia dalam negeri.
Sidang UPR yang digelar di Swiss 21 September lalu memberikan 225 rekomendasi kepada pemerintah dalam upaya penegakan HAM. Salah satu rekomendasi yang tidak dapat dijalankan pemerintah adalah merevisi pasal penistaan agama, yang selama ini telah digunakan untuk merepresi etnis maupun penganut agama minoritas.
Videos by VICE
“Penodaan agama adalah induk dari segala diskriminasi agama,” kata Andreas Harsono, peneliti dari Human Rights Watch. “Dengan tidak menjalankan rekomendasi dari PBB tersebut, pasal penistaan agama akan terus digunakan untuk mendiskriminasi minoritas.”
Pasal penistaan agama sejatinya adalah UU No.1/PNPS/1965 pasal 156a yang dirumuskan pada saat pemerintahan Sukarno. Pasal tersebut telah digunakan lebih dari 200 kali sejak era presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, menurut Andreas.
“Agama apapun yang tidak diakui oleh negara, tetap rentan selama pasal penistaan agama masih ada,” tutur Andreas. “Saat ini saja kaum minoritas dipersulit dalam urusan agama. Mereka dipersulit untuk urusan mendapatkan KTP, perizinan rumah ibadah, dan akta kelahiran. Saya pikir kasus seperti itu akan terus ada.”
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang turut mengikuti jalannya persidangan, memiliki pandangan lain.
Anggota Komnas HAM Sandra Moniaga mengatakan pemerintah sulit menerima 58 rekomendasi tersebut, karena terbentur KUHP yang sudah ada. Di samping itu pemerintah saat ini sedang dalam tahap merevisi KUHP yang telah dirapatkan di DPR.
“Peraturan dan perundangan kita belum banyak yang mengatur dan menggunakan pendekatan pandangan agama dan budaya,” kata Sandra.
Direktur Human Rights Working Group (HRWG) Rafendi Djamin mengatakan keengganan pemerintah Indonesia menindaklanjuti rekomendasi khususnya dalam hal pasal penistaan agama bisa berakibat luas. Hal tersebut terbukti bisa mengancam demokrasi. Kasus penistaan agama yang menimpa mantan gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja “Ahok” Purnama adalah contoh kecil kemunduran demokrasi.
“Pasal tersebut mempolitisasi agama,” kata Rafendi. “Ia membuka ruang yang luas untuk siapapun yang berkepentingan untuk mempolitisasi, contohnya saja kasus Ahok atau demo 212. Agama minoritas juga jelas terancam.”
Agama minoritas jelas adalah golongan yang paling merasakan pasal karet tersebut. Kaum minoritas Syiah, Ahmadiyah dan agama lokal terus mengalami persekusi dan diskriminasi dari masyarakat maupun pemerintah.
Warga syiah Sampang yang terusir dari kampung halamannya, pemeluk Ahmadiyah di Lombok tak kunjung mendapat keadilan, hingga kelompok Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang harus rela dibubarkan pemerintah, adalah contoh dari sedikit kasus yang menciderai demokrasi.
“Tugas utama pemerintah adalah melindungi mereka yang rentan,” kata Rafendi. “Tapi kenyataan sebaliknya. Saya pikir soal ‘penodaan agama’ tidak seharusnya diselesaikan dalam ranah pidana. Ketika soal agama masuk dalam ranah hukum, tak ada lagi ruang untuk memproteksi minoritas.”