Redaksi Tonic mendapat pertanyaan ini dari pembaca:
Aku merasa beruntung punya banyak teman yang pintar dan sukses. Cuma belakangan ini, aku merasa agak terbebani karena kesannya aku ketinggalan jauh dari mereka. Teman-temanku sudah menduduki jabatan yang lebih tinggi dan gaji yang besar, membeli mobil keren, pindah ke rumah yang lebih besar, liburan ke tempat-tempat yang instagramable. Sementara itu, aku masih saja di situ-situ saja. Karierku di kantor mentok dan di saat yang sama aku enggak ngerti harus ngapain lagi. Imbasnya, selagi karir orang lain makin moncer dari tahun ke tahun, aku malah cemas ketinggalan jauh dari teman-temanku. Akibatnya, aku merasa harus tampil selevel dengan mereka, harapannya aku kelihatan lebih sukses dari sebenarnya. Jadi, aku bertanya-tanya: aku bersikap kayak gini gara-gara sedang cemas? Atau penyebabnya lebih dalam dari itu?
Videos by VICE
Kebanyakan dari kita umumnya ingin merasa kehidupan kita baik-baik saja. Tapi, bagaimana kita mengukurnya? Salah satu cara paling gampang adalah dengan membandingkannya dengan kehidupan orang-orang di sekitar kita. Tenang, menempuh cara ini enggak otomatis bikin kamu jadi orang yang sirik lagi susah bersyukur. Wong kenyataannya semua orang melakukannya kok.
Beberapa tahun lalu, saat istri saya sedang mengandung anak kembar kami, aku membeli SUV baru. Ukurannya kecil dan warna putih—karena itu satu-satunya warna yang tersisa. Dalam tempo sekian bulan saja, tetangga sebelah kami menukar mobil lamanya dengan SUV warna putih (cuma beda merk saja). Tak lama kemudian, tetangga saya lainnya ikut latah membeli SUV. merknya sama dengan milik kami. Bedanya, ukurannya lebih bongsor dan punya tujuh tempat duduk. Warnanya? Putih, tentu saja.
Tiba-tiba saja, nyaris setengah rumah di kompleks kami punya mobil putih berukuran besar. Padahal, enggak pernah ada kesepakatan untuk membeli SUV warna putih. Ini yang bikin aku diam-diam nyengir. Saya pikir, barangkali ini apa yang disebut oleh para psikolog sebagai “perbandingan sosial.” Ternyata, kecenderungan manusia untuk membandingkan pencapaian pribadi dan kekayaan dengan pencapaian orang lain mulai muncul saat kita masih belia. Artinya, kecenderungan ini adalah bagian tabiat kita.
Perlu bukti? Coba simak penelitian terbaru yang melibatkan anak-anak berumur 7 tahun. Mereka diminta melakukan tes waktu reaksi secara berpasangan. Dalam setiap tes, tiap anak mendengar apa yang mereka dan pasangan mereka capai lalu dipersilahkan menilai apa mereka rasakan. Ternyata, anak-anak itu paling merasa bahagia jika tahu mereka berhasil dan pasangannya gagal. Mereka juga sumringah ketika mereka dan pasangannya sama-sama berhasil. Di saat yang sama, mereka paling merasa sedih saat diri mereka gagal sementara pasangannya berhasil—bahkan jauh lebih sedih jika mereka berdua gagal sekalipun.
Tonton video VICE mengenai sejarah populernya lipstik hitam yang dipengaruhi naluri purba manusia:
Kesimpulannya, membanding-bandingkan pencapaian diri dengan orang lain adalah tindakan yang alami. Begitu juga, saat kita membandingkan diri kita dengan orang lain dan merasa mereka jauh lebih baik dari kita (nama ilmiahnya “upward comparison”), lazim bila kita merasa inferior. Perasaan tak enak ini akan lebih parah karena kita sudah lebih dulu kehilangan rasa percaya diri dan rentan merasa pesimis.
Jika kalian kerap merasa seperti ini, mungkin kalian harus mempertimbangkan jangan-jangan obsesi kita akan keberhasilan orang lain adalah bentuk lain dari masalah mental kalian. Dengan demikian, jika ditangani dengan benar, kecemasan akan statusmu akan segera hilang.
Meski begitu, jika karier temanmu sedang moncer dan kedudukan sosial mereka naik drastis (dengan catatan: ini beneran terjadi bukan karena ilusi kamu doang), maka ketakutan kamu bakal disepelekan atau ditinggalkan sebenarnya berdasar. Para peneliti menduga kita semua punya kecenderungan—yang harus kita lawan—untuk melihat orang lain yang menurut kita punya status lebih rendah tak memiliki skill yang memadai atau malah kurang “manusia” (seperti punya lebih sedikit emosi dan kebutuhan). Tak ada orang yang mau direndahkan. Makanya, ketakutan bahwa temanmu akan memandangmu sebelah mata setelah mereka sukses bisa dipahami. Walau, tentu saja, apabila mereka benar-benar melakukannya, mereka secara teori enggak pantas dianggap teman.
Di sisi lain, saya merasa kamu tak sedikitpun ngomong tentang betapa penginnya kamu melihat temanmu terperosok dan gagal—dengan kata lain, kamu tidak sedang mengalami apa yang disebut psikolog sebagai “rasa iri yang merusak” (Malicious Envy). Kamu harus bangga loh. Apalagi bila kamu cukup mengagumi temanmu, yang kamu rasakan seperti cuma “rasa iri yang jinak” (benign envy). Jenis emosi yang satu ini sejatinya punya efek yang melecut kita karena dengannya kita bisa mengevaluasi diri dan mendorong kita untuk memperbaiki diri.
Kamu juga bilang pekerjaanmu mentok di situ-situ saja selama bertahun-tahun. Meski kamu berusaha membereskan rasa minder ini dengan “melihat ke bawah” alias membandingkan dengan mereka yang lebih kurang beruntung, ada baiknya kamu melihat pencapaian temanmu. Harapannya, ini akan jadi memacu kamu untuk mengubah beberapa hal dalam hidupmu.
Tapi, jika saya boleh memberi usul, berhati-hatilah. Jangan sampai kamu kelewat tinggi mengukur kesuksesan temanmu. Pasalnya, kendati mereka terkesan lebih bahagia dengan jabatan dan gaji yang lebih tinggi, siapa tahu mereka menyimpan masalah pribadi yang mereka simpan dalam-dalam. Lagian, orang lazimnya menampakan imej yang dirasa paling bagus—apalagi di zaman medsos ini. Tak ayal, kita mudah mengesampingkan perjuangan mereka dalam hidup ini.
Jika kamu merespon kondisimu sekarang dengan mencoba jalan hidup baru, ingat ini: kamu enggak akan menemukan kebahagiaan jika niatnya ingin bikin orang lain kagum. Kamu justru akan menikmati kepuasan hidup saat mengejar tujuan hidupmu—baik dalam kehidupan pribadi atau dalam pekerjaan— yang menurutmu sangat berarti dan wajib diperjuangkan.
Pendeknya, bila kamu bisa hidup sesuai dengan nilai-nilai yang kamu yakini, kamu akan jadi orang tajir, terlepas punya mobil atau rumah mentereng atau tidak.
Christian Jarrett (@Psych_Writer) is a psychologist and author of The Rough Guide to Psychology and Great Myths of the Brain. His next book, about personality change, will be published in 2019 by Simon and Schuster.
This article originally appeared on VICE US.