FYI.

This story is over 5 years old.

Terorisme

Bom Bunuh Diri Sibolga, Bukti Menguatnya Peran Perempuan Dalam Jaringan Teror Indonesia

Penangkapan Abu Hamzah oleh polisi diwarnai drama pengepungan 10 jam, serta ledakan bom bunuh diri menewaskan istri tersangka dan satu anak yang masih berusia dua tahun.
​Tim antiteror kepolisian menyisir rumah terduga teroris Surabaya
Tim antiteror kepolisian menyisir rumah terduga teroris Surabaya. Foto oleh Sigit Pamungkas/Reuters

Pihak Kepolisian berhasil menangkap terduga teroris Husain alias Abu Hamzah di Sibolga, Sumatera Utara. Abu Hamzah diduga merupakan bagian dari jaringan Negara Islam Irak dan Syam (ISIS) di Sumatra, terkait dengan penangkapan terduga teroris di Lampung sebelumnya. Dalam proses penangkapan, dua orang tewas akibat bom bunuh diri.

Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyebut pelaku diduga terafiliasi dengan ISIS dan sudah memantau jaringan tersebut sejak penangkapan terduga teroris Jumat pekan lalu di Lampung. "Kelompok ini sudah kita jajaki, makanya penangkapan duluan dilakukan di Lampung kemudian di Sibolga," kata Tito saat menggelar jumpa pers.

Iklan

Sebelum menangkap Abu Hamzah, kepolisian mengepung rumah terduga teroris tersebut di sebuah pemukiman padat penduduk di Kelurahan Pancuran Bambu, Kecamatan Sibolga Sambas. Dalam informasi yang dihimpun Kompas, pengepungan dilakukan selama sepuluh jam sebelum akhirnya istri dan anak Abu Hamzah berusia dua tahun yang bersembunyi di dalam rumah meledakkan diri. Negosiator polisi menganggap aksi nekat itu penolakan si ibu menyerahkan diri kepada polisi.

Ledakan tersebut melukai satu personel polisi dan membuat warga sekitar dievakuasi ke radius 200 meter dari lokasi ledakan. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Dedi Prasetyo menyatakan sang istri ditengarai terpapar paham ISIS jauh lebih keras dari Abu Hamzah.

"Tidak henti-henti kami meminta keluarga terduga teroris untuk menyerahkan diri karena di situ ada anak-anak. Tapi, imbauan tidak menggoyangkan ideologi ibu tersebut," kata Dedi.

International Centre for the Study of Radicalisation (ICSR) yang berbasis di London, Inggris menyebutkan ada ratusan perempuan dan anak asal Indonesia yang bergabung dengan ISIS sepulang dari Suriah. Mereka belum terdeteksi pemerintah. Laporan tersebut memberi petunjuk bahwa peremuan memiliki peran penting dalam penyebaran paham ekstrimisme, dan terbukti bisa menjadi eksekutor di lapangan.

ICSR dalam laporannya Daesh to Diaspora’: Tracing Women and Minors of Islamic State yang dirilis Juli 2018 lalu disebutkan bahwa dari total 41.9490 orang yang tercatat terafiliasi dengan ISIS baik lelaki, perempan, maupun anak-anak saat ini ada 7.366 orang yang terdeteksi sudah kembali ke negaranya sejak kekalahan ISIS bertubi-tubi di Suriah dan Irak. Mereka kembali berpotensi yang akan menciptakan sel-sel ekstrimisme di negara mereka masing-masing termasuk Indonesia.

Iklan

Tonton dokumenter VICE soal warga negara asing yang jadi sukarelawan ke Irak demi memerangi ISIS:


Dari data yang dikumpulkan ICSR, dari total 800 orang Indonesia yang bergabung dengan ISIS di Suriah, ada 113 perempuan dan 100 anak-anak. Dari total tersebut hanya sekitar 54 perempuan dan 60 orang anak yang terdeteksi telah kembali ke Indonesia. Sisanya masih belum diketahui keberadaannya secara jelas.

"Perempuan dan anak-anak memiliki peran signifikan dalam penyebaran ideologi ISIS setelah ambruknya ‘kekalifahan’ pada akhir 2017," seperti dikutip dari laporan tersebut. "Mereka yang berafiliasi dengan ISIS dapat menjadi ancaman keamanan, terbukti dari beberapa rencana yang digagalkan dan aksi serangan yang terjadi di seluruh dunia."

Dua pengamat yang diwawancarai oleh BBC Indonesia menduga peristiwa ledakan dan penangkapan teroris tersebut berkaitan erat dengan Pemilu yang akan berlangsung April mendatang.

Misalnya pengamat terorisme Al Chaidar yang menduga pemilu motif kelompok simpatisan ISIS kembali bergerak. Momen pemilu dianggap menyita perhatian publik.

"Mereka menganggap demokrasi, pilpres, itu adalah sebuah kebatilan dan mereka akan menyerang upacara atau kampanye-kampanye kebatilan tersebut," kata Chaidar kepada BBC Indonesia.

Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyebut peristiwa tersebut masih dianggap aparat murni tindakan terorisme, sama sekali tidak terkait dengan pemilu. "Mereka tidak ada hubungannya dengan Pemilu, tidak ada hubunganya dengan pesta demokrasi yang akan datang."