Inilah Tanda-Tanda Hubungan Percintaanmu Sudah Tidak Sehat

relatie toxica, relatie, toxicitate

Artikel ini pertama kali tayang di i-D Germany

Kita semua tahu apa itu ‘toxic relationship’ alias hubungan tidak sehat. Hampir separuh dari kita bahkan pernah mengalaminya sendiri. Lera Abova salah satunya. Model 25 tahun tersebut menceritakan pengalamannya terlibat relasi percintaan yang kadung merusak kesehatan mental pada i-D.

Videos by VICE

“Saya memang anak yang ‘spesial’. Energi dan emosi saya sulit dikendalikan. Hal paling sepele saja, seperti salah ngomong atau dicuekin, bisa langsung membuat saya benci sesuatu. Orang tua saya maklum dengan kondisi ini dan mereka tahu cara menangani saya. Hanya saja orang yang kita temui saat dewasa biasanya tidak begitu memahami ini. Kenapa juga orang harus memahaminya? Kenapa pula mereka harus maklum dengan perilakumu yang suka menyakiti hati?

Jujur saja, saya orangnya bisa sangat kejam. Kalau hariku sedang buruk, saya akan melampiaskan amarah kepada orang terdekat. Mungkin saya pengin mereka memahami perasaanku saat itu. Saya akan menyebutkan semua diagnosis dari beberapa dokter meskipun sebenarnya enggak penting. Saya cuma mau mereka tahu kenapa saya begini.

Kondisi saya memburuk dalam urusan percintaan. Awalnya hubungan akan bahagia dan baik-baik saja, sampai akhirnya keseriusan menimbulkan dampak negatif. Apabila kalian mengalami masalah kesehatan mental, kalian cenderung tertarik dengan orang yang sama-sama bermasalahnya denganmu. Kalian mungkin juga akan berpikir kalau hal ini terjadi karena mereka satu-satunya orang yang bisa memahamimu.

Lera Abova
Foto oleh Barrett Swegger.


Masalahnya, kedua belah pihak yang terjebak dalam hubungan tidak sehat sama-sama membutuhkan bantuan. Dalam pengalaman saya, kami berdua bersaing siapa yang merasa paling buruk. Saya dulu mengira cinta sejati memang seperti itu. Semakin saya beranjak dewasa, saya baru menyadari kalau yang namanya cinta tidak ada hubungannya sama sekali dengan kekerasan psikis. Saya baru tahu bahwa pasangan tidak punya kewajiban untuk membantu kondisiku. Saya sendiri yang seharusnya menyembuhkan gangguan jiwa ini. Saya menghabiskan tiga tahun menyalahkan semua orang karena masalah mentalku, dan saya berjanji tidak akan mengulangi kesalahan ini.

Saya percaya karma, dan menjadikan ini sebagai cara memerhatikan perilaku diri sendiri dari perspektif orang lain. Semua yang kualami, pernah saya lakukan ke orang lain. Dengan ini, saya jadi menyadari dan memahami kesalahan yang pernah kuperbuat.

Saya memang punya kecenderungan membenci diri sendiri dan dunia ini. Akan tetapi, saya masih tahu caranya mencintai. Saya sadar saya bisa berperilaku buruk, tapi saya tidak suka kalau ada orang yang bilang semuanya hasil imajinasi saya saja. Kalau saya lebay doang. Setiap orang punya alasannya sendiri kenapa perasaan mereka kacau balau.

Lera Abova
Foto oleh Sølve Sundsbø.

Ketidakstabilan emosi saya tidak pernah berdampak buruk pada pekerjaan. Saya merasa beruntung bisa bekerja dengan orang-orang hebat dan kreatif. Cinta dan perasaan-perasaan ekstrem lainnya selalu membuat saya tertarik. Saya tidak akan pernah mau menukar pikiran dengan orang lain, tidak peduli seberapa kacaunya pikiran saya. Kenapa? Karena energi, perasaan, dan kemampuanku untuk mencintai sangat spesial. Dan semua itu milikku seorang.

Orang-orang terbiasa mengandalkan orang lain untuk menyelesaikan masalah mereka. Satu dari delapan orang Amerika mengonsumsi antidepresan, dan jumlahnya hampir dua kali lipat di antara perempuan. Ketika kita sedang stres atau patah hati, dokter akan meresepkan antidepresan atau obat tidur meskipun kita tidak membutuhkannya. Kita mengonsumsinya sampai ketergantungan — seperempat orang yang mengonsumsi antidepresan sudah melakukannya selama 10 tahun atau lebih. Kita akan menelan apa saja yang bisa memperbaiki kejiwaan kita.

Saya pribadi tidak pernah pakai antidepresan. Obat ini mungkin akan menyingkirkan masalahmu, tetapi tidak akan bisa menciptakan keselarasan tubuh dan pikiran. Semakin banyak dokter yang kamu datangi, semakin buruk saja diagnosisnya.

Belajarlah mengendalikan perkataanmu saat terkena serangan panik atau sedang marah. Kedengarannya memang sulit dilakukan, tapi kamu harus ingat kalau kamu tidak bisa menarik kembali ucapan yang menyakiti orang terkasih. Jangan biarkan emosimu menyakiti orang lain.”

@leraabova