FYI.

This story is over 5 years old.

teknologi

Kapan Sih Tandanya Kita Harus Melawan Arahan GPS?

Beberapa dari kalian pasti pernah ngalamin panduan GPS malah lebih ruwet dari jalan yang kita hafal rutenya.

Artikel ini pertama kali tayang di Motherboard.

Dalam sebuah road trip bersama keluarga musim panas lalu, saudara perempuanku menyalakan fitur GPS yang memberitahu penggunanya jalan singkat berdasarkan informasi jalan terbaru. Selagi suara robot, yang bekerja lantaran kombinasi stasiun monitor di permukaan Bumi dan panduan konstelasi satelit di luar Bumi, memandu kami memilih jalan, saya tiba-tiba teringat sesuatu. Seperempat abad yang lalu, saya dan saudariku sibuk membentang peta jalan bebas hambatan di kursi belakang mobil, memandu orang tua kami memilih rute. Ini adalah momen-momen klise, yang dialami semua generasi, ketika hantu tradisi yang sudah lama dilupakan kembali muncul dan dikontraskan dengan teknologi penerusnya. Sekarang, garis biru di peta digital jadi andalan bagi mereka yang mencari rute tercepat. Malah, sebagian kita sudah kepalang terbiasa memandangi lajur biru ini sambil asik berkendara. Cerpen terbaru dalam rubrik Terraform, "The Interruption" karya Debbie Urbanski mendramatisir penggunaan petunjuk jalan geospatial ini dari sudut pandang Beth, seorang perempuan yang tak mematuhi panduan GPS saat pulang ke rumahnya." "Ada momen-momen di lampu merah ketika ponselnya memerintahkannya lurus, ke arah rumahnya dengan sofa yang mulai melorot dan atap bocor yang tak kunjung dia perbaiki hingga kini. Tujuh blok dari rumahnya, dia bakal sampai ke sekolah anaknya, tempat di mana anak perempuannya pernah menggambar potret keluarga mereka yang tak ada mirip-miripnya sementara anak lelakinya berkelahi di samping kelas. Dia tak peduli dengan instruksi yang keluar dari ponselnya." Ada sesuatu yang sangat teologi tentang gambaran GPS hingga kita merasa begitu memberontak ketika menampik rute yang dipilih fitur dan mengarahkan kendaraan kita ke rute-rute yang lebih liar. Malah, rute GPS begitu menggoda para pengendara untuk menurutinya, tanpa memperhitungkan situasi berbahaya yang menunggu di depan mereka. Memang, kita kerap mengacuhkan peringatan akan bahaya dari dunia nyata demi bisa sepenuhnya menghamba pada rute digital. Nyatanya, beberapa pengendara yang dituntun oleh GPS menuju danau atau jurang pasir. Ada juga yang sampai terlempar dari jembatan dan hampir terjerumus ke dalam tebing. Yang paling malang, GPS juga jadi biang kerok tewasnya beberapa pengendara yang diarahkan ke daerah berbahaya cuma lantaran punya nama jalan yang sama dari tujuan asli mereka.
Pada 2015, sepasang sejoli dewasa diarahkan oleh aplikasi navigasi Waze ke kawasan berbahaya karena nama jalan serupa dengan daerah yang sebenarnya mereka tuju. Salah satu dari mereka tewas ditembak. Waze juga pernah tak sengaja memicu kekerasan politik setahun lalu, ketika sepasukan tentara Israel menggunakan Waze untuk menyantroni kamp pengungsi Palestina. Konfrontasi yang dipandu GPS itu menelan satu korban tewas dan mengakibatkan beberapa orang lainnya luka-luka. Cerpen Urbanski menggambarkan plot yang kira-kira ringkasannya begini: membelot dari panduan GPS membuat Beth terlepas dari realitas karbografis itu sendiri. Otak manusia adalah kataloger handal landmark yang digunakan sebagai petunjuk arah. Uniknya, Beth justru kehilangan kemampuan alami ini begitu dia membangkak dari rute yang disodorkan GPS. Dalam percakapan telepon dengan suaminya, yang sepenuhnya hidup dalam realita ala GPS, Beth menggambarkan lanskap yang seakan diambil dari mimpi, sebuah indikasi bahwa Beth mengamali mental break. Konektivitasnya dengan internet, dengan suaminya dan tengan pikirannya sendiri tengah terganggu. Ketika Beth mencoba mencari dirinya sendiri di peta aplikasi GPSnya, alogoritma aplikasi itu seakan menempatkan Beth dalam jalur sementara yang menandai rute biru dalam hidupnya, alih-alih dalam matriks geospatial. "Ponselnya tak bisa menemukan lokasi Beth. Atau lebih tepatnya, ponselnya berhasil melacak keberadaanya di tempat yang salah. Beth, sepertinya, tengah berada di rumah kecilnya duluu di Illinois. Beberapa menit kemudian, dia berada di kota resort. Brandon dan dirinya menghabiskan bulan madu di sini. Tiba-tiba, dia kembali ke Minnesota di sebelah peternakan kalkun entah di mana." Dengan tone yang moody dan penggambaran yang surreal, "The Interruption" menggembarkan sensasi disorientasi dalam dunia yang sepenuhnya dipandu GPS dan mendorong batas-batas pertanyaan standar: saya ada di mana sih ini?