Francois Abella Camille, seorang warga negara Prancis, beberapa waktu lalu menghiasi pemberitaan karena ditangkap Kepolisian Indonesia atas dugaan memperkosa ratusan anak dan merekam para korban. Setelah Francois bunuh diri di rumah tahanan Polda Metro Jaya, investigasi kasusnya menghilang tanpa kabar lanjutan.
Tak ada pengumuman polisi, tak ada kabar lanjutan nasib para korban. Semuanya seolah-olah udah selesai, meninggalkan 305 korban eksploitasi seksual yang harus menerima kenyataan pahit tidak akan ada pengadilan kepada pelaku selama-lamanya. Padahal, banyak pertanyaan yang masih perlu dijawab. Misal, apakah ia beraksi sendiri, atau jadi bagian dari satu sindikat turis pedofil?
Videos by VICE
Francois tertangkap bukan karena laporan korban, melainkan dari warga. Alasan lebih dari 300 anak memutuskan bungkam selama ini tentu wajib dibongkar sejelas-jelasnya.
Untuk menjawabnya, mewawancarai korban seharusnya krusial dilakukan aparat. Mengingat korban pun dipotret dan direkam, mustahil Francois bekerja seorang diri menipu sana-sini bermodal mulut manis. Apalagi, polisi melaporkan kalau mayoritas korban adalah anak jalanan berusia 10-17 tahun.
Kecurigaan bahwa korban tidak murni “ditipu”, dilandasi temuan bahwa kasus turisme seks anak jadi masalah serius negara ini. Pada 2015, Ahmad Sofian selaku Koordinator Nasional End Child Prostitution, Child Pornography and Trafficking of Children for Sexual Purposes (ECPAT) Indonesia, melaporkan bila Indonesia menjadi destinasi wisata seks anak kedua di Asia setelah Thailand.
“Indonesia itu ternyata termasuk 10 negara menjadi destinasi pariwisata seks. Indonesia peringkat 4. Kalau di Asia, Indonesia peringkat 2 sesudah Thailand. Ini data yang diterbitkan sebuah majalah yang bisa dipertanggungjawabkan,” kata Sofian dilansir Detik.
“Indonesia menjadi tujuan utama pedofil setelah sebelumnya Thailand karena sekarang sistem hukum di sana lebih ketat. KPAI kita juga akui penegakkan hukum di Indonesia sangat lemah. UU tidak memberi perlindungan tapi lebih mengkriminalkan sindikat itu yang kena sanksi pidana.”
Mengutip laporan Lisa Moore dari The Asian Post, tercatat ada 100 ribu anak dan perempuan yang diperdagangkan setiap tahun di Indonesia. Eksploitasi seksual, prostitusi anak, dan buruh anak jadi alasan di balik angka kelewat besar itu.
“The Women’s Institute, di Jawa Barat, melaporkan bahwa 43,5 persen korban perdagangan berusia 14 tahun. Tambahan 40-70 ribu anak yang enggak diperdagangkan jadi korban eksploitasi seksual. Para pedofil, biasanya dari australia, masuk ke Bali dengan metode berpura-pura mengadopsi anak-anak dari keluarga miskin,” tulis Lisa.
Banyak alasan kenapa kasus eksploitasi seksual anak meningkat beberapa tahun terakhir. Digitalisasi perdagangan anak lewat Facebook dan Grinder, jurang kemiskinan, dan sempitnya lapangan kerja adalah salah tiganya. Tapi, menurut Lisa, pemerintah menyimpan masalah yang sama besarnya. Undang-Undang Perlindungan Anak dinilai lemah dalam pelaksanaan.
Pemerintah, lewat Kementerian Pariwisata, coba merilis Peraturan Menteri tahun 2017 tentang Pedoman Pencegahan Eksploitasi Anak di Lingkungan Pariwisata untuk melawan. Namun, data terbaru tetap belum terlihat membaik.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA) melaporkan dua ribu anak Indonesia jadi korban kekerasan seksual sepanjang kurun 1 Januari hingga 26 Juni 2020. Mereka jadi korban buruh anak, prostitusi anak, pornografi anak, pariwisata seks anak, dan eksploitasi seksual online.
“Sejumlah 1.962 anak di antaranya menjadi korban kekerasan seksual, 50 anak menjadi korban eksploitasi, dan 61 anak menjadi korban trafficking. Angka ini menunjukkan bahwa kekerasan, eksploitasi, dan trafficking rentan mengancam anak khususnya di situasi bencana,” ujar Asisten Deputi Bidang Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi Valentina Gintings, dilansir Suara.
ECPAT juga pernah membuat penelitian bersama Kemen-PPA pada 2017 di 10 destinasi wisata: Pulau Seribu, Jakarta Barat, Garut, Gunungkidul, Lombok, Karangasem, Kefamenahu, Toba Samosir, Teluk Dalam, dan Bukittinggi. Dari 10 tempat itu, hanya Gunungkidul yang tidak ditemukan kasus eksploitasi seksual anak. Sebab, hanya daerah ini yang punya aturan pencegahan cukup baik.
“Di sana ada pusat rehabilitasi, organisasi masyarakt sipil yang responsif, pemerintah daerah sudah mulai melakukan upaya pencegahan. Tapi, sembilan lainnya belum,” kata Sofyan seperti dikutip Kompas.
Sisanya parah sekali, khususnya di Jakarta Barat, Garut, Lombok, dan Teluk Dalam. Di tempat yang dicap zona merah oleh ECPAT itu, ditemukan kasus perdagangan seks anak, pornografi online anak, dan pelacuran anak.
“Contoh di Garut, tim kami malam ditawarkan, Mau anak SD, SMP, atau SMA. Itu yang menawarkan orang setempat. Apakah suruhan hotel atau inisiatif. Jadi (awalnya) niatnya wisata tapi ditawari anak-anak untuk kebutuhan seks, sehingga wisatawan tadi terpengaruh,” kata Sofyan.
Kasus Francois seharusnya bisa jadi momen penting bagi aparat hukum menyelidiki label Indonesia sebagai negara tujuan para pedofil.
Hilangnya kabar investigasi setelah Francois bunuh diri wajib membuat siapapun terus mengajukan pertanyaan ini: apakah 305 anak korban kekerasan seksual itu semuanya benar-benar terperdaya, atau hanya puncak dari gunung es perdagangan anak sistematis di Tanah Air?