Instagram dihujani kritikan pedas ketika mereka mengumumkan akan menyembunyikan jumlah ‘like’—keputusan yang telah diluncurkan di enam negara. Sejumlah netizen berspekulasi perubahan ini dapat memberikan dampak negatif pada industri musik dan dunia seni, sementara lainnya menyindir Instagram sengaja melakukan ini untuk meningkatkan penjualan iklan.
Video seorang influencer muda bahkan menjadi viral karena dia menangis saat membicarakan betapa perubahan ini dapat memengaruhi jumlah pengikutnya.
Videos by VICE
Meskipun demikian, ada sejumlah kecil pengguna yang menyambut perubahan ini, mengingat budaya ‘memburu like’ di Instagram tak baik untuk kesehatan mental
kita. Lalu, apa yang menyebabkan kekecewaan sebagian besar orang? Instagram tidak lagi sekadar platform membagikan momen berharga, tetapi telah menjadi alat penentu kebahagiaan.
“Ada sistem yang didukung,” kata Jo Becker kepadaku. Mahasiswi dan aktivis 21 tahun asal Skotlandia ini mengelola Instagram secara berkelanjutan di waktu luangnya. “Kita harus mengikuti tipe kecantikan tertentu atau mengikuti arus supaya diterima. Saya pribadi tidak banyak mengedit foto, selain memperbaiki pencahayaan atau kualitas. Saya menjadikannya semacam perlawanan politik [terhadap like].”
Tidak mengedit foto mungkin kedengaran sepele, tetapi sebenarnya signifikan jika melihat sifat kurasi Instagram yang ada di mana-mana dan standar ketat yang dipaksakan kepada pengguna. Sejak diluncurkan pada 2009, Instagram telah berevolusi dari aplikasi berbagi foto biasa menjadi platform bisnis. Lebih dari 39 persen akun di Instagram merupakan akun influencer, yang mengandalkan Instagram sebagai sumber penghasilan.
Sebagian besar konten yang diunggah pasti sarat akan kebahagiaan. Tagar #happy bahkan menjadi salah satu tagar paling banyak digunakan di Instagram (saat ini ada 538.671.419 postingan yang menggunakan tagar itu). Padahal, kebahagiaan itu belum tentu benar adanya. “Instagram bagaikan mekanisme akreditasi, lumayan mirip skor kredit konsumen,” terang penulis dan ekonom politik Will Davies. “Seolah-olah tidak ada yang menyukaimu karena kamu tidak disukai di media sosial. Akibatnya, kamu mendapat skor nol.”
Panjat sosial bukan satu-satunya yang kita terima dari Instagram. Merasa disukai dapat meningkatkan dopamin (dikatakan lebih adiktif daripada alkohol atau rokok), sehingga kita terus-terusan nge-swipe. Efek dopamin sangat kompleks. Hormon, yang dikeluarkan saat berhubungan intim, berolahraga dan sukses berinteraksi sosial—hal terpenting untuk influencer, mendorong kita mencari pengalaman yang menyenangkan. Media sosial bisa menaikkan dopamin apabila interaksi sosialnya berhasil, tetapi dapat membuat kita kecewa jika tidak sesuai dengan harapan. Ujung-ujungnya, kadar dopamin bisa turun drastis.
Tonton dokumenter VICE tentang cult agama yang menjanjikan keselamatan lewat Internet:
Demi kesenangan, kita terus mencari umpan balik positif di platform yang sama. Dopamin adalah elemen terpenting bagi Silicon Valley, mulai dari warna yang digunakan dalam pemberitahuan sampai suara pesan masuk. Semuanya sengaja dirancang mengikuti kebutuhan sel kimia itu.
Perasaan diterima di media sosial mungkin menyamarkan kebahagiaan, tetapi efek utamanya sangat berbeda dari kebahagiaan, ketertarikan atau rasa hormat sejati. Yang kita sukai bukanlah individunya, melainkan konten yang kita buat. Perasaannya pun semu, hanya untuk mengisi kekosongan dan keterasingan. “Generasi muda mengkurasi kehidupan dan kebahagiaannya agar diterima orang lain,” ungkap psikoterapis Denise Dunne.
“Mereka diakui, tapi sama sekali tidak merasa hidup. Mereka sadar kalau orang-orang hanya menyukai fotonya, bukan diri mereka sesungguhnya. Itulah sebabnya mereka semakin menyeleksi foto-fotonya. Demi konten Instagram, mereka pergi ke tempat-tempat keren meski sebenarnya malas. Mereka ingin orang-orang percaya hidup mereka sangat menyenangkan. Terlibat dengan Instagram sama saja dengan terlibat dalam dunia gambar dan objektifikasi. Tak peduli seberapa banyak jumlah like yang kamu dapat, kamu tidak akan pernah merasa puas.”
Interaksi Instagram sekarang tidak lagi murni mencerminkan pertukaran sosial, melainkan interaksi dengan industri konsumen, yang didasarkan pada premis kita akan terus mengonsumsinya jika tidak puas. Tujuan Instagram bukan untuk membantumu menemukan kebahagiaan dan kepuasan sejati—yang mirip dengan model perusahaan teknologi (mereka sengaja merancang produk yang gampang rusak supaya pengguna bisa beli baru) atau aplikasi kencan online (yang baru akan berhenti digunakan ketika kamu sudah menemukan pasangan).
“Main Instagram ibaratnya seperti mengecek kulkas kosong. Kamu tahu tidak ada apa-apa, tapi terus mengeceknya,” seniman dan pengguna Instagram Andrea Mena memberitahuku. “Beginilah cara kerja iklan, yang bisa membuat kita sedih. Sebelum ada Instagram, kita sering melihat orang berlibur di Bahama dan mewujudkan pernikahan impian. Dulu, cuma bintang iklan yang bisa mempromosikan segalanya. Sekarang, bukan hanya 1 persen orang yang dapat mengiklankan sesuatu.”
Pengguna Instagram menjadi terbebani perasaan negatif dengan adanya perubahan kebijakan menghapus jumlah like. Sama seperti senam mental yang digunakan dalam praktik diet dan “mindfulness”, ini mengubah hal negatif dari media sosial. Kamulah yang bermasalah, bukan platform atau kontennya.
Kita mau tak mau harus menerima bahwa kebahagiaan adalah sesuatu yang picik dan kesejahteraan mental adalah tanggung jawab masing-masing. Industri self-care (menyayangi diri) memenuhi gagasan ini. Perasaan negatif bisa disingkirkan dengan mengonsumsi buku, podcast dan aplikasi self-help, serta memakan makanan sehat dan gerakan menenangkan diri. Semua ini hanyalah strategi menjual produk: matras yoga, tempat makan buat sayuran atau masker wajah. Bukankah menyenangkan diri bisa dilakukan dengan cara yang amat sederhana?
Gerakan-gerakan ini berfokus pada semboyan “tampak dan merasa baik” (yang sangat dijunjung tinggi oleh Instagram). Mereka tidak begitu mementingkan perkembangan kreatif atau intelektual yang mempromosikan penerimaan. Ini mengalihkan anggapan bahwa kesehatan mental dan kebahagiaan bergantung pada kekuataan yang lebih besar daripada apa yang ditemukan di kotak masuk atau menunggu diklik profilnya. Yang terpenting, narasi mengabaikan peran pemerintah atau bisnis besar dalam melindungi kesejahteraan masyarakat, dan menolak menangani penyakit mental sebagai masalah kesehatan kolektif.
Gen Z dan milenial sering dijuluki generasi paling kesepian, tertekan dan kurang percintaan, sehingga tak mengherankan apabila kita mencari semacam koneksi di internet. Tapi bukan berarti tidak ada serangan balik ke dunia super dikurasi yang dijual di Instagram. Kita mungkin lebih tertekan dan kesepian, tetapi setidaknya Gen Z lebih terlibat secara politis. Kita tak segan memboikot suatu merek yang bertentangan dengan nilai-nilai sosial. Generasi milenial bahkan lebih sering memberi sumbangan.
“Kebahagiaan dan kesejahteraan mental harus menjadi pusat dunia politik kita,” tutur Jo. “Kita tidak diberikan waktu atau sarana yang tepat untuk mengalami segala bentuk kebahagiaan dan menemukan kesejahteraan mental. Generasiku menuntut perubahan. Kita belum menemukan cara mendapatkannya, tetapi sudah tahu apa yang diinginkan.”
Keinginan untuk berubah muncul dari kecurigaan terhadap kebahagiaan dari tagar Instagram. Kita sebaiknya menanyakan diri sendiri apa yang sebenarnya membuat kita bahagia. Perkembangan dan perawatan diri tidak diragukan lagi adalah konsep positif. Namun, yang terpenting yaitu menanyakan dunia di sekitar kita dan bagaimana ini menentukan definisi kita akan ‘kebahagiaan’. Kita tak akan lagi bergantung pada jumlah like jika sudah mencapai dasar pertanyaannya. Jumlah like sama sekali tidak membuat kita bahagia.
Artikel ini pertama kali tayang di i-D