Ekonomi dan generasi millennial rasanya tidak pernah akur. Di berbagai negara, anak muda punya kesamaan nasib: kesulitan mengikuti harga sewa tempat tinggal yang senantiasa meroket. Kontrak kerja tidak stabil seperti ortu kita dulu, nilai penghasilan belum tentu lebih bagus setelah inflasi, dan bagi anak muda di Indonesia trauma sayup-sayup soal krisis ekonomi masih tidak mau pergi.
Layanan kesehatan dan infrastruktur tentu saja sedikit membaik. Namun, bagaimanapun secara ekonomi, negara kita masih jauh dari kata aman. Buktinya segera terlihat dari kondisi pasar keuangan kita sesudah Turki mengalami gejolak perekonomian.
Videos by VICE
Sejak awal pekan ini, nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS melemah hingga tembus angka Rp15.000/US$. Itu titik rendah yang terakhir kali terjadi pada 1998. Ini jelas berita buruk mengingat kebanyakan dari kita sudah tidak mampu membeli tempat tinggal yang setara dengan yang dibeli orang tua kita pada umur yang sama.
Maka dari itu, VICE bertanya ke beberapa generasi muda Indonesia tentang opini mereka seputar masa depan ekonomi negara, dan bagaimana titik rendah nilai Rupiah ini akan mempengaruhi mereka.
Profil mereka berbeda-beda. Ada yang pekerja kantoran, ada yang berbisnis. Berikut pendapat mereka yang ternyata relatif masih santai, optimis, tapi tentu terbersit kekhawatiran di sana-sini soal melemahnya mata uang negara kita.
Trian, 28 tahun, Pekerja Swasta
VICE: Halo Trian, elo ngikutin pelemahan Rupiah ga? Apakah elo merasa kondisi pasar uang akan bikin hidup sehari-hari jadi lebih berat?
Trian: Gue enggak terlalu tau banyak soal valas, sih. Tapi untuk sekarang enggak terlalu cemas, karena mungkin masih belum berdampak sama kebutuhan sehari hari gue, kayak uang makan dan transport. It’s business as usual. Tapi gue juga pernah baca tentang krisis di Venezuela dan Turki. Nah, itu mirip Krismon ‘97 dan agak menakutkan buat gue.
Apa sih ukuran yang elo pakai buat menyebut pelemahan Rupiah mulai mengkhawatirkan?
Sebenernya, gue juga enggak ngerasain ada bedanya sih waktu Rupiah ‘stabil’. Sekarang juga gue liat orang masih suka beli merch dari luar, kayak Joy Division atau Title fight. Jadi gue rasa masih normal. Tapi ya kalau terus melemah, pasti khawatir juga. Kekhawatiran gue ini sebenernya lebih ke dampak sosial dan politiknya. Pastinya kita enggak mau masa lalu terulang. Misalnya, Venezuela dan Turki juga gara-gara isu politik akhirnya kayak Krismon ‘98. Gue harap nggak ada yang manfaatin situasi sekarang untuk kepentingan politik. Tapi itu susah dibendung, dan gue takut.
Masih ingat momen krismon dulu? Apa yang membuatmu masih optimis melihat kondisi pasar keuangan sekarang?
Menurut gue, kita enggak bakalan kayak Krismon ‘98 sih. Gue waktu itu masih kecil sih, jadi enggak inget banyak. Tapi yang gue tau 1998 itu efek domino Thailand, dan pengaruh George Soros. Sekarang beda. Gue cuma akan mulai ragu sama pemerintah kalau misalnya premi BPJS, cicilan KPR atau pajak yang gue bayar bulanan naik.
Ellen Soo, 26 Tahun, Wirausaha
VICE: Halo Ellen. Rupiah sekarang tembus Rp15 ribu/Dollar, kata ekonom belum ada tanda-tanda menguat lagi sebelum akhir tahun. Gimana kondisi bisnis dan pengeluaran pribadimu sejauh ini?
Ellen: Gue biasa aja sih! Hidup gue kayaknya normal aja sejauh ini. Kemaren pas denger naik cuma ada penyesalan ‘ Eh, harusnya gue nukerin dolar yah!’, hehe. Perasaan takut tentang masa depan gue? Ya enggak lah! Enggak mungkin pemerintah biarin Rupiah melemah terus gitu aja.
Kamu masih yakin sama kebijakan pemerintah dan pelemahan tidak kebablasan pada perekonomian sehari-hari?
Kita kan negara yang lumayan berkembang cepat secara ekonomi. Terus menteri keuangan kita pinter gitu lho. Aku sih merasa enggak akan kejadian Krismon 1997-1998 terulang. Gue pede, karena sejauh ini makroekonomi kita baik baik aja. Indaktornya sederhana, harga beras masih normal kan?
Apa perbedaan yang terasa buatmu sebelum dan sesudah Rupiah melemah hingga level Rp15 ribu/Dollar?
Sebelum turun juga enggak banyak bedanya. Mungkin, cuma buat mereka-mereka yang suka liburan ke luar negeri sekarang jadi pusing sendiri. Gue sih jujur enggak ngerasain. Bisnis gue masih lancar, harga servis belum naik. Mungkin kalau komoditas mulai naik, baru deh gue grogi. Tapi itu juga tergantung, kalau harga naik, ya jualan gue dinaikin juga. Gue emang bisnis, tapi kalau dilihat dari temen-temen yang kerja kantoran sejauh ini kayaknya mereka enggak terpegaruh. Santai aja sih.
Audityo Pramudya, 26, Bisnis Ekspor-Impor
VICE: Halo Dityo. Elo bergerak di sektor keuangan sekaligus ekspor-impor. Apa yang paling mengkhawatirkan buat elo setelah Rupiah melemah?
Audityo: Jujur, gue ngeri dengan depresiasi aset. Bisnis impor-ekspor gue kena imbas dari naiknya nilai dolar dan modal bisnis naik gila-gilaan. Kekhawatiran utama gue sekarang adalah gimana caranya me-manage aset dengan baik agar tidak terkena dampak depresiasi.
Artinya elo khawatir tapi lebih ke hal teknis di bisnis, bukan ekonomi Indonesia secara umum. Menurut elo, kenapa banyak yang panik Rupiah sekarang Rp15 ribu/dollar?
Sebagai seseorang yang bekerja di sektor finansial, gue rasa orang takut dengan angka Rp15.000 karena mengingatkan mereka dengan krisis moneter ketika dolar sedang kuat-kuatnya. Orang juga jelas khawatir dengan inflasi. Rasa takut ini tidak bisa dihindari, tapi kita enggak usah melebih-lebihkan isu ini.
Sebagai anak muda yang merasa paham isu keuangan, apa saran yang bakal elo berikan ke anak muda lain merespons pelemahan Rupiah?
Kalau gue boleh kasih saran ke sesama millenial, coba berhenti OVERSPENDING uang kalian. Millennial cenderung menjalani gaya hidup yang glamor di atas kemampuan finansial mereka dan tidak menabung. Kita harus mengelola aset dengan baik, mengurangi pengeluaran tidak perlu yang konsumtif doang, apalagi kalau caranya kredit. Ini adalah waktu yang pas untuk mulai menabung dan merencanakan masa depan.
Bintang Putra, 29, Arsitek
VICE: Halo Bintang. Sebagai pekerja lepas yang pemasukannya per proyek, elo khawatir enggak sama pelemahan Rupiah yang tembus 15.000?
Bintang: Gue merasa khawatir sih. Khawatir banget. Kita sudah berada di kondisi yang sulit, udah banyak tuntutan seperti harus beli rumah, resepsi pernikahan, terus cicilan ini-dan-itu untuk mendapat hidup yang “layak” seperti generasi di atas kita. Ditambah lagi kalau dolar naik dan rupiah anjlok, itu semua pasti akan merembet ke komunitas lain. Akibatnya yang tadi sudah sulit bakal makin sulit lagi hidupnya.
Menurut elo, apa sih yang paling menakutkan bila pelemahan kurs terus terjadi?
Yang paling mengkhawatirkan itu adalah kalau Rupiah anjlok dan Dolar naik, itu akan mempengaruhi harga barang dan komoditas dasar. Lama-lama akan dimulai dengan kenaikan harga BBM oleh pemerintah, dan kalau harga BBM naik yang lain juga pasti ikut. Yang belum tentu naik itu gaji, atau kalaupun naik paling belakangan pas semua sudah terlambat.
Oke. Jadi elo termasuk yang agak panik. Nah, apa rencana elo ke depan kalau Rupiah enggak menunjukkan tanda-tanda menguat?
Jujur sih, kalau soal pemerintah gue sudah ragu tanpa ada penurunan nilai rupiah. Masalah ini hanya memperburuk kepercayaan saja sama mereka karena sebelumnya sudah ragu. Kalau sampai lewat 15,000 gue mungkin mulai mikir cara membuat kegiatan-kegiatan berprofit lebih kencang, karena sudah pasti waktu buat pekerjaan non-profit juga berkurang.
Trivet Sembel, 23, Pengelola Startup Media
VICE: Hai Trivet. Pelemahan Rupiah beberapa hari ini sudah ngefek belum ke pekerjaan elo?
Trivet: Dari sisi orang media yang bekerja dengan pihak internasional gue merasa terbebani sih. Event-event kita setelah ini banyak melibatkan orang-orang asing, jadi budget-nya membengkak drastis dan bisa terus berubah. Kerasa banget impact-nya.
Elo sampai parno enggak sih isu kurs ini bisa berujung krisis moneter lagi?
Kalau sampai kerusuhan enggak sih. Tahun 1998 Indonesia rusuh karena spekulasi valasnya tinggi banget, dari Rp3.000/US$ langsung jadi 15.000/US$, bahkan lebih. Gue dulu kuliah jurusan sosiologi, di kelas kami belajar kalau orang tuh cenderung lebih susah menerima perubahan drastis. Sekarang udah sampai Rp15.000 lagi, tapi belum ada yang kerusuhan ala 1998. Artinya lebih siap masyarakatnya sekarang.
Menurut gue, kalau kurs naik sampai Rp20,000/US$, baru bahaya. Buat diaspora Indonesia yang di luar, gue juga kebayangnya beban makin berat. Gue kuliah di luar negeri. Dulu Rupiah anjlok aja langsung ada pengaruhnya di gue. Gue dulu mikir “Anjrit, harus cepet selesai dan kerja, kalau enggak mubazir.”
Tapi elo sendiri masih percaya sama kebijakan pemerintah dan bank sentral buat mengatasi pelemahan Rupiah?
Kalau menurut gue, dari dulu orang cenderung selalu ragu sama pemerintah. Gue sekarang sebagai pekerja di bisnis media cuma bisa membantu individu agar sadar soal isu ini dan mendorong negara maksimal menjalankan perannya.