Saatnya kita bergerak. Selama satu hari didedikasikan khusus membahas problem lingkungan di Bumi, semua situs VICE Media Group mempublikasikan seri “CLIMATE UPRISE”: berbagai cerita tentang bencana iklim dan cara mengatasinya. Klik di sini bila kalian ingin mengenal anak muda lain yang fokus melawan perubahan iklim di berbagai negara. Bersama-sama, kita bisa menghindari berakhirnya peradaban yang datang terlalu cepat.
Anak muda di bawah 30 tahun merupakan kelompok paling terdampak perubahan iklim. Laporan ahli dari Harvard University Dr. Renne N. Salas yang dimuat jurnal medis The Lancet, menyatakan manusia di masa depan berpotensi lebih rentan kena penyakit menular, menghirup udara buruk, suhu panas, dan malnutrisi apabila gagal menekan kenaikan suhu global.
Videos by VICE
Masalahnya, para perusak lingkungan dari generasi lebih tua kemungkinan besar enggak akan merasakan keadaan dunia memburuk akibat ulahnya selama ini.
Beberapa tahun terakhir, dampaknya udah terlihat jelas di depan mata. Polusi udara udah membunuh tujuh juta orang pada 2016 saja. DKI Jakarta, salah satu kota berpenduduk terpadat di dunia, konsisten bersaing dengan kota lain sebagai yang terburuk kualitas udaranya. Kenaikan suhu global turut memicu kebakaran hutan dari India sampai Amerika Serikat.
Di sisi lain plastik, komponen yang paling sukses mencemari lautan dan daratan, kini juga ditemukan mengotori udara. Di Amerika Serikat, peneliti menemukan seribu ton fragmen kecil plastik di udara, setara 300 juta botol plastik. Penemuan serupa ditemukan di Eropa, Tiongkok, dan Arktik. Bahkan, ditemukan juga partikel plastik di wilayah paling terisolasi di AS. Berenang ketemu plastik, joging menghirup plastik, liburan ke wilayah terpencil tetap ketemunya plastik!
Berita baiknya, kepedulian manusia akan pentingnya menyelamatkan alam mulai tumbuh signifikan. Meski terlambat, berbagai negara mulai melarang penggunaan plastik sekali pakai. Anak muda, khususnya Generasi Z (Gen Z), jadi kelompok yang paling banyak mengambil sikap, demi menekan laju perubahan iklim.
Pada 2019, McKinsey melaporkan hasil survey yang menjelaskan 54 persen Gen Z di Jepang cenderung membeli baju yang diproduksi dengan metode ramah lingkungan. Di Tiongkok, 60 persen Gen Z dan Milenial mengaku sedang mencoba mengurangi kebiasaan makan yang ngasih dampak buruk ke lingkungan. Sementara, 80 persen Gen Z berpikir para brand yang merusak lingkungan harus mempertanggungjawabkan kelakuan buruknya tersebut.
VICE berinisiatif merilis kompilasi inovasi praktis ramah lingkungan yang dihadirkan anak muda Benua Asia. Mereka ogah berpangku tangan, lalu memilih jalan inovasi serta sains untuk membuat berbagai solusi nyata, sesederhana apapun, agar kita bisa membendung dampak negatif gaya hidup modern yang ternyata merusak lingkungan.
Tinta Berbahan Polusi
Melihat dinding menghitam akibat polusi udara dari sebuah generator diesel saat sedang pulang ke India, Mahasiswa Massachusetts Institute of Technology (MIT) Anirud Sharma kepikiran ide brilian. Kalau limbah asap bisa ngotorin dinding, berarti bisa juga dong dipergunakan untuk “ngotorin” kertas? Anirud, kala itu baru berusia 27 tahun, bikin gerakan kolektif Graviky Labs bersama kawannya di MIT. Pulang ke India, doi mengembangkan tinta alat tulis dari polusi udara.
Air Ink, nama produk tersebut, dikembangkan dengan mekanisme mengesankan. Polusi udara ditangkap oleh KAALINK, alat ciptaan mereka untuk menangkap karbon dalam asap. Lalu, tangkapan diproses lagi agar zat selain karbon terlepas, menjadikannya karbon murni. Hasil pemroses kemudian diproses lagi menjadi berbagai tipe tinta.
Pada 2015, para pendiri Air Ink membangun laboratorium percobaan di Bombay. Dua tahun berselang, mereka memutuskan mengumpulkan dana kolektif lewat situs Kickstarter. Tak disangka, terkumpul patungan US$41 ribu, setara Rp600 juta.
Dana tersebut dipergunakan Air Ink untuk produksi massal. Lalu, datang tawaran dari perusahaan bir Tiger Beer, satu keluarga dengan Heineken, untuk bikin kampanye mural oleh seniman berbagai negara memakai tinta polusi itu.
Kampanye diikuti seniman dari London sampai Singapura. Banjir pujian, Air Ink mendapatkan perhatian dunia. Selain tinta untuk melukis, Air Ink bisa dipakai mencetak di atas kertas, plastik, koran, dan kaos. Harapan masa depan: Anirud dan kolega berniat menggantikan industri tinta dan percetakan yang masih menggunakan pembakaran bahan bakar fosil.
Aplikasi Air Minum Isu Ulang Gratis
Di seluruh dunia, sejuta botol plastik dibeli manusia setiap menit. Dengan alasan kepraktisan, masifnya pembelian botol minum plastik oleh manusia berujung masalah lingkungan. Jumlah pembelian dan produksi terlalu banyak sehingga usaha mendaur ulang yang digaungkan baru mampu menjaring setengahnya saja. Dari setengah itu, malah hanya tujuh persen yang diubah jadi botol baru. Sisanya? berujung di tempat pembuangan sampah dan laut.
Jepang, sebagai negara penghasil bungkus plastik terbesar kedua setelah Amerika Serikat, punya masalah dalam proses daur ulang botol plastik. Artinya, solusi untuk menekan laju pembelian botol plastik jadi krusial. Robin Lewis, pemuda 31 tahun asal London yang tinggal di Jepang sejak 2011, dan Mariko Mctier, pemudi 31 tahun, mencoba menawarkan solusi.
Pada September 2019, mereka berdua membuat aplikasi isi ulang air mineral di Jepang bernama MyMizu. Secara sederhana, aplikasi ini menolong penggunanya menemukan titik isi ulang air gratis, biasanya berbentuk air mancur yang bisa diminum/water fountain.
Selain itu, MyMizu turut menunjukkan restoran, kafe, dan unit bisnis lain yang bersedia memberikan isi ulang air gratis. Aplikasi ini cukup partisipatif sebab pengguna bisa menambahkan sendiri titik terbaru ke dalam database MyMizu.
Per Oktober 2019, sudah ada 8 ribu tempat isi ulang bekerja sama dengan MyMizu di seluruh Jepang dengan pengguna di atas 5 ribu. Per Februari 2020, jangkauannya malah sudah melewati batas negara. Ada 200 ribu tempat isi ulang di 30 negara dengan sekitar 20 ribu pengguna. MyMizu menjelma jadi solusi konkrit pengurangan pembelian botol plastik.
“Memutuskan tidak lagi membeli botol plastik adalah langkah sederhana. Ini adalah langkah awal, jadi dari sini lah pendidikan lingkungan dimulai,” ujar Lewis kepada Japan Times.
Kini, MyMizu mengaku sedang menjalani kolaborasi bersama pemerintah daerah, sekolah-sekolah, dan kampus-kampus untuk memperluas gerakan. Ke depannya, Lewis bermimpi tempat isi ulang rekanannya enggak cuma menyediakan air, tapi juga kopi dan teh. Yang penting, enggak usah beli plastik lagi.
Bioplastik dari Mangga dan Rumput Laut
Setiap tahun, ada sekitar 820 ribu ton mangga dan 1,5 juta ton rumput laut dihasilkan Filipina untuk dikonsumsi dan diekspor. Denxybel Montinola, pemuda 23 tahun lulusan University of San Carlos, Filipina, melihat kesempatan untuk berkontribusi memerangi perubahan iklim dari data ini. Menggunakan kulit mangga dan rumput laut, doi menciptakan produk plastik ramah lingkungan.
Tak berbeda dari Gen Z pada umumnya, Montinola mendapat inspirasi penemuannya saat scrolling Facebook.
“Saya belajar konsep bioplastik ini ketika melihat video viral di Facebook yang memperlihatkan seseorang bikin plastik dari rumput laut. Terus saya berpikir bagaimana kalau saya menggunakan fasilitas dan sarana Biofisika yang saya pelajari untuk membuat ulang dan meningkatkan penemuan ini?” kata Montinola kepada Cebu Daily News.
Enggak lama setelah terinspirasi, doi langsung eksekusi idenya. Anak magang di Institute of Biological Chemistry, Academia Sinica Taiwan, tersebut menggabungkan pectin dan carrageenan, dua zat pembentuk plastik ramah lingkungan itu, yang diekstraknya dari kulit mangga dan rumput laut. Pemilihan mangga sebagai bahan baku utama, berbeda dari video di Facebook, dilakukan dengan dua alasan.
Pertama, tentu saja, melimpahnya mangga di Filipina sehingga dia enggak akan kehabisan bahan. Kedua, penggunaan kulit mangga juga diklaim Montinola menghasilkan plastik yang lebih kuat dan fleksibel sehingga kekuatan produk plastik buatan ini setara dengan plastik konvensional.
Lampu Bakteri tanpa listrik yang Bisa Menyala Selamanya
Pencarian sumber daya alternatif pengganti tenaga listrik semakin genting. Di Indonesia, pengolahan batu bara sebagai bahan baku utama generator pembangkit listrik telah menghancurkan lingkungan, mengundang protes masif dari organisasi pencinta lingkungan. Dalam prakteknya, pabrik batu bara turut merenggut puluhan nyawa, mengotori udara dan laut, dan merusak tanah warga di sekitar pabrik.
Alasan tersebut membuat penemuan tiga mahasiswa Universitas Brawijaya, Indonesia, ini jadi krusial. Elok Fitriani Tauziat, saat itu berumur 19 tahun, bersama kawan seumurannya dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Nur Hasna Fauzziyah dan M Alfian Arifin, menciptakan lampu tanpa listrik yang bisa menyala seumur hidup. Benar, Anda tidak salah baca. Seumur hidup.
Mereka bertiga memamerkan penemuan ini saat mengikuti Pekan Kreativitas Mahasiswa (PKM) Universitas Brawijaya pada 2015. Ketiganya langsung mendapatkan perhatian masyarakat sebab untuk bisa hidup selamanya, lampu diisi bakteri hidup penghasil cahaya yang ditemukan dalam tubuh cumi-cumi, biasa disebut bakteri bioluminescene. Bakteri tersebut akan terus bereproduksi, sehingga sumber daya pencahayaan menjadi tidak terbatas.
Mekanisme pembuatannya kira-kira begini: bakteri dari tubuh cumi-cumi mereka ambil dan diisolasi dalam sebuah biolie, alat khusus yang dibuat dari lensa mika, serbuk kayu yang dipadatkan, dan aerator tanpa listrik (alat penggabung udara dengan zat lain). Diatur dalam konsentrasi tertentu (4,6 x 109 colony forming units per milimeter), bakteri akan hidup menghasilkan cahaya, menerangi ruangan.
Lampu biolie menghasilkan cahaya sekuat 10,68 watt dan diklaim mampu menerangi ruangan sampai radius 68 meter. Terlebih, lampu akan semakin terang apabila jumlah kandungan bakteri di dalamnya ditambah.
“Lampu hemat energi ini bisa mengatasi persoalan krisis energi. Cahaya yang dihasilkan [lampu biolie] tak menimbulkan panas,” kata Elok dilansir Tempo.
Karena diisi makhluk hidup, bakteri juga perlu diberi “makanan” untuk tetap hidup dan bereproduksi. Makanan favorit mereka adalah fermentasi sayuran berupa sayuran dicacah halus yang ketambahan kecap, gula, dan mikroba dari fermentasi glukosa bernama EM4. Hasil percampuran ini lantas dikeringkan.
Sepatu Ini Bisa Dipakai Mengisi Baterai Ponsel Kalian
Banyak milenial memimpikan sepatu bertenaga listrik ciptaan Profesor Agasa dari serial Detective Conan. Siapa sangka, impian tersebut didekatkan pada kenyataan oleh seorang gen z berusia 15 tahun asal Filipina. Pada 2014, ia menciptakan sesuatu yang lebih baik: sepatu penghasil listrik, bukan bertenaga listrik. Dipandang dari kebutuhan lingkungan, penemuan ini jelas lebih relevan dari yang dimiliki Conan.
Angelo Casimiro, nama wonderkid itu, sebenarnya tidak menciptakan keseluruhan sepatu, melainkan sol sepatu yang sudah diselipkan generator energi penghasil listrik. Di dalam sol, ia menggunakan piezoelectric, komponen khusus yang mampu menghasilkan listrik saat digerakkan. Piezo, nama singkat komponen itu, adalah inti sol sepatu penghasil listri ini, mampu menghasilkan kekuatan sampai 26 volt.
Saat dipakai berjalan, tekanan yang dihasilkan oleh langkah kaki menghasilkan daya listrik yang dikumpulkan dalam baterai khusus. Kata Casimiro, kumpulan daya listrik ini cukup digunakan untuk ngecas ponsel, senter, radio, dan alat elektronik kecil lainnya. Dalam lingkup kegunaan yang lebih luas, Casimiro menyebut penemuannya bisa ditujukan untuk keperluan listrik masyarakat Filipina yang tinggal di wilayah terpencil tanpa listrik.
Dalam ujicobanya kala itu, Casimiro mengklaim generator ini bisa mengisi penuh 400 mAh baterai kalau dipakai joging delapan jam. Piezoelectric memang punya kelemahan karena listrik yang dihasilkan cenderung kecil. Meski begitu, penemuan ini tetap patut disorot karena kita membutuhkan sebanyak mungkin alternatif pembangkit listrik yang tidak mencemari lingkungan.
Ide pembangkit listrik bertenaga joging sebenarnya bukan hal baru. Pada 2013, perusahaan rintisan SolePower menciptakan sepatu bertenaga listrik menggunakan pengikat generator di bagian samping luar sepatu yang terhubung dengan kabel yang menuju sebuah alat khusus di sol sepatu. Bedanya, SolePower tidak menggunakan piezoelectric.
Dalam laman Instructables, Casimiro mengumumkan perkembangan terbaru penemuan ini. Baterai yang ia gunakan sebagai penampung listrik sudah ia integrasikan dalam sol sepatu. Artinya, muncul satu perbedaan lagi antara produknya dengan SolePower.