Lelaki asal Texas ini buta, tapi dia jago banget main Mortal Kombat

Michael Espinoza mengalami kebutaan sejak lahir. Kondisi ini tak menghalanginya mengakrabi video game sejak berumur enam tahun. Kini, Espinoza bahkan mudah saja mempecundangi gamer yang punya penglihatan sempurna dalam mode pertarungan online. Bingung kenapa bisa begitu?

"Seiring tumbuh dewasa, orang lain selalu berusaha memberi tahuku apa saja yang bisa dilakukan tunanetra dan mana yang tidak," ujarnya saat ditemui VICE News di Kota Austin, Texas. "Untungnya aku keras kepala."

Tanpa penglihatan memadai, Espinoza main game mengandalkan pendengarannya.

Espinoza pertama kali main video game bersama sepupunya, menggunakan konsol Sega Genesis di rumah nenek mereka. Lalu, orang tua Espinoza membeli PlayStation sebagai hadiah ulang tahun ketujuh anaknya. Konsol inilah yang membuka dunia baru bagi Espinoza. "Aku langsung ketagihan main game," katanya.

Petualangan Espinoza dimulai dari game seperti _Spyro the Dragon_, _Crash Bandicoot_, dan _Grand Theft Auto,_ sebelum beralih ke game-game genre fighting macam _Street Fighter,_ _Soulcalibur_, dan _Mortal Kombat_&#x2014;yang kini sangat dia kuasai.

Salah satu alasan Espinoza begitu getol bermain game fighting karena dirinya tak memerlukan kemampuan navigasi&#x2014;karakternya berada dalam arena, tak harus digerakkan ke satu titik tertentu. Jadi, Espinoza tinggal fokus menghafal semua suara yang keluar dari dalam game. Dengan cara ini, dia bisa menentukan jenis gerakan, karakter yang melakukannya, dan dari jarak sejauh apa serangan/upaya bertahan dilakukan.

Espinoza rajin latihan main _Mortal Kombat_ agar bisa menguasai aspek suara semua game yang dia maiankan. Sekarang sih dia agak sibuk karena bekerja di bagian IT sebuah perusahaan teknologi. Tapi beberapa tahun lalu Espinoza mampu berlatih main _Mortal Kombat_ lima sampai enam jam sehari. Dengan tekun, dia memelajari berbagai jenis suara dari game buatan developer Midway itu. "Suara pukulan dan tendangan setiap karakter... pokoknya semua aspek suara yang membentuk sebuah karakter," ujarnya.

Setelah berlatih bertahun-tahun terbiasa main _Mortal Kombat X_, Espinoza mengaku tak takut menjajal game baru. Dia bilang, main game lain tak ubahnya memelajari instrumen musik baru. Espinoza bisa dibilang memiliki pengetahuan mendalam tentang teori _sound design_ dalam game. Dia tak butuh waktu lama untuk menghafal aspek _sound_ satu karakter.

<p> Mortal Kombat baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke 25, dan sejarah yang ditinggalkan game ini sulit dilupakan. Waralaba Mortal Kombat meraup lima miliar dollar, membuat genre game fighting kembali relevan, dan menimbulkan salah satu kontroversi kultur terbesar karena menggunakan kekerasan yang berlebihan. </p> <p> Tidak hanya berfungsi sebagai katalis perdebatan politis yang panas, Mortal Kombat juga membentuk fondasi pertarungan politik yang meramaikan industri game selama dua puluh tahun ke depan, dan menjadi senjata yang ampuh untuk digunakan dalam perdebatan. </p> <p> Di AS, rating ESRB—organisasi regulator yang menilai tingkat kedewasaan sebuah video game— menggunakan huruf T,M, atau E yang tertera di cover video game seringkali diabaikan pemain. Namun sebetulnya ini adalah sistem penilaian yang jelas, efisien—biarpun tidak sempurna—dan memang diperlukan. Eropa memiliki rating PEGI, Australia memiliki ACB yang sangat ketat, dan Jepang menggunakan CERO. Kini seluruh dunia memiliki sistem rating konten yang membatasi akses pemain muda memasuki dunia orang dewasa di video game, tapi ESRB-lah pencetusnya. </p> <p> Kalau dipikir-pikir, sangat masuk akal bahwa Mortal Kombat—sebuah game kontroversial penuh kekerasan—akhirnya mendorong industri untuk memperkenalkan rating konten ke dunia video game. Namun sebetulnya, motif di balik sistem rating ini bukan sekadar melindungi generasi muda, tapi memberi contoh bahwa industri bisa menerapkan swaregulasi untuk menangkal efek sistem pembatasan konten yang diterapkan pihak luar, yang tak jarang bersifat politis dalam menentukan pembatasan. <br> <br> Sesungguhnya, rating ESRB dibikin bukan semata-mata untuk merespon kekerasan berlebihan dalam Mortal Kombat. Tercetusnya badan pemeringkat itu merupakan bagian dari strategi untuk melindungi diri dari reaksi negatif yang akan datang pasca perilisan game. </p><div data-iframely-id="UQkiB0C" class="article__embed article__embed--iframely"><div style="left: 0; width: 100%; height: 0; position: relative; padding-bottom: 56.2493%;" data-iframely-smart-iframe="true"><iframe data-img="" data-iframely-url="//oembed.vice.com/UQkiB0C?playerjs=true" style="border: 0; top: 0; left: 0; width: 100%; height: 100%; position: absolute;" allowfullscreen data-iframely-smart-iframe="true" frameborder="0"></iframe></div></div><p> Di era 90-an, Acclaim Entertainment merupakan perusahaan yang mapan dan menguntungkan, tapi saat itu mereka lebih sibuk mengimpor dan mendistribusikan game-game sampah yang populer macam Rambo. Hanya sesekali mereka merilis game in-house bikinan sendiri. Di saat itu, Acclaim belum menemukan identitasnya ataupun memiliki strategi yang ampuh.</p> <p> "Saya menemukan bahwa semua game yang sukses di era tersebut biasanya datang dari game ding-dong, dan kami belum masuk ke pasar ini," jelas Gregory FIschbach, pendiri dan CEO Acclaim ke saya di kantor start-upnya di Silicon Valley. "Midway tidak memiliki distribusi retail, jadi saya menghubungi mereka dan membuat kesepakatan. Kami membayar mereka banyak uang demi hak distribusi Terminator 2: Judgment Day dan beberapa judul lainnya, tapi tidak ada yang terlalu signifikan." <br> Ternyata Midway dan Acclaim sedang berada di ambang kesuksesan. </p> <p> "Saya menghubungi mereka kembali dan mengatakan kami tidak mendapat keuntungan," ingatnya. "Kami mengurangi angka royalti dan membeli hak untuk Mortal Kombat."</p> <p> Acclaim tidak sadar mereka baru saja membeli game yang akan menjadi sebuah fenomena. Fischbach ingat menghabiskan 10 juta dollar untuk biaya pemasaran dan periklanan, tapi eksposur yang didapat Mortal Kombat jauh melebihi ekspektasi. Setiap kantor berita, psikolog anak yang haus publisitas, dan semua orang tua menyerang game tersebut. Ya maklum, di Mortal Kombat kamu bisa mencabut keluar tulang belakang seseorang. Dan di era itu, grafik MK masih tergolong realistis. </p> <p> "Kami tidak menginginkan publisitas macam itu," ujar Fischbach. Biarpun semua reaksi ini membuat Mortal Kombat terkenal, tapi kritik dari masyarakat juga sangat kencang terdengar. Acclaim dan industri harus melakukan sesuatu sebagai bentuk pencitraan. Solusinya untuk melawan publisitas negatif? Membentuk Electronic Software Rating Board (ESRB). </p> <p> "Tau gak kenapa kita membentuk badan tersebut?" tanyanya, dengan penuh nada konspiratif biarpun tidak ada orang lain dalam ruangan. "Mortal Kombat!"<br><br>Dia melanjutkan, "Howard Lincoln [bos Nintendo of America saat itu] mengatakan 'Saya tidak mau menjadi pihak yang memutuskan game mana yang boleh dirilis dan mana yang tidak,'" ingat Fischbach setelah bertemu dengan nama-nama besar industri termasuk SEGA dan Nintendo. "Kalau kita memiliki badan pemeringkat mirip dengan industri film, kita bisa menghindari beberapa masalah."<br></p> <p> Maka dari itulah, ESRB, badan regulator yang bertugas menentukan rating konten dan batasan umur sebuah video game akhirnya dilahirkan. Untuk mengakomodasi ESRB, organisasi lain pun dibentuk—Interactive Digital Software Association (di 2003 dinamakan ulang sebagai Entertainment Software Association) dan Fischbach menjabat sebagai ketua direksi selama dua tahun pertama. IDSA berkembang menjadi sebuah grup pelobi yang kuat dan mulai memikirkan ulang kultur industri yang dirasa sudah ketinggalan zaman.</p> <p> "Kami memutuskan untuk meninggalkan CES (Consumer Electronic Show) dan menciptakan E3, acara kami sendiri. Daripada membayar uang ke Consumer Electronics Association, mendingan uangnya buat industri kami sendiri," jelas Fischbach. "E3 melayani ritel, media, developer, calon karyawan, dan bahkan komunitas banking. Kami adalah sebuah perusahaan publik dan kami ingin masyarakat mengerti apa yang kami lakukan. "</p> <div class="article__media--image"><div class="article__media--image"><picture class="article__image"><source media="(max-width: 25em)" srcset="https://video-images.vice.com/_uncategorized/1507332454336-Fatality_Mortal_Kombat_screenshot.png?resize=400:*, https://video-images.vice.com/_uncategorized/1507332454336-Fatality_Mortal_Kombat_screenshot.png?resize=600:* 2x"><source media="(min-width: 25em)" srcset="https://video-images.vice.com/_uncategorized/1507332454336-Fatality_Mortal_Kombat_screenshot.png?resize=400:*"><img src="https://video-images.vice.com/_uncategorized/1507332454336-Fatality_Mortal_Kombat_screenshot.png" alt=""></picture></div></div> <p> Acclaim dan Fischbach memegang peran krusial menciptakan mesin politik dan institusi industri yang sanggup mewakili dan melindungi penerbit game—juga memalsukan—kepedulian game terhadap publik, investor dan politisi. Di awal 1990-an, mereka melihat arah perdebatan seputar video game dan mengambil langkah yang perlu untuk memenangkan perdebatan tersebut. Namun beberapa tahun kemudian, Acclaim tidak tahu lagi ke mana mereka sesungguhnya melangkah. </p> <p> Hubungan mereka dengan Midway tidak bertahan lama dan setelah Mortal Kombat II dirilis, Acclaim memutus hubungan dengan perusahaan tersebut. Bersusah payah berusaha mengulangi kesuksesan Mortal Kombat, para petinggi Acclaim mengambil beberapa keputusan yang buruk, dan berfokus di kontroversi game, bukan kualitas. Hanya lebih dari satu dekade, Acclaim seakan terjun bebas dari puncak kesuksesan menuju tanah paling bawah. </p> <p> Biarpun Fischbach dan Acclaim lumayan lihai membentuk organisasi mereka sendiri dan melobi pentolan-pentolan industri, tetap saja akhirnya perusahaan mereka lebih dikenal karena aibnya. Mentalitas "menjual kontroversi" yang menjadi kunci kesuksesan Mortal Kombat akhirnya justru mempermalukan perusahaan tersebut. </p> <p> Di pertengahan 90-an, banyak perusahaan berusaha memperlebar sayapnya. Acclaim membeli Valiant Comics, sebuah penerbit buku komik yang memiliki sederetan karakter mereka sendiri. Salah satunya bernama Shadowman, dan juga seorang pemburu dinosaurus bernama Turok. </p> <p> "Turok adalah satu-satunya yang sukses," jelas Fischbach. </p> <p> Turok memang sukses, biarpun ujung-ujungnya tidak bertahan lama juga. Seiring kualitas rilisan mereka menurun, Acclaim mulai mengandalkan aksi publisitas yang kreatif tapi juga mentereng. Salah satunya adalah menawarkan bond senilai $10.000 ke sebuah keluarga untuk memberi nama Turok bagi bayi mereka yang baru lahir. </p> <p> Contoh lainnya, berada di ujung lain spektrum kelahiran dan kematian, adalah ketika Acclaim menawarkan membayar biaya pemakaman seseorang apabila diizinkan menaruh poster Shadowman: Second Coming di kuburan. Mereka juga pernah menawarkan warga Inggris untuk membayar denda tilang mereka—dalam rangka mempromosikan Burnout 2—dan terkesan mendorong masyarakat untuk mengebut di jalanan.</p> <p> Saya menanyakan Fischbach apabila dia lah yang memberikan izin terhadap ide-ide gila tersebut. </p> <p> "Tidak," jelasnya sambil tertawa terbahak-bahak. "Tapi waktu itu emang seru sih."</p><div data-iframely-id="ubOn0MM" class="article__embed article__embed--iframely"><div style="left: 0; width: 100%; height: 0; position: relative; padding-bottom: 75.0019%;" data-iframely-smart-iframe="true"><iframe data-img="" data-iframely-url="//oembed.vice.com/ubOn0MM?playerjs=true" style="border: 0; top: 0; left: 0; width: 100%; height: 100%; position: absolute;" allowfullscreen data-iframely-smart-iframe="true" frameborder="0"></iframe></div></div><p> Biarpun tidak bertanggung jawab atas semua aksi publisitas, Fischbach tetap saja bertanggung jawab atas arah Acclaim yang semakin dipertanyakan. Tidak semua orang senang dengan kepemimpinannya, terutama Jim Scoroposki, salah satu pendiri dan rekan terpercaya Fischbach. </p> <p> "Kami sedang terbang dari Inggris ke US, dan dia berpaling dan mengatakan: 'Kamu menyebabkan masalah bagi perusahaan,'" ingat Fischbach tentang percakapan yang akhirnya mengakhiri perjalanan Acclaim. <br> <br> <br> Fischbach mengaku tidak menyadari ketidakpuasan Scoroposki. Memang saat itu Acclaim tidak berada dalam kondisi yang baik, dan lambat laun nasib mereka akan berakhir, tapi Fischbach merasa masalah pribadi harusnya muncul ketika penyakitnya sudah sangat parah. </p> <p> "Ada banyak alasan kenapa Acclaim jatuh, tapi itu adalah yang utama," kata Fischbach tentang perselisihannya dengan si partner. </p> <p> Alasan lain? Angka penjualan yang mengecewakan, utang menumpuk, klaim pengadilan yang mengatakan Fischbach, Scoroposki, dan eksekutif Acclaim lainnya "menyalah gunakan posisi mereka dan menggunakan Acclaim seperti tabungan pribadi" dan berbagai gugatan hukum dari mantan partner bisnis mereka seperti legenda BMX, Dave Mirra dan si Kembar Olsen. </p> <p> Semua alasan ini rasanya jauh lebih besar dari sekadar perselisihan pribadi antar kolega kerja, dan mungkin membuat kejatuhan Acclaim terasa tidak terlalu tragis. Tidak hanya diuntungkan kontroversi, Acclaim juga membantu industri game melempar tanggung jawab dan menepis kritik atas perbuatan mereka sendiri. Tanpa Acclaim, industri game tidak akan pernah dipaksa menjadi dewasa. </p>

vice

Politik dan game

Mortal Kombat: Game Pertama Mengguncang Jagat Politik Gara-Gara Sadismenya

Game

mortal kombat

Politik

Playstation

Berkat usahanya yang tak kenal lelah, Espinoza kini sudah rutin mengalahkan pemain yang punya penglihatan sempurna dalam pertarungan online. Keberhasilan ini punya makna tersendiri baginya.

"Mengalahkan pemain dengan penglihatan sempurna mungkin salah satu hal paling menggembirakan yang pernah aku rasakan," katanya. "Aku makin yakin kemampuanku enggak bergantung pada persepsi orang tentang apa yang bisa aku lakukan."

Tonton video wawancara VICE bersama Espinoza di tautan awal artikel ini.

_Artikel dan video ini pertama kali tayang di VICE News_

Michael Espinoza has been blind since birth. And yet he's been playing video games since he was at least six years old. Confused how those two facts might square up?

"Growing up," he told VICE News, "there were things that I either couldn't do, or was told I couldn't do. Luckily, I'm really stubborn."

Espinoza starting playing games on his cousins' Sega Genesis. But then his parents bought him a Playstation for his seventh birthday, opening up an entirely new universe. "I was hooked," he said.

He started with games like Spyro the Dragon, Crash Bandicoot, and Grand Theft Auto before switching to fighting games like Street Fighter, Soulcalibur, and Mortal Kombat — his absolute favorite.

For one, fighting games negated the issue of navigation, so Espinoza could focus completely on memorizing a game's sound design — how different moves sound depending on who is making them, or from what distance.

After years of practice, Espinoza describes learning a new game or character like learning a new instrument. At this point, he knows the theory, so to speak, so it doesn't take him that long to dial into a character's sonic universe.

These days, Espinoza regularly beats sighted players online, which holds particular meaning. "Beating a sighted person online when you're blind is probably is one of the most gratifying feelings I have ever felt," he said. "It makes me feel like my skill doesn't have to be dependent on other people's perceptions of what I can do."

Subscribe to VICE News here: http://bit.ly/Subscribe-to-VICE-News

Check out VICE News for more: http://vicenews.com

Follow VICE News here:
Facebook: https://www.facebook.com/vicenews
Twitter: https://twitter.com/vicenews
Tumblr: http://vicenews.tumblr.com/
Instagram: http://instagram.com/vicenews
More videos from the VICE network: https://www.fb.com/vicevideo

FYI.

This story is over 5 years old.

Tonton Aksi Gamer Tunanetra Jago Banget Main 'Mortal Kombat'

Mortal Kombat: Game Pertama Mengguncang Jagat Politik Gara-Gara Sadismenya