Artikel ini pertama kali tayang di The Creators Project.
Di Instagram, ada banyak sekali fotografi alam memukau. Namun beberapa foto kehidupan binatang liar yang paling mengagumkan pastinya dihasilkan oleh mereka-mereka yang karyanya ditampilkan oleh National Geographic. Komunitas fotografer margasatwa ini mencakup bermacam-macam konten dan sudut pandang yang berbeda: dari ahli biologi, penjelajah arktik, dan konservasionis laut, semuanya berusaha mengabadikan aksi binatang liar dengan satu tujuan yang sama: menyelamatkan planet Bumi.
Videos by VICE
Fotografer-fotografer ini menggunakan Instagram untuk menyebarkan karya mereka yang berkualitas tinggi. Namun tidak hanya itu, setiap imej ditemani oleh teks informatif. Bagi para fotografer ini, Instagram memberikan kesempatan bagus untuk mengedukasi massa tentang berbagai aspek ekosistem planet Bumi.
Contohnya fotografer Joel Sartore yang juga pendiri Photo Ark, proyek berumur 25 tahun yang bertujuan mendokumentasikan keindahan keanekaragaman hayati. Proyek ini didesain untuk menginspirasi publik agar berinisiatif menyelamatkan binatang-binatang yang terancam punah, seperti Trenggiling Cina. Tak seperti kebanyakan fotografer margasatwa, Sartore sering mengambil foto spesies binatang tertentu dengan latar belakang hitam putih. Tentunya ini berbeda dengan karya jurnalis foto seperti Brian Skerry yang gemar mengabadikan foto bawah laut yang dinamis. Baru-baru ini dia berhasil mengabadikan siput laut yang menakjubkan.
Seperti banyak fotografer alam lainnya, Ronan Donovan tertarik memahami cara manusia mempengaruhi kehidupan binatang. Dia menganggap karya-karya fotografinya sebagai “cerita pendek” yang menyingkap detil interaksi antara manusia dengan makhlum primata sosial lainnya seperti simpanse, serigala, gorila dan beruang.
“Biasanya keterangan foto saya lumayan panjang karena saya ingin memulai diskusi dan mengedukasi, bukan hanya menghibur,” ungkap Donovan ke Creators. “Saya perlu merasa bahwa karya saya penting dan bagi saya itu berarti mencoba mengubah cara pandang orang tentang bagaimana mereka berinteraksi dengan lingkungan.”
“Baru akhir-akhir ini saya mulai menggunakan Instagram stories dan kini saya mengerti bahwa itu alat yang sangat efektif dalam mengembangkan kapasitas penceritaan secara visual,” tambahnya. “Mengajak follower untuk menyaksikan anda bertugas setiap harinya sepertinya menambah ketertarikan mereka untuk membaca artikelnya nanti…guna menunjukkan proyek konservasi saya dan semoga nantinya bisa membangkitakan gairah yang sama di hati follower.”
Di tengah banyaknya fotografer yang lihai mengambil gambar margasatwa dan paham tentang beberapa spesies binatang, fotografer asal Italia Stefano Unterthiner justru juga bekerja sebagai ahli ilmu hewan. Memulai karirnya sebagai fotografer lingkungan di umur 17 tahun, dia menekuni ilmu hewan saat kuliah dan telah memiliki gelar Doktor di bidang tersebut.
“Saya tertarik dengan binatang-binatang yang terancam punah (ingat komodo?), maka saya menggunakan fotografi untuk bercerita tentang manusia dan margasatwa: bagaimana kita semua bisa hidup rukun dengan spesies lain,” jelas Untherthiner ke Creators. “Kita perlu lebih banyak urgensi untuk bertindak, dan lebih penting lagi untuk menjaga lingkungan dan berbagi ide tentang cara membangun hubungan baru dengan margasatwa.”
“Baru-baru ini saya bekerja di Sulawesi untuk NGM mendokumentasikan penderitaan monyet wolai di habitatnya,” tambahnya. “Saya harap fotografi saya bisa efektif membantu peneliti dan konservasionis setempat menggugah hati dan pikiran masyarakat tentang spesies yang terancam punah itu. Saya berusaha berkontribusi membawa orang semakin dekat dengan alam, itu adalah tujuan utama fotografi saya.”
Fotografi karya Paul Nicklen, salah satu pendiri SeaLegacy berfokus di kehidupan laut. Seperti banyak karya Sartore, imej Nicklen diambil dengan tujuan mendorong masyarakat untuk berusaha menyelamatkan ekosistem laut. Beberapa makhluk laut yang pernah dia abadikan antara lain: beruang kutub, paus pembunuh, paus bungkuk dan pinguin.
Nicklen mengatakan ke Creators pertama kali dia mulai rajin mengambil foto, dia masih harus menggunakan film. Untuk bisa membagikan karya, anda harus mencuci negatif film, kemudian discan dan dicetak. Dan di zaman itu, sulit untuk mendapatkan “pengakuan” untuk karya fotografi. Agar foto bisa dicetak di majalah, anda harus melalui proses yang panjang dan bertele-tele.
“Foto-foto punya kekuatan yang besar, tapi dulu mereka tidak memiliki jangkauan yang luas,” kata Nicklen. “Teknologi foto digital merubah itu semua.”
“Dengan kehadiran internet, terutama media sosial—dimana orang bisa saling berbagi—fotografi menjadi kanal bagi hubungan sosial dan komunikasi,” tambahnya. “Lewat unggahan Instagram dan Instagram Stories, saya terhubung dengan banyak orang dan mereka menyebarkan karya-karya saya.”
Tentu saja ini hal yang bagus, namun lebih dari itu ini adalah hal yang penting bagi SeaLegacy. Dia percaya bahwa ketika ada karya yang altruistik, konektivitas media sosial dapat mentransformasi hal-hal sepele seperti foto bunga yang cantik menjadi alat perubahan.
“Foto-foto saya sekarang bisa berdampak besar berkat media sosial, dan ini artinya kita bisa melindungi laut dan binatang yang tinggal di dalamnya hanya dengan menunjukkan foto-foto bawah laut,” katanya. “Ini adalah hal yang sangat kuat dan menginspirasi, dan menilai dari perhatian yang kami dapat di Instagram, pesan-pesan kami berhasil tersampaikan. Ini membuat kami senang dan makin semangat untuk maju.”
Minggu depan, Nicklen akan menyambangi Antarctica selama sebulan. Dia akan mengunggah foto-foto dan video berisikan informasi tentang ekosistem arktik dan tantangan yang sedang dihadapi benua tersebut ke sebanyak 3 juta follower. Ini hanya satu orang dan satu kamera. Secara kolektif, para fotografer ini berharap mereka bisa terhubung dengan lebih banyak orang dan mempercepat usaha konservasi lingkungan secara global.