Semakin banyak orang yang melancong sendirian sekarang. Agen tur dan travel melaporkan sebuah tren baru: generasi millennial saat ini lebih suka menciptakan pengalaman tak terduga daripada berlibur bersama keluarga atau teman yang terencana sejak jauh-jauh hari.
Perlu diingat kalau istilah ‘solo travel’ bukan berarti kalian benar-benar sendirian selama liburan. Maksud konsep ini yang sebenarnya adalah kalian bersedia berhadapan langsung dengan situasi, tempat, dan orang-orang yang berbeda secara budaya. Kalian bisa saja tidak bisa mengalaminya kalau bepergian bersama orang-orang yang sudah dikenal.
Videos by VICE
Sebagai pelancong sejati, aku berteman dengan beberapa orang ketika sedang pergi sendirian. Misalnya waktu aku pergi ke festival tanpa ponsel dan kebingungan lagi ada di mana. Atau bergabung dengan orang lain ketika tak sengaja mengikuti grup tur yang terencana. Pada kesempatan lain, pergi sendirian memungkinkan kita untuk berkenalan dengan orang baru. Kalian bisa melakukannya di mana saja, baik itu di kafe, kereta, maupun kolam renang hotel.
Memang, sih, ada orang yang suka ke mana-mana sendirian. Bagi sebagian besar orang, harus bertindak sendiri dan mengalami langsung momen yang bisa dijadikan introspeksi diri (tanpa perlu makan bareng dengan rekan atau teman) terdengar sangat menantang. Akan tetapi, ada manfaatnya kalau kalian melakukannya dengan tepat.
Pada umumnya, pelancong merasa lebih bebas kalau berlibur sendirian. Editor Inggris legendaris Diana Athill menulis bahwa, “mengamati sesuatu bukan kegiatan yang sia-sia.” Kegiatan ini paling pas dilakukan saat jalan-jalan. Ada kepuasan tersendiri kalau bisa menatap kesibukan sehari-hari di sekitar kita, khususnya ketika sedang berjalan sendirian.
Ketika asyik jalan kaki sendirian ke Cornwall dulu, aku sempat berhenti untuk memandangi seekor anjing yang sedang mengatur gerombolan domba. Aku mengamati gerakan anjing itu yang sangat teliti dan lincah, sedangkan tatapannya ekspresif dan disiplin. Aku bisa merasakan tekad dan semangatnya, begitu juga dengan kesederhanaan para domba yang mengikuti suruhannya dengan patuh.
Kita bisa berkembang dari semua pengalaman berlibur sendirian ini. “Solo travel memberimu waktu untuk merefleksikan kehidupanmu dan apa yang ingin dicapai di masa depan,” kata Cary Cooper kepadaku.
“Kamu jadi lebih percaya diri karena harus mengatasi sesuatu sendirian, terutama kalau kami pergi ke daerah terpencil. Kamu terpaksa mengatasi hal-hal yang tak biasa kamu hadapi, jadi kamu mesti memahami sendiri apa yang harus kamu lakukan.”
Penulis drama terkenal dari Rusia, Anton Chekhov, pernah mengatakan “setiap orang bisa menghadapi krisis.” Ucapannya yang terkenal ini relevan dengan perkataan Cooper. “Sebagian besar orang menyadari kalau sebenarnya mereka bisa mengatasi berbagai hal yang mereka kira tak mampu sebelumnya,” kata Prof. Cooper. Berhadapan dengan situasi yang tidak biasa saat berlibur sendiri memaksa kita untuk menghadapi ketakutan dan kecemasan kita.
Cooper adalah Ketua CIPD (asosiasi tenaga ahli) yang karya-karyanya dalam bidang kesehatan dan kesejahteraan di tempat kerja sangat terkenal, menjelaskan manfaat lainnya jalan-jalan sendirian. “Kamu akan lebih tahan banting menghadapi kehidupan” dan “meningkatkan kepercayaan diri”, serta “lebih mudah beradaptasi.” Semua ini tentu saja bagus untuk kesehatan mentalmu.
“Bepergian sendiri membangun ketahanan diri: hal ini memberikan perspektif pada kehidupanmu saat ini, ke mana kamu ingin pergi selanjutnya, dan membuatmu lebih sering berpikir karena kamu punya waktu dan ruang untuk melakukannya,” katanya.
Kalau ragu untuk liburan sendiri, kalian bisa membaca penelitian dari akademisi Bella DePaulo (penulis Singled Out: How Singles Are Stereotyped, Stigmatized, and Ignored, and Still Live Happily Ever After) yang mematahkan stereotip orang lajang. Siapa tahu kalian jadi berubah pikiran setelah membacanya.
DePaulo mempersembahkan studi yang menunjukkan bahwa orang yang makan sendirian di restoran tidak dinilai berbeda dengan orang lain yang makan bersama kelompoknya. “Ketika saya mengamati orang-orang yang makan sendirian,” kata DePaulo kepadaku, “Saya menyimpulkan mereka tidak dinilai buruk oleh pengunjung restoran lainnya, seperti pasangan atau sekelompok teman. Kenyataannya, ada beberapa komen positif dan bahkan iri tentang orang yang makan sendirian: misalnya, mereka lebih tenang, bijaksana dan aman.”
Dari semua penjelasan tersebut, pesannya jelas: Kalian tidak akan kelihatan aneh kalau melancong sendirian. Kegiatan ini juga memiliki banyak manfaat untuk kesehatan. Satu hal negatif dari solo travel adalah biayanya. Sayang, perjalanan semacam ini selalu menuntut biaya tambahan yang jauh lebih mahal dibanding jalan bareng kawan, dan rasanya ini tidak adil.
Awal tahun ini, penelitian yang dilakukan oleh majalah Good Housekeeping menunjukkan bahwa biaya hidup tahunan rata-rata orang lajang di Eropa lebih mahal setara Rp39 juta daripada orang yang hidup bersama. Mau tahu apa perbedaan biaya terbesarnya? Biaya melancong. Hal yang sama pasti terjadi pula buat anak muda Indonesia yang doyan jalan-jalan.
Agen travel biasanya mengenakan biaya suplemen untuk orang yang memesan kamar hotel sendirian. Tetapi ini sudah mulai berubah. Banyak paket yang menawarkan promo satu bulan bepergian gratis kepada semua orang yang memesan sepanjang September untuk memahami kesulitan yang dialami solo traveler.
“Semakin banyak orang yang melakukan solo traveling,” ujar Joel Brandon-Bravo, Manajer Travelzoo UK. “Kami di Travelzoo tidak pernah kepikiran akan mengubah industri pariwisata begitu saja, tapi kami mendapatkan lebih dari 20 mitra perjalanan yang berpartisipasi dalam kampanye ‘Solo September’ kami yang mendukung penurunan biaya untuk solo travel. Industri perjalanan harus mendukung orang yang ingin liburan sendirian.”
Tidak hanya Travelzoo yang melakukannya. Riviera Travel, Crystal Cruises, dan Flash Pack menawarkan suplemen solo yang lebih rendah, dan pada pasar pelancong di atas 50 tahun. Sedangkan Titan sedang berusaha merendahkan atau menghapuskan biaya tambahan untuk para pelancong solo.
Masih banyak yang harus dilakukan sebelum pilihan solo travel bisa mencapai harga terjangkau untuk satu orang, baik yang lajang maupun mereka yang ingin bepergian sendiri untuk mencoba hal-hal baru. Untungnya, hasil penelitian Cooper dan DePaula memberi harapan kepada solo traveler untuk setidaknya mulai menabung supaya bisa merealisasikan perjalanan idaman mereka.
Adam Bloodworth adalah penulis lepas yang tinggal di London. Jangan lupa follow dia di Twitter.
Artikel ini pertama kali tayang di AMUSE