FYI.

This story is over 5 years old.

Foto Esai

Foto-Foto Kehidupan Pelaut di Sebuah Kapal Tanker Minyak

Seorang pelaut cum fotografer membagikan foto-foto kesehariannya bekerja di atas kapal. Harapannya orang jadi mafhum akan pekerjaan seorang pelaut. Selain itu biar imej pelaut sebagai sekumpulan pria misoginis pemabuk perlahan hilang.
Iulia Roșu
Bucharest, RO

Ayah saya seorang pelaut. Dia lebih sering berlayar daripada diam di rumah dan menemani saya main. Meski begitu, mungkin gara-gara ayah, saya jadi punya ketertarikan terhadap kehidupan seorang pelaut—membayangkan ayah berlayar dan mampir barang sejenak di pelabuhan-pelabuhan eksotis bikin imajinisi saya jadi liar. Bahkan, sebuah novel yang ditulis dengan sangat baik pun tak bisa memiliki dampak serupa itu pada saya. Seiring bertambahnya usia, saya sadar bahwa kerja ayah sebagai peluat tak cuma menghadapi bajak laut dan mencari harta karun. Dia juga punya tanggung jawab lainnya. Dulu, setiap hendak mengirim kabar, ayah selalu menggunakan telegram. Sekarang segalanya jadi lebih mudah. Ayah bisa kapan saja menghubungi Ibu dan saya dengan panggilan Skype. Alhasil, saat kapalnya melewati Samudra Hindia atau Perairan Barat Australia, kami seakan sedang naik kapal bareng bersama ayah. Melihat tempat-tempat jauh yang disinggahi ayah membuat saya makin memahami pekerjaan seroang pelaut dan—tentu saja—mendekatkan diri saya dengan Ayah.

Iklan

Pelaut cum fotografer Rumania Cezar Gabriel berusaha membawa pemahaman serupa tak hanya bagi keluarganya tapi juga untuk semua bagi semua orang. Di laman Facebooknya My Life at Sea, Cezar membagi foto dan renungan pribadinya akan kehidupan sehari-harinya bersama koleganya di sebuah kapal tanker pembawa minyak. Dengan melakukan ini, Cezar berharap bahwa dirinya bisa menunjukkan seperti apa kehidupan di atas kapal laut dan menggambarkan bagaimana pelaut menghadapi rintangan fisik dan emosional dari pekerjaan mereka. Saya menghubungi Cezar yang waktu itu sedang berlayar dekat Meksiko. Kami ngobrol tujuan yang ingin dia capai dengan membagi foto-foto pelayarannya.

VICE: Hei Cezar, jadi kamu ini pelaut, fotografer atau dua-duanya?
Cezar Gabriel Popescu: saya sudah berlayar selama 18 tahun dan saat ini saya bekerja sebagai mekanik senior. Saya sendiri baru mulai motret sejak tujuh tahun lalu tapi saya berani mendaku diri sebagai seorang fotografer. Jadi sekarang, saya ini adalah seorang pelaut sekaligus fotografer. Untungnya, keduanya bisa jalan bersama-sama.

Cezar Gabriel Popescu (di tengah) bekerja sebagai kepala mekanik di sebuah kapal.

Boleh tahu motivasi kamu bikin Page Facebook My Life At Sea?
Ketika pertama kali saya mendalami fotografi, mayoritas hasil jepretan saya adalah foto-foto tempat yang saya kunjungi saat liburan—matahari tenggelam, matahari terbit dan semacamnya lah. Saya memang waktu itu enggak kepikiran memotret kawan-kawan saya di kapal dan kehidupan sehari-hari saya sebagai seorang pelaut. Waktu itu, saya pikir siapa juga yang mau lihat foto-foto seperti itu. Lalu, kemudian saya sadar tiap kali saya pulang, kawan-kawan dan keluarga saya mengajukan pertanyaan yang sama—bagaimana kami menghadapi badai, apakah saya pernah lihat lumba-lumba atau tentang apa yang kami lakukan sepanjang hari. Ternyata banyak orang yang buta sama sekali dengan kehidupan di atas laut. Alhasil, saya memanfaatkan kemampuan fotografi untuk menggambarkan seperti apa hidup di atas kapal pada semua orang.

Iklan

Mulanya fotografi buat Cezar hanya hobi yang ia lakukan kala liburan, sekarang dia melakukannya sambil kerja

Di dapur kapal

Kolegamu senang di foto?
Awalnya sih mereka malu. Sekarang, mereka malah senang-senang saja saya foto. Pasti ada sih yang kurang sreg di foto tapi kita toh enggak bisa menyenangkan semua orang kan. Bagaimana kamu memutuskan kegiatan keseharian pelaut mana yang menarik didokumentasikan?
Saya tak pernah merencanakan segalanya sebelum memotret karena saya ingin foto-foto buatan saya mewakili kehidupan di atas kapal senormal mungkin. Saya kan mekanik. Jadi, sebagian besar foto yang saya bagikan menggambarkan pekerjaan sehari-hari tim saya. Meski begitu, saya berusaha merekam sebanyak mungkin aspek di kapal dari berbagai departemen—dari geladak hingga dapur kapal.

Sudah 18 tahun Cezar bekerja sebagai pelaut

Seorang mekanik sedang membetulkan sesuatu

Berapa pelabuhan yang sudah kamu singggahi?
Wah susah ngitungnya, tapi pokoknya tempat-tempat yang belum saya singgahi adalah Australia, Jepang dan Pantai Pasifik Benua Amerika. Bagian dunia yang paling cantik yang pernah lewati adalah Selat Magellan di Amerika Selatan. Sayangnya, waktu itu saya belum kenal fotografi jadi aku tak sempat mengambil fotonya.

Bener enggak sih cap kalau pelaut itu kebayakan tukang mabuk yang misoginis?
Nah, sterotip itu kocak sih menurut saya. Enggak semua pelaut itu kasar, tukang mabuk dan tak bisa menunjukkan emosi yang tulus. Saya yakin pelaut macam itu beneran ada tapi orang-orang yang saya temui selama 18 tahun bekerja kebanyakan adalah manusia nomal yang baik. Ada benarnya kalau pekerjaan ini bikin kami punya kepribadian yang keras—kamu harus disiplin agar bisa bekerja di kapal. Pun, kamu bakal kesusahan membereskan masalah pribadi jika kamu jauh dari orang yang kamu sayangi. Namun, ini bukan berarti kami sekumpulan oramg busuk.

Iklan

Gambar dan renungan yang kami bagikan kerap menggambarkan sisi romantik dari kehidupan pelaut. Bisa ceritakan aspek dari pekerjaan kalian yang lebih menantang?
Saya memang sedikit meromantisir foto dan renungan saya, tapi mau bilang apa? Saya suka puisi. Pekerjaan pelaut bisa jadi sangat berat ketika misalnya kami menghadapi badai lebih dari yang kami perkirakan. Kami harus menghemat makanan dan air. Tapi, kalau boleh jujur, bagian yang paling berat adalah berada jauh dari rumah dalam waktu yang lama. Kalau salah satu anggota keluarga kami kena musibah, kami tak bisa melakukan apa-apa karena jauh dari rumah. Ini yang paling menyedihkan. Kamu sering berada dalam situasi yang mengancam nyawa? Misalnya, apa kamu pernah dicegat bajak laut?
Untungnya enggak. Kami jarang berlayar ke perairan yang dikuasai bajak laut. Meski begitu, kami selalu bersiap mempertahankan diri kalau hal-hal yang tak diinginkan terjadi—saat ini, sebagian besar kapal punya pasukan pengamanan bersenjata dan kami sering ikut dalam simulasi keadaan berbahaya. Saya sendiri pernah mengalami kecelakan di kapal—untungnya enggak fatal. Waktu itu ada selang yang putus dan muka saya terciprat semacam cairan kimia. Akibatnya, selama tiga hari mata saya bengkak. Mulanya, mata saya enggak bisa melihat tapi setelah beberapa lama, saya mulai bisa melihat bayangan dan penglihatan saya perlahan kembali. Ketakutan kehilangan penghilatan itu ternyata sangat menakutkan. Awak kapal biasanya datang dari latar belakang budaya dan agama yang berbeda, kalian susah berbaur enggak sih?
Jujur saja, saya berkerja di sebuah kapal di mana perbedaan latar belakang jadi masalah. Selalu saja ada ketegangan di kapal tapi tak pernah soal latar belakang agama dan budaya. Kalau tak sedang kerja, kamu ngapain di kapal?
Sampai beberapa tahun lalu, kami ngumpul di aula mess, nonton film atau main kartu—intinya nongkrong bareng. Sekarang sih, kawan-kawan saya lebih senang menghabiskan waktu di kabin, berselancar di internet atau nonton film di laptop. Teknologi memang bisa mendekatkan kami dengan keluarga tapi di kapal, teknologi meregangkan jarak antara awak kapal.

Iklan

Scroll ke bawah untuk melihat hasil jepretan Cezar lainnya.