Kekerasan di Sekolah

Minta Izin ke Toilet, Pelajar di Polewali Mandar Malah Dipukul Kepala Sekolah

Jadi ingat, dua tahun lalu Mendikbud bilang menolerir kekerasan di sekolah sepanjang masih dalam "batas tertentu."
Minta Izin ke Toilet, Pelajar di Polewali Mandar Malah Dipukul Kepala Sekolah
Ilustrasi toilet sekolah [kiri] via Pexels/domain publik; ilustrasi pelajar SMA dari foto Darren Whiteside/Reuters

Izin ke toilet tapi malah berujung jajan mi goreng di kantin adalah salah satu modus operandi kenakalan anak sekolahan paling klasik. Seorang guru di Polewali Mandar, Sulawesi Barat kayaknya paham banget sama modus ini dan memutuskan untuk memeranginya. Sayang, upayanya kelewatan. RB, siswa Madrasah Aliyah Izzatul Maarif, dihajar dan dikeluarkan dari sekolah akibat hendak izin ke toilet di tengah-tengah proses belajar-mengajar.

Iklan

Pallaupa, orang tua RB, langsung kebingungan mendengar kabar ini. Ia lantas mendatangi sekolah untuk meminta kejelasan: Separah apa sih debatnya sampai-sampai anaknya harus kehilangan sekolah? Sayang, keinginan mendapatkan klarifikasi cerita versi sekolah belum bisa didapatnya karena kepala sekolah dan guru yang bersangkutan tidak ada di sekolah dan tidak bisa dihubungi.

“Saya ini datang ke sekolah hendak mengklarifikasi langsung dengan pihak sekolah, apa masalahnya anak saya tiba-tiba dikeluarkan dari sekolah? Kalau alasannya hanya mendebat guru, menurut saya itu tidak cukup beralasan mengeluarkan siswa dari sekolah,” ujar Pallaupa kepada Kompas. Laporan Junaedi, kontributor Kompas di Polewali Mandar, menyebut Pallaupa sudah menunggu tiga jam di sekolah, namun kepala MA dan si guru tidak jua muncul.

Menurut cerita Pallaupa yang mengutip versi anaknya, semua ini dimulai dari permintaan izin anaknya untuk ke toilet di tengah jam pelajaran karena merasa udah kebelet banget. Sang guru menolak karena merasa ini akal-akalan RB mau bolos sekolah.

Perdebatan terjadi di antara keduanya hingga RB dianggap lancang sampai-sampai diajak bertarung oleh sang guru, yang ditolak RB. Guru itu kemudian mengadu ke kepala sekolah sehingga RB langsung dipanggil untuk menghadap. Saat berada di depan kepala sekolah, RB mengaku ditinju dan didorong si kepala sekolah.

“Banyak siswa lain menyaksikannya. Dia ditinju dan didorong keluar dari sekolah,” kata Muhajir, siswa lain yang mengaku menyaksikan kejadian tersebut, kepada Kompas. Dilaporkan bahwa awak media sudah dua hari berusaha menemui kepala sekolah dan guru yang terlibat, namun keduanya tidak diketahui keberadaannya. Situasi ini membuat Pallaupa berencana mengadu ke Kementerian Agama, instansi yang mengatur kebijakan pendidikan di sekolah keagamaan.

Iklan

Kekerasan guru kepada anak didik yang izin ke toilet bukan kali pertama ini terjadi. Empat tahun lalu di Kupang, Nusa Tenggara Timur, siswa SD Inpres Naimata bernama Sandi harus dilarikan ke rumah sakit karena kepalanya dibenturkan oleh sang guru karena hendak izin ke toilet di tengah proses belajar. Saat didatangi polisi, pihak sekolah mengaku akan mengupayakan jalan damai antara sang guru dengan keluarga Sandi. Namun, sang guru malah mengancam akan membuat perhitungan dengan sang keluarga apabila kasus ini dibawa ke media.

Lantas bagaimana pandangan ahli terkait sanksi kekerasan oleh guru kepada muridnya? Dua tahun lalu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhajir Effendy pernah memberikan pernyataan yang ortodoks banget. Ia menganggap sanksi fisik yang diberikan guru bisa ditoleransi supaya anak didik nantinya tahan banting.

“Ya mungkin sekarang itu banyak salah paham dalam paham HAM. Jadi, tentang HAM melarang tindakan kekerasan itu (sebenarnya) setuju tapi dalam batas tertentu. Sanksi fisik pun bisa ditoleransi dalam pendidikan,” kata Muhadjir, dikutip Sindonews. Menteri Muhadjir nih apa nggak sadar, pernyataannya yang tidak menjelaskan secara rinci batas tertentu yang ia maksud bisa memunculkan tafsir macam-macam di masyarakat.

BBC Indonesia pernah mewawancarai pakar pendidikan Arief Rachman terkait isu ini. Pendapat Arief tegas, kekerasan di sekolah dalam konteks apa pun tidak diperbolehkan.

“Yang jelas menampar tidak boleh dong. Menjewer kalau kultur jaman dulu masih diterima. Sekarang ada hak asasi manusia, dianggap tidak [boleh]," ujar Arief kepada BBC Indonesia. "Definisi kekerasan dalam pendidikan adalah hukuman terasa keras bagi anak sehingga anak merasakan sakit. Hukuman dalam pendidikan kan harusnya memberikan kesadaran untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi."