Jaksa Agung Amerika Serikat Bill Barr menyatakan mundur dari jabatannya akhir Desember ini, hampir sebulan lebih cepat dari seharusnya. Pemerintahan Donald Trump berakhir 20 Januari 2021, yang selanjutnya digantikan Presiden terpilih Joe Biden ditemani Wakil presiden terpilih Kamala Harris.
Barr mundur hanya beberapa menit setelah muncul kabar wakil para pemilih AS, biasa disebut electoral college, menuntaskan pilpres dengan menegaskan Joe Biden mendapat suara mayoritas 306, berbanding 232 untuk Trump. Barr, yang selama ini disebut sebagai orang kepercayaan Trump, mengaku tidak bisa membuktikan adanya kecurangan massif dan sistematis dalam pemilu AS bulan lalu.
Videos by VICE
Pernyataan itu membuat Trump marah besar di Twitter. Barr dianggap gagal mengaitkan kecurangan pemilu dengan cerita konspirasi bahwa anak Biden mengemplang pajak. “Seharusnya jaksa agung mengungkap cerita itu sebelum momen pemilu,” tuding presiden Amerika.
Barr tidak spesifik menyinggung isu pemilu dalam surat terbuka sebagai pemicu keputusannya mundur. “Saya akan fokus mempersiapkan semua hal yang dibutuhkan penerus saya sebelum purna tugas pada 23 Desember mendatang,” kata Barr. Di surat itu, dia tetap memuji Trump dan mengaku bangga diberi kepercayaan menjadi jaksa agung.
Sedikit konteks, pilpres Amerika memang unik. Pemenang tidak ditentukan oleh suara mayoritas tapi dari electoral college, perwakilan tiap negara bagian yang memberi dukungan pada presiden sesuai hasil proporsional per distrik di setiap negara bagian. Dalam pertemuan elecotral college 14 Desember, capres dari Partai Demokrat resmi menang.
Tapi, seperti yang terjadi di Indonesia selama dua pilpres terakhir, Trump bersama pendukungnya ngotot kalau pemilu dicurangi. Berbagai berita palsu dan hoax tersebar di media sosial, mengklaim ada “bukti-bukti” Biden bersama Demokrat mengerahkan pasukan pemilih yang sebenarnya orang sudah meninggal. Berdasar survei CBS/YouGov, empat dari lima pendukung Trump meyakini idola mereka dicurangi, sehingga kemenangan Biden tidak sah.
Pengadilan di berbagai negara bagian membuktikan tuduhan itu tak berdasar. Bahkan setelah hitung ulang dilakukan, Biden terbukti tetap unggul dari Trump dengan lebih dari 7 juta suara. Biden berusaha mengabaikan suara minoritas yang terus meneriakkan kecurangan, dengan memuji kedewasaan institusi demokratik di Amerika.
“Negara ini berulang kali membuktikan bahwa politikus tidak bisa berkuasa sesukanya, sekalipun dia ingin, karena ada mekanisme yang bekerja dan semua institusi bekerja sesuai mandat dari rakyat,” kata Biden mengomentari keputusan electoral college.
Para pendukung Trump, saking tak terimanya Biden menang, sampai membuat gerakan electoral college sendiri. Secara hukum, aksi mereka tidak akan dianggap sah. Beberapa orang dari Michigan, yang mengaku anggota kelompok di atas, berusaha masuk ruangan pertemuan electoral college di Gedung Parlemen di Washington D.C kemarin sore, tapi diusir polisi. Mereka merasa dizalimi.
Barr sendiri, dalam suratnya, mengindikasikan alasannya mundur. Dia ingin “integritas pemilu AS dan kepercayaan masyarakat pada lembaga-lembaga tersebut terjaga,” tulisnya. Artinya, dia tetap pada pendirian bahwa tidak ada kecurangan seperti diharapkan Trump.
Di Twitter, Trump sudah sering membully Barr, serta mengancam akan memecatnya. Setelah si jaksa agung mundur betulan, Trump berubah sikap, mengaku mereka selalu punya hubungan baik. “Kami sudah bertemu membahas keputusannya dan pertemuan ini berjalan baik,” klaim Trump lewat media sosial.
Bagaimanapun, Trump mulai kehilangan dukungan dari Partai Republik yang menyokongnya. Elit-elit Republikan yang selama ini terus ikut mengklaim ada kecurangan, akhirnya mengakui Biden merupakan presiden terpilih setelah ditetapkan oleh electoral college.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE News