FYI.

This story is over 5 years old.

malaysia

Sudah 2017 dan Masih Ada Iklan Rasis Sambut Idul Fitri di Malaysia

Iklan jaringan apotek Watson itu banyak menuai kritikan karena menggambarkan perempuan melayu dengan muka dicat hitam, kalah cantik dari wanita berkulit putih.
Alice .
oleh Alice .

Jaringan apotek internasional Watson menayangkan iklan panjang, tradisi tahunan, untuk menyambut momen Idul Fitri yang mengakhiri Bulan Ramadan tahun ini. Iklan 15 menit itu sebetulnya agak lucu, kalau saja isinya tak rasis luar biasa. Ya rasis. Bahkan banyak penduduk Malaysia dan Singapura yang ramai-ramai mengkritik substansi iklan tersebut. Di pariwara itu digambarkan seorang perempuan yang ikut kompetisi untuk menjadi pasangan seorang saudagar kaya, setelah membuka kerudungnya ternyata berwajah hitam legam. Itupun si pembuat iklan tak memakai perempuan kulit hitam asli, tapi wanita melayu biasa yang wajahnya dicat hitam dop.

Iklan

Saudagar di iklan tadi, diperankan aktor Malaysia Kamal Adli, segera kecewa melihat calon istrinya berkuli hitam. "Di mana lampu? Benarkah dia segelap itu?"

Si perempuan banyak dipuji selama kompetisi karena suaranya merdu, tapi kenapa wajahnya hitam legam. Para pemeran pendukung dalam iklan ikut kecewa.

Tak berapa lama, si perempuan hitam—diperankan Nur Ruhainis—kembali muncul, kali ini dengan kulit putih mengkilat. Wajahnya bahkan sekarang berbinar-binar. "Saya hanya mau menguji kejujuranmu, saya tak berkulit hitam, sebenarnya saya sempurna seperti yang kau lihat sekarang."

Sang saudagar tersimpuh malu, mengajaknya menikah, lalu semua orang menyanyikan lagu yang mengajak orang-orang tampil cantik dalam Idul Fitri tahun ini.

Sudah baca deskripsi singkat di atas? Mungkin pertanyaan kalian dan pertanyaanku tak jauh beda. Bagaimana bisa tim kreatif di iklan ini gagal menyadari kalau pesan yang mereka sampaikan rasis banget? Terlambat. Warga Malaysia dan Singapura yang menyaksikan iklan tersebut di televisi segera mengungkapkan kekesalan lewat media sosial. Bagaimanapun, kedua negara tetangga Indonesia yang jadi sasaran Watsons itu adalah negara multietnis. Pesan Idul Fitri untuk merendahkan satu warna kulit sama saja cari gara-gara.

Watsons buru-buru menarik iklan tersebut dari semua media, lalu mengajukan permintaan maaf terbuka. Mereka berdalih pesan yang ingin ditonjolkan dari pariwara itu adalah "inner beauty" bukan penampilan fisik. Mereka juga mengklaim tidak berniat mempropagandakan rasisme. Lalu, yang paling tak masuk akal, Watsons membela diri, menyebut ide iklan ini didasarkan pada legenda klasik Malaysia, Kisah Dayang Senandong, sehingga mereka menganggapnya tak akan memicu masalah.

Iklan

Eits, tunggu dulu. Katakanlah legenda tadi memang dari sononya rasis, emang terus tak masalah gitu kalau perusahaan modern yang hidup di 2017 mereplikasi pesan dari cerita rakyat lama semacam itu? Bagaimana bisa perusahaan yang hidup di era multietnis seperti sekarang masih berjualan produk krim pemutih memakai pesan kulit yang terang jauh lebih unggul daripada kulit hitam dan kulit coklat?

Cindy Gallop, aktivis kesetaraan dan keragaman etnis di Malaysia, mempertanyakan tujuan iklan dari Watsons tersebut. Dia mengatakan Watsons salah alamat kalau mengira publik Malaysia masih termakan gagasan bahwa perempuan berkulit putih lebih cantik daripada yang kulitnya gelap.

"Kenapa sih iklan semacam ini masih harus ada di 2017, dikemas sebagai ucapan selamat Idul Fitri 2017 pula? Kenapa di dalamnya harus ada seksisme, rasisme, dan pelecehan terhadap perempuan, transgender dan perempuan dengan warna kulit hitam?

Munculnya iklan rasis semacam ini menunjukkan masyarakat di Asia Tenggara masih punya pekerjaan rumah untuk membereskan pandangan yang tampaknya terus bertahan sampai sekarang: anggapan bahwa perempuan dan lelaki berkulit gelap kalah menarik secara fisik dari yang berkulit terang. Padahal ratusan juta orang di Asia Tenggara jelas-jelas kulitnya sawo matang cenderung legam. Pemikiran sejenis, di negara-negara Barat sudah dikecam sejak dua dekade lalu dan dianggap peninggalan era kolonial. Di Asia Tenggara, perusahaan masih saja berusaha menampilkan konsep semacam itu.

Obsesi terhadap kulit terang ini dapat dilacak sejak era kolonial. Selama sekian abad, perempuan di berbagai negara ASEAN yang bisa memiliki kulit cerah, hanyalah mereka yang tidak harus bekerja di bawah sengatan sinar matahari. Tentu saja, kalau tidak melibatkan keluarga ningrat ya berarti anggota kerajaan. Mustahil ada kelas pekerja atau petani yang bisa memiliki kulit cerah.

Aku sih berharap iklan Watsons ini yang terakhir kalinya masih memakai cara pandang kuno menjelek-jelekkan warna kulit tertentu. Sudah sepatutnya kita naik kelas, tak lagi menggunakan sudut pandang dikotomis tentang standar kecantikan. Eh, tunggu dulu, kamu bilang apa? Ada iklan Guardian di Malaysia yang baru saja muncul dan juga ngomongin standar cantik itu putiyh? NJIR.