Politikus mulai menyebar rumor tentang keterlibatan warga asing seiring memanasnya tensi pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Seperti isu populer lain di Indonesia setahun belakangan, penduduk Cina kembali menjadi kambing hitam. Hidayat Nur Wahid, Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera menjadi salah satu yang paling vokal menyebar rumor bahwa ada ribuan penduduk Cina memperoleh KTP Elektronik palsu dari Indonesia. Hidayat menyerukan pendukung pasangan calon gubernur nomor urut tiga, Anies Baswedan-Sandiaga Uno, agar mewaspadai pengerahan warga negara asing saat hari H pencoblosan 15 Februari mendatang.
Ucapan itu disampaikan sang mantan Wakil Ketua MPR saat berkampanye 29 Januari lalu di Jakarta Selatan. “Setelah voting, luangkan waktu sejenak dan mengobrol dengan orang [yang kemungkinan WNA]. Sapa dia dengan bahasa Jawa. Kalau tidak menyahut, tanya pakai bahasa Sunda,” kata Hidayat seperti dikutip The Jakarta Post. “Jika mereka tidak bisa berbahasa Indonesia, meskipun punya e-KTP, kemungkinan itu palsu. Segera laporkan kepada polisi.”
Videos by VICE
Hidayat meyakini sepenuhnya rumor yang berkembang di beberapa situs berita abal-abal. Intinya Calon Gubernur Nomor Urut 2, Basuki Tjahaja Purnama, dituding mencetak ribuan e-KTP palsu agar orang asal Tiongkok bisa ikut memilih. Isu beredar pertama kali di media sosial itu dipastikan kelompok pemerhati hoax tidak benar.
Apakah kekhawatiran yang diutarakan Hidayat Nur Wahid realistis? Pernahkah terjadi manipulasi pemilu di Indonesia melibatkan warga asing?
Perhimpunan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengaku belum pernah menemukan kecurangan pemilihan kepala daerah melibatkan warga negara asing. “Dulu ada kasus, tapi itu di luar negeri seperti Tawau, Malaysia, pada pemilu legislatif 2004 dan 2009. Indikasinya mereka melakukan kecurangan lewat vote by mail dan dropbox,” kata Titi Anggraini selaku Direktur Eksekutif Perludem.
Menurut Titi, pelanggaran pilkada yang jamak ditemukan di Tanah Air adalah upaya membeli suara alias money politics, pura-pura mewakilkan hak pilihnya, serta pemilih mengaku tidak memiliki e-KTP. “Misalnya saja seorang ibu sakit, lantas diwakilkan kepada anaknya untuk mencoblos. Beberapa temuan juga mengindikasikan adanya pencoblosan yang dilakukan seseorang lebih dari satu,” kata Titi.
Tudingan keterlibatan warga asing di Indonesia pernah terjadi sebelumnya. Isu kecurangan melibatkan WNA mencuat dalam pemilihan walikota di Bitung, Sulawesi Utara pada Juli 2005. Indikasi kecurangan tersebut, meski tidak terbukti, memaksa pemungutan suara ulang dan memaksa Kementerian Dalam Negeri turun tangan. Pada 2013, KPU Mimika juga menemukan 145 WNA yang terdaftar pada Daftar Pemilih Tetap (DPT) pilkada Mimika.
“Apa yang diimbau oleh PKS itu tidak ada masalah,” kata Titi. Perludem memandang WNA seharusnya berpikir dua kali sebelum terlibat langsung dalam pemilihan umum di Indonesia. Jika ketahuan mereka bisa terancam terusir oleh otoritas Imigrasi dalam negeri. Kalaupun memang betul PKS menemukan indikasi kecurangan melibatkan WNA, Perludem menyarankan segera lapor ke KPU atau Bawaslu.
Adapun Pengamat Politik Siti Zuhro memandang berkembangnya rumor pengerahan WNA dalam pilkada DKI dipengaruhi tensi politik yang memanas dalam pilkada. Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan (LIPI) itu mengatakan situasi pilkada DKI 2017 berbeda jauh dengan 2012 yang lebih kondusif dari sisi sentimen antar ras. “Saat ini memang ada masalah yang sensitif terkait SARA dan masalah hukum yang membelit salah satu paslon,” kata Siti.
Kasus hukum yang dimaksud tentu menyangkut dugaan penistaan Al Quran menjerat Basuki Tjahaja Purnama, selaku gubernur petahana. Gubernur disapa Ahok ini adalah keturunan Tionghoa dari Belitung Timur. Alhasil Ahok rutin disangkutpautkan rumor memiliki kedekatan dengan petinggi RRC. Di media sosial, misalnya, beredar kabar 500 orang dari Cina Daratan dikerahkan membela Ahok dalam persidangan penistaan agama. Rumor itu tentu saja dibantah kepolisian. Berita palsu lainnya tahun lalu tersebar massif, menyebut 10 juta pekerja asal Tiongkok datang ke Indonesia, merebut lahan pekerjaan penduduk “pribumi”. Presiden Joko Widodo sampai ikut mengomentari isu tersebut.
Dalam setiap pilkada, menurut Siti, isu-isu sensitif rentan digunakan sebagai kampanye gelap untuk menyerang kandidat lain. Setahun belakangan, sentimen negatif terhadap etnis Cina serta tudingan buruk atas warga asing asal RRC paling banyak diembuskan beberapa pihak untuk meraih keuntungan politik jangka pendek.
“Jika ada racial tone dalam setiap kampanye itu perlu direspon secara cerdas,” kata Siti. “Berdasarkan data dari Bawaslu, Jakarta ini masuk dalam zona kerawanan sedang. Bukan potensial rusuh. Tapi melihat keadaan politik sekarang yang memanas, perlu ada respon lebih dari para stakeholder dan parpol,” ujarnya.
“Dalam hal ini baik pengawas maupun panitia pilkada harus mampu menyajikan data yang akurat, sehingga dapat meminimalisir konflik.”
Pihak tim pemenangan Anies – Sandi menolak berkomentar saat dihubungi VICE Indonesia tentang pernyataan Hidayat dalam kampanye mereka pekan lalu.