Insiden Limbad Bukti Kita Sekarang Hidup Bagaikan Reality Show TV

Kapan kalian terpicu merenungkan makna hidup saat menyaksikan sosok pesulap Limbad di layar televisi? Aku sih mengalami momen perenungan tersebut gara-gara kontroversi Limbad yang dikubur hidup-hidup selama 15 jam dalam balok es. Acara “sulap” itu membuatku memikirkan masa depan demokrasi Indonesia, kasus penistaan agama yang dialami Basuki Tjahaja Purnama, dan teori post-truth.

Ntar, ntar…. Jauh amat bos?!

Videos by VICE

Begini. Awalnya aku mau membahas maraknya acara reality show di televisi Indonesia satu dekade belakangan. Reality Show adalah konten yang dikesankan sebisa mungkin oleh para kru, agar terlihat betul-betul terjadi. Tapi penonton juga tahu, kalau tidak ada yang real dari acara macam itu. Misalnya acara Uya Kuya yang terkenal banget. Emang bener gitu si presenter televisi di acaranya Uya nangis sesenggukan karena dihipnotis? Atau coba contoh lain deh, yakni Nikita Mirzani. Saat memandu acara televisi pagi-pagi, tiba-tiba Nikita Mirzani pingsan atas panggung. Presenter lainnya panik. Nikita yang pingsan langsung digotong keluar sorotan kamera. Tapi belakangan banyak akun gosip menyebut cuma tipu-tipu buat “mengumumkan” kalau Nikita hamil. Enggak kaget sih kalau yang dikesankan betulan terjadi sebenarnya hanya untuk kepentingan menciptakan drama di layar televisi kita.

Tapi apa pentingnya semua contoh di atas? Reality show bukan konsep baru kan? Benar. Cuman, ingat deh, kita sekarang hidup di 2018. Hidup kita sekarang sebetulnya semakin mendekati absurditas reality show. Nah, makanya sekarang kita perlu membahas kasusnya Limbad.

Sedikit pengingat, Limbad adalah sosok pesulap, atau lebih tepatnya pemain debus, yang punya banyak gimmick. Dia membangun kesan misterius. Misalnya, selalu berpakaian hitam-hitam, tidak pernah bicara (makanya video dia bersih aja bisa viral), plus memasang taring di giginya biar tambah misterius. Pekan lalu Limbad melakukan aksi menghebohkan untuk kesekian kalinya yakni dikubur dalam balok es selama lebih dari setengah hari. Berjalan 14 jam, artinya sisa satu jam sebelum tantangan itu berakhir, dokter muncul di layar televisi dengan kemasan macam breaking news. Tenaga medis tersebut panik karena jantung Limbad kabarnya berhentik berdetak. Kepanikan kru direkam oleh kamera televisi. Penonton ikutan cemas. Jangan-jangan Limbad celaka. Eh, bener gitu?

Akun instagram kesohor Lambe Turah sih enggak percaya. Mereka mengunggah postingana berisi tuduhan kalau semua kepanikan soal Limbad itu sudah direkayasa. Dokternya asli, tapi disewa khusus untuk membuat suasana lebih menegangkan. Media massa di Indonesia segera ikut-ikutan membahas kasus ini, mempertanyakan keaslian aksi Limbad dikubur dalam balok es.

Mari kita renungkan “skandal” Limbad ini. Akun anonim di Instagram, yang terkenal sering melontarkan tuduhan-tuduhan sensaional terhadap pesohor, sedang menyerang pesulap yang dianggap berbohong buat menggenjot rating. Tuduhan Lambe Turah, ataupun aksi Limbad, sama-sama tidak 100 persen bisa dipercaya. Mana yang benar? Susah dibuktikan. Tapi yang pasti keduanya sama-sama sensasional dan menghibur siapapun yang mencoba mengikutinya.

Makanya, saya bilang sebelumnya, selamat datang di 2018. Skandal Limbad vs Lambe Turah adalah reality show gaya baru yang sebetulnya tidak lebih absurd dari kenyataan. Semua yang kita saksikan seakan-akan dikemas dalam bentuk reality show. Berita yang kalian konsumsi di media, walaupun akurat, terasa seperti parodi. Buktinya mantan presenter reality show sekarang jadi Presiden Amerika Serikat. Belum lama ini pendukung teori bumi datar melontarkan roket (cuma sampai ketinggian 600 meter sih) untuk membuktikan kalau planet kita ini tidak bulat.

Di Indonesia, kasus paling aneh menimpa mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Mahkamah Agung menolak peninjauan kembali (PK) politikus akrab disapa Ahok itu atas kasus penistaan agama. Penolakan ini terjadi setelah sidang yang dipimpin oleh majelis hakim Artidjo Alkotsar melihat bahwa alasan permohonan PK dianggap tidak relevan.

Ada beberapa pertimbangan Ahok mengajukan PK, salah satunya adalah vonis 1,5 tahun penjara terhadap Buni Yani di Pengadilan Negeri Bandung. Buni Yani divonis bersalah karena telah melanggar Undang-Undang ITE, setelah terbukti mengedit video pidato Ahok. Atas vonis bersalah itulah, Ahok kemudian mengajukan PK ke Mahkamah Agung dan ternyata… ditolak. Kebayang kan anehnya. Kuasa hukum Ahok minta hukuman dibatalkan karena video pidatonya terbukti diedit, tapi tak malah ditolak karena bukti hukum anyar tersebut dianggap tak relevan.

Kasus PK Ahok, perseteruan Limbad vs Lambe Turah yang disikapi serius banget sama media, dan entah apa lagi yang akan muncul di masa mendatang, sejak lama sudah diprediksi oleh pakar komunikasi. Absurditas dalam kehidupan sehari-hari, kesulitan orang memilah mana yang nyata dan mana yang hasil rekayasa, adalah tanda kita sedang hidup dalam era “post-truth.”

Di Indonesia, benih munculnya era post-truth ini sudah terbangun sejak lama. Masyarakat kita terbiasa dengan manipulasi, karena politikus yang terseret korupsi bolak-balik berbohong agar tak diseret meja hijau. Ingat kan, sumpah Anas Urbaningrum yang bersedia digantung di Monas kalau terbukti bersalah atas kasus korupsi tapi kemudian ngeles dengan bilang tak pernah mengucapkan janji macam itu?

Jangan lupa juga, orang tua kita, dan kita sendiri, sejak lahir dijejali berbagai informasi simpang siur mengenai pembantaian jutaan orang yang diduga komunis pada 1965. Bahkan, sempat muncul hoax jahat kalau pemerkosaan massal perempuan etnis Tionghoa dalam kerusuhan Mei 1998 tak pernah terjadi.

Masyarakat Indonesia saat ini benar-benar menghadapi tantangan yang berat buat memverifikasi fakta. Reality show, sayangnya, hanya semakin melatih masyarakat untuk selalu bersikap dramatis saat menghadapi kenyataan. Bila tidak dramatis, suatu kejadian tak akan dianggap relevan. Mengingat televisi masih berpengaruh bagi mayoritas masyarakat Indonesia, maka dampak tayangan yang menampilkan orang dihipnotis ataupun pesulap digambarkan nyaris mati saat dikubur dalam balok es tentu besar.

Menurut peneliti lembaga pemantau televisi Remotivi, Yovantra Arief, yang dialami masyarakat saaat ini adalah jenis “augmented reality.”

“Ada gap antara realitas media dengan kita. Jadi otak kita cuma bisa menalar apakah hal tersebut logis atau tidak, tapi tidak pernah tahu kebenaran sesungguhnya dari sebuah informasi,” kata Yovantra Arief. “Kalau kita ngomongin reality atau variety show itu enggak kelihatan, enggak ada etik dan hanya membangun klaim yang diomongin itu nyata.”

Dalam kondisi macam itu, realitas tidak menjelaskan dirinya sendiri, bahwa “gue real lho.” Misalnya untuk acara reality show Katakan Putus, salah satu pihak yang akan digambarkan brengsek, dengan berbagai cara. Untuk menambah bobot kebenaran, tampil pula testimoni teman dekat yang melihat dia jalan dengan orang lain, atau flashback adegan si cowok melakukan kekerasan.

Kasus manipulasi video macam Ahok yang beredar online setali tiga uang. Dengan beragam teknik pemotongan, pengulangan, penekanan pada hal yang itu-itu saja, dihilangkan konteksnya, maka jadilah augmented reality yang sama dengan reality atau variety show kita saat ini. Originalitasnya direduksi menjadi hanya hal-hal yang ingin ditonjolkan saja pada publik.

“Realitas [ditekankan dengan] selalu ada pengukuhan yang membuat dia semakin menyedihkan. Jadi augmenting realitasnya jadi lebih intens,” kata Yovantra.

Yovantra menjelaskan bahwa kasus-kasus tertentu seperti reality show bisa diibaratkan sebagai augmented reality. Realitas atau bukan, tidaklah jadi soal. Bisa jadi suatu hal benar-benar terjadi, tetapi realitas tersebut campur aduk dengan berbagai teknik pemotongan dan dramatisasi. Makanya tidak aneh jika suatu realitas terkesan lebih dramatis dan intens dalam beberapa hal. Ternyata, tidak cuma di televisi yang kini sudah mulai banyak ditinggalkan orang, di era digital terkadang bukan reality dan variety show, tapi manipulasi fakta dan video. Sialnya hal tersebut diperparah dengan semacam fetisisme kita terhadap media.

“Fetisisme kita terhadap media itu, bahwa ‘kalau sudah masuk tv itu pasti benar. Akhirnya, kalau di reality show itu ketika dibilang maka ‘oh pasti benar nih’,” tambahnya. Pada akhirnya hanya logika dan pola berpikir kita yang bisa menuntun jika hal-hal yang terjadi di televisi masuk akal atau tidak.

Yovantra bilang cara kita menyerap suatu informasi—baik itu video, berita, ataupun foto—kini tak ubahnya dipengaruhi oleh kebanyakan program televisi yang kita tonton. Televisi sedikit banyak memanipulasi dampak emosional yang sangat intens, tidak peduli isinya faktual atau tidak.

“Sejauh itu relevan, menghibur, orang shock, merasakan sensasi tersentuh dari sana. Bisa dibilang itu semacam post truth [tapi wilayahnya berbeda], dalam arti kalau post truth kan lebih ke kebenaran untuk kepentingan publik,” ujar Yovantra. “Poinnya bukan pada tayangan tersebut settingan atau enggak, tapi logika berpikir yang dia tawarkan.”

Inilah penyebab hoax sulit diberantas. Maraknya reality show membuat banyak orang kesulitan berdebat secara sehat dengan orang yang berbeda ideologi atau pandangan politik.

Sebab di tahun 2018, kita tidak bisa mengandalkan rasionalitas semata. Kita tidak bisa mengubah persepsi seseorang, tanpa dramatisasi ala reality show.