*Ini artikel lama ketika kurs anjlok pada 2018. Tapi alur berpikir memahami efek pelemahan kurs yang terjadi pada 19 Maret 2020, ketika Rupiah nyaris menyentuh Rp16.000/US$, masih sama. Bedanya kali ini pemicu utama adalah gejolak di pasar uang, karena investor melihat dampak pandemi Virus Corona terhadap perekonomian nasional akan sulit dimitigasi pemerintah Indonesia dalam jangka pendek.
Bagi kalian yang berumur di bawah 30 tahun, kayaknya jarang ya membahas soal ekonomi waktu lagi nongkrong bareng teman atau saat sedang kencan. Yah, kita akui saja topik ini terlalu berat buat ngobrol-ngobrol santai. Namun, kita semua perlu tahu kalau kondisi perekonomian yang tidak stabil bisa memengaruhi mental seseorang. Di Indonesia, banyak orang beberapa panik ketika nilai tukar Rupiah terus merosot.
Videos by VICE
Isu perekonomian sering dimanfaatkan sebagai bahan kampanye para politikus. Setelah nilai tukar rupiah dilaporkan tembus Rp16.000 terhadap dolar pada 19 Maret 2020, media sosial bergolak. Rupiah berada pada titik terlemahnya sejak krisis ekonomi 1997. Pada masa itu, berbagai perusahaan bangkrut, rumah-rumah dibakar, dan Order Baru runtuh. Publik Indonesia takut hal tersebut terulang kembali. Bahkan buzzer oposisi sudah menuding pemerintahan Presiden Joko Widodo gagal mengelola ekonomi.
Pertanyaannya, perlukah kita semua panik? Apakah kondisi ekonomi saat ini secara realitas seburuk jelang era reformasi? Bagaimana anak muda harus bersikap? Aduh, kawin aja belum sempat, sama enggak jadi diangkat karyawan tetap, masa mau krisis lagi?
Rileks dulu.
VICE menghubungi ekonom untuk memperoleh analisis yang sebisa mungkin akurat untuk menggambarkan perkembangan kurs Rupiah terhadap Dollar Amerika. Jawabannya tidak sederhana, tapi semoga membantu kalian bisa memahami situasi lebih jernih dan enggak langsung ikutan panik tanpa tahu sebabnya.
Saat krismon, satu dolar Amerika setara Rp18.000. Jadi, ini bukan pertama kalinya kurs rupiah tembus di atas Rp15.000—meskipun konteks sosioekonomi Indonesia sekarang jelas jauh berbeda dibanding kondisi menjelang Reformasi. Penyebabnya memang sama, tetapi kondisi ekonomi Indonesia saat ini dan kemampuannya untuk bangkit lagi berbeda dari dulu.
Itulah pemaparan dari Firmanzah, Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia sekaligus Mantan Penasehat Ekonomi Presiden Republik Indonesia. Artinya, pemerintah sebetulnya sudah melakukan pekerjaan yang bagus untuk menjaga stabilitas nilai tukar. Hanya saja, ada tapinya.
Perang dagang yang diprakarsai oleh Amerika Serikat meningkatkan suku bunga dan pajak dua tahun lalu memengaruhi perekonomian negara berkembang. Akibatnya, investor asing ragu menempatkan modal di Indonesia. “Ekonomi global saling berkaitan, sehingga negara-negara seperti Indonesia terkena dampaknya juga,” kata Firmanzah. Berhubung Indonesia mengalami defisit perdagangan yang cukup besar selama beberapa tahun terakhir, maka Rupiah akan semakin melemah.
Selain itu, kita harus ingat konteks gejolak yang relatif serupa antara 2018-2020 dan kekacauan 1997-1998. Bhima Yudhistira Adinegara, ahli ekonomi di Institute for Development and Finance (INDEF) Indonesia, menjelaskan kepada VICE perbedaan kondisi ekonomi di Indonesia saat ini dengan yang dulu.
“Persamaannya adalah bahwa krisis 98 bermulai dari negara berkembang, seperti Thailand dan Indonesia. Sekarang juga sama, krisisnya dimulai dari Argentina, Afrika Selatan, Turki, Venezuela.”
Meskipun krisis ekonomi tidak bermula di Indonesia, Bhima tetap memperingatkan bahwa utang negara ke luar negeri bisa menyebabkan krismon. “Krisis 98 terjadi karena utang luar negeri swasta terlalu liar akibat spekulasi. Pada 2018, giliran utang luar negeri dari Turki dan Argentina menjadi pemicu krisis domestik mereka.”
Pelemahan Rupiah Bukan Hal Mengejutkan dan Lebih Bersifat Psikologis
Nilai tukar rupiah rutin mengalami devaluasi sejak lima tahun terakhir. Rupiah bahkan sempat tembus Rp14.800 per US$ pada 2015, tapi tak berapa lama menguat lagi sampai Rp13.000 beberapa bulan kemudian.
Biarpun nilai Rupiah terus merosot beberapa tahun terakhir, ekonom melihat belum ada bukti nyata angkatan kerja saat ini akan menghasilkan lebih sedikit dibanding orang tua mereka akibat pelemahan kurs. Merujuk data Badan Pusat Statistik, upah minimum pekerja lajang di DKI Jakarta pada 1998 adalah Rp198.500. Sementara untuk 2020, UMP DKI Jakarta menjadi Rp4,26 juta. Meski, harus diingat, kenaikan penghasilan juga tak terlalu signifikan jika dihitung dengan rerata inflasi selama 20 tahun terakhir. “Secara nominal, memang gaji sekarang lebih besar. Tapi itu nominal, bukan angka riil, kata Firmanzah.
Tonton dokumenter VICE mengenai kepanikan gara-gara kebijakan uang baru di India:
Kalau sebagian besar angkatan kerja Indonesia tidak akan terlalu mengalami dampak negatif melemahnya kurs, lalu kenapa banyak pihak menganggap nilai tukar mendekati Rp16.000 tidak wajar?
Bagi Firmanzah, kekhawatiran melihat kondisi ekonomi Indonesia saat ini adalah hal yang wajar. Akan tetapi, sumber kekhawatiran ketika dolar tembus di atas Rp15.000 lebih bersifat psikologis. “Rp15.000 [per US$] itu angka psikologis,” katanya. “OJK pernah menulis tentang apakah Indonesia bisa tahan kalau Rupiah menembus Rp15.000 per US$. Lalu angka itu lah yang akhirnya jadi [patokan].”
Intinya, situasi tidak seburuk itu kok biarpun Rupiah menginjak nyaris Rp16.000 per US$. Namun Firmanzah memperingatkan pentingnya bersikap kritis dan merespon terhadap kemerosotan nilai tukar secepatnya. “Kalo soal imun terhadap krismon? Ya enggak juga. Sangat penting bagi pemerintah untuk menenangkan masyarakat, OJK, dan pasar,” ujarnya. Firmanzah menambahkan bahwa kegagalan pemerintah dan bank sentral merespons gejolak secara tepat akan menghasilkan masalah yang lebih besar.
Tak bisa dipungkiri kondisi ekonomi Indonesia memang tidak sedang dalam kondisi prima. Namun, Firmanzah yakin bahwa kekacauan akibat Krismon tak akan terjadi. “Tahun 1998 itu kan juga parah karena krisis politik zaman Orde Baru. Tidak ada demokrasi, jadi suasana memang tegang,” kata Firmanzah kepada VICE. Kini, dengan bantuan institusi ekonomi otonom seperti OJK, dampak penurunan nilai rupiah tidak akan seburuk dua dekade silam.
Rupiah Pada Akhirnya Akan Baik-Baik Saja
Firmanzah merekomendasikan kita untuk melihat ‘titik bahaya’ Rupiah sebenarnya sebagai kurs, karena mungkin angkanya bukan Rp15.000/US$. Data dari Bank Indonesia (BI) menunjukkan Rp47.241/USD adalah tolak ukur yang lebih realistis jika kita hendak mengatakan Indonesia kembali mengalami krisis moneter.
Bhima turut menegaskan kalau Bank Indonesia saat ini sudah jauh lebih mampu dalam menstabilkan nilai tukar rupiah dibanding 20 tahun lalu. “Pada 1998 cadangan devisa kita hanya US$23 miliar. Bandingkan dengan data terakhir Juli 2018 kita sekarang mempunyai cadangan devisa sebesar US$118 miliar. Itu artinya kemampuan BI untuk menstabilkan nilai tukar rupiah pada saat ini sangat jauh lebih baik dibanding dengan tahun 1998.”
Meskipun begitu, dia mengakui kalau melemahnya nilai tukar rupiah tetap memengaruhi kehidupan sehari-hari rakyat. Bahkan bisa jauh lebih buruk dari 1998.
“Makanya di tahun 98 ada istilah ‘UMKM bisa menyelamatkan ekonomi Indonesia.’ Nah, di tahun 2018 kalau kita sampai terjadi krisis ini ada yang parah juga. Krisis bisa cepat menyebar dari jasa keuangan kepada UMKM. Kenapa? Karena pada waktu 98 ketika harga BBM naik, banyak UMKM masih memakai kayu bakar. Artinya masih ada energi alternatif.”
Menurut Bhima, ketergantungan orang Indonesia terhadap tabung LPG bisa memperburuk kondisi perekonomian. “Nah, sekarang, dengan porsi UMKM yang cukup besar dan ketergantungan kepada pemerintah, khususnya subsidi LPG per kilogram, kalau itu sampai harganya naik tidak ada alternatif lain buat pemerintah selain menaikkan harga jual. Dan kalau harga jual ikut naik ketika daya beli merosot. Itu artinya situasi sosial akan semakin kompleks dibandingkan 1998. Kalau soal krisis keuangan, jangan sampai terjadi karena bisa lebih parah akibat bisa sampai level masyarakat rumah tangga paling bawah kena dampak langsung.”
Selain naiknya harga BBM, kita juga harus mengkhawatirkan harga barang-barang elektronik dan pangan jika krismon ‘98 terulang kembali.
“Mulai dari HP, barang-barang elektronik dan seterusnya semua juga impor. Kemudian yang kedua soal pangan,” kata Bhima. “Sekarang kita ketagihan makan roti gandum, akibatnya kita impor gandum sebanyak 11 juta ton dari luar, dan beras sebesar 2 juta ton. Kalau sampai krisis hanya soal waktu doang sampai dampaknya mencapai masyarakat.”
Indonesia tengah berada di periode transisi perekonomian dan nilai Rupiah akan mencapai titik terendahnya akhir tahun ini. Selanjutnya sangat mungkin nilai tukar menguat kembali. Tapi pemerintah tidak boleh lengah, menurut Firmanzah. Asal bank sentral dan Kementerian Keuangan senantiasa waspada, risiko terburuk seharusnya tidak akan terjadi.
“Ya seperti sakit flu. Awalnya hanya pusing pusing, enggak enak badan. Tapi juga kan, orang bisa mati dari flu.”