Manusia tampaknya punya obsesi mengulik fantasi ekstrem berikut: bagaimana kalau kita jadi mahluk yang kalah dominan dibanding binatang?
Pada 2015, film produksi Hungaria White God tayang. Film tersebut menggambarkan alegori modern penindasan kelas melalui cerita tentang umat manusia yang diperbudak anjing. Dalam film tersebut tampil 250 anjing jalanan semi-terlatih dalam satu frame sekaligus. Ini merupakan penggunaan sumber daya yang luar biasa, dan kisah behind-the-scene film ini berhasil mewujudkan visi narasi sutradara Kornel Mundruczo.
Videos by VICE
Sayangnya, tidak banyak film sinema fokus pada dominasi binatang lainnya atas manusia bernasib sama. Dirilis ulang pada 2015 di bawah rumah produksi Drafthouse Films, film Roar (1981) merupakan kegilaan lain yang akan membuatmu merasa sedang menggunakan substansi ketika menontonnya.
Ide film Roar dicetuskan oleh pasangan yang ajaib: aktris The Birds, Tippi Hedren dan suaminya, talent manager dan producer The Exorcist, Noel Marshall. Noel memiliki visi untuk film direktorial debut yang edan dan melibatkan lebih dari 100 ekor singa, macan, puma, seekor cheetah dan dua gajah liar.
Kabarnya, pada 1969, ketika Marshall mengunjungi Hedren ketika dia sedang syuting Satan’s Harvest di Afrika, mereka sempat jalan-jalan ke pusat pelestarian margasatwa safari setempat. Dalam sebuah tur di Mozambik, mereka menyaksikan sesuatu yang mencengangkan: bekas rumah sipir yang sudah tidak digunakan diambil alih oleh gerombolan singa dan dijadikan kandang mereka. Pasangan tersebut terinspirasi oleh pemandangan ini dan menjadikannya ide dasar untuk film mereka nanti.
Mereka menulis sebuah drama aktivis tentang binatang yang kehilangan habitat alami, dengan lokasi syuting di California, tepatnya di peternakan seluas 64 km milik mereka di utara Los Angeles. Naskahnya menceritakan seorang ahli preservasi margasatwa (diperankan dirinya sendiri) yang hidup di tengah-tengah singa dan mengkhawatirkan nasib mereka di tengah maraknya pemburu gelap dan pemerintah yang tidak peduli. Marshall berencana untuk menyutradarai film tersebut, sedangkan Hedren dan anak-anak mereka—Melanie Griffith muda, Jerry Marshall, dan John Marshall—juga berperan sebagai anggota keluarga dari sang ahli preservasi.
Awalnya direncanakan akan memakan biaya produksi $3 juta dan enam bulan waktu, film ini akhirnya melahap waktu 5 tahun dan biaya $17 juta (sebagian besar didanai sendiri oleh Hedren dan Marshall). Di tengah pengerjaan, mereka menyadari bahwa menjadikan singa sebagai co-star film tidaklah mudah. Marshall dan krunya tidak punya pilihan selain merekam adegan-adegan dalam gaya dokumenter, menggunakan delapan kamera Panavision 35mm. Beberapa adegan tertentu, seperti ketika Marshall menyetir sebuah jip dengan dua ekor singa di jok belakang, membutuhkan latihan selama berminggu-minggu.
Kita pun wajib mengingat fakta bahwa binatang-binatang liar ini terus menyerang para aktor dan kru. Akibatnya tim produksi kesulitan merekam adegan. Lebih dari 70 kali penyerangan terjadi: de Bont dikuliti seekor singa dan harus dioperasi 120 jahitan. Noel Marshall digigit berkali-kali, kadang di depan kamera, dan sempat dilarikan ke RS akibat gangren. Kaki Hedren retak dalam pengambilan adegan dengan Timbo si gajah.
Aktris ini nantinya menyadari kalau kakinya juga terjangkit gangren—ironisnya terjadi ketika dia mengunjungi Jerry di RS. Masih banyak lagi deh. Sebuah cedera mengerikan bahkan menimpa Melanie Griffith dan disaksikan di depan kamera dalam sebuah adegan di mana dia berada dalam genggaman seekor singa (dia harus menjalani operasi rekonstruksi wajah sebagai akibatnya).
Insiden macam ini membuat film berada dalam kategori yang membingungkan: beberapa cast dan kru terang-terangan bercerita tentang kesulitan dalam pengerjaan film, sementara yang lain, termasuk Griffith, sama sekali tidak mau diasosiasikan dengan film ini. Dalam proses syuting, akibat keterlibatan Noel, kabarnya mereka telah dijatuhi “kutukan The Exorcist”—hal-hal buruk yang menimpa semua orang yang terlibat dalam produksi. Ya enggak salah juga sih. Buktinya banjir dan penyakit menyerang set Roar, singa-singa terbunuh atau lepas, peralatan hancur, dan terjadi penundaan syuting selama delapan minggu.
Distribusi film baru terjadi setengah dekade kemudian. Roar dirilis pada 1981 dan menghasilkan pendapatan box-office yang tidak seberapa: US$2 juta. Tentu saja penjualan tiket yang jeblok ini tidak mengejutkan. Tanpa cerita latar yang jelas, Roar merupakan sebuah kekacauan skenario penuh tindakan sembrono yang untungnya tetap menarik.
Roar dipasarkan sebagai film dengan genre “komedi ganas.” Label ini nampaknya digunakan untuk menutupi drama serius yang gagal dibuat Marshall. Jelas sekali terlihat di setiap adegan bahwa anggota cast berusaha untuk bersikap santai ketika membaca dialog dengan kaku, karena kegilaan bisa terjadi setiap saat—membuat penonton merasa was-was akan keselamatan mereka.
Misalnya saja Togar, seekor singa yang mengamuk dan menyerang satu anggota tubuh manusia, minimal. Saksikan bagaimana Noel Marshall berusaha bersikap sok cuek, seakan Togar itu cuman tamu pesta yang lagi agak mabuk.
Mungkin kalian sudah pernah mendengar tentang kehidupan nyentrik keluarga Marshall dan Hedren di tahun 1970an. Sebuah seri foto luar biasa dari Life Magazine menampilkan Melanie Griffith dan keluarganya sedang nongkrong di rumahnya di Beverly Hills bersama Neil, seekor singa dewasa yang mereka pelihara. Nantinya, mereka membeli tujuh ekor lagi singa untuk hidup bersama di rumah mereka sampai akhirnya tetangga komplain tentang suara, bau, dan keselamatan mereka tinggal bersama delapan ekor singa.
Pendek kata, Roar terasa seperti film tentang keluarga “sakit” dengan motivasi tulus sineasnya—entah apakah setiap anggota setuju atau tidak. Mereka sepakat menderita demi menghasilkan sebuah karya sinema. Motivasi ekstrem tersebut benar-benar berhasil diwujudkan. The Roar Foundation, organisasi non-profit dicetuskan oleh Hedren, sukses membuka Shambala Preserve, sebuah pusat perlindungan singa.
Sebenarnya kalau bicara filmnya sendiri, Roar tidak lebih dari sekedar ambisi yang tidak terealisasi secara penuh. Atau bisa juga kita menganggapnya sebagai dokumentasi menarik akan semangat artistik yang coba dinyalakan Marshall dan Hedren. Hasilnya, sebuah film paling ekstrem dan berbahaya sepanjang sejarah sinema modern.
Artikel ini pertama kali tayang di The Creators Project