Gereja Katolik Roma akhir bulan lalu menggelar Pertemuan Tingkat Tinggi di Vatikan tentang perlindungan anak. Semestinya pertemuan tersebut amat penting, terutama bagi institusi agama yang berulang kali tercoreng skandal pelecehan seksual menyeret banyak petinggi gereja di berbagai negara.
Namun, sejak awal pertemuan itu digelar, Tahta Suci sudah menegaskan tak akan bisa muncul solusi praktis membereskan masalah pelecehan seksual yang merundung Gereja Katolik. Itu sebabnya generasi muda Katolik mulai khawatir akan masa depan otoritas gereja di mata jemaat.
Videos by VICE
Nyaris 200 kardinal dan uskup dari seluruh dunia datang ke Vatikan menghadiri pertemuan yang berjalan selama empat hari tersebut. Pertemuan tersebut dihelat untuk menunjukkan bahwa Gereja Katolik serius memberantas pelecehan anak-anak sistematik yang berlangsung selama beberapa dekade, baik itu di Amerika Serikat, Eropa, hingga Afrika.
Paus Fransiskus menyangsikan efektivitas pertemuan formal macam ini, kendati tetap memberikan dukungan kepada semua delegasi. “Saya memiliki permintaan dari hati yang terdalam, agar kita semua memerangi pelecehan anak secara habis-habisan karena kita menghadapi bentuk kejahatan mengerikan yang harus dimusnahkan dari muka bumi,” katanya.
Di akhir pertemuan tersebut, merespons kritik pedas yang diarahkan Gereja Katolik Roma, muncul 21 panduan bagi seluruh uskup menangani dan mendeteksi kemungkinan terjadi pelecehan seksual melibatkan anggota Paroki. Panduan yang disusun masih sangat mendasar. Misalnya para uskup diminta membuat daftar tindakan darurat yang perlu diambil bila ditemukan pelecehan seksual. Salah satu butir panduan tersebut juga memerintahkan pemuka agama Katolik segera melaporkan ke pihak berwenang terkait tuduhan pelecehan seksual. Semua itu, tentu saja, tidak menyangkut reformasi lembaga dan hanya berbasis akal sehat.
Pemuka agama Katolik menegaskan inti pertemuan itu bukanlah sekadar mengembalikan nama baik gereja, melainkan benar-benar memastikan gereja jadi tempat aman bagi semua orang.
“Saya percaya kita tak bisa mengambil keputusan atas dasar kepentingan kita sendiri, seperti misalnya ingin mendatangkan lebih banyak orang ke gereja,” ujar Kardinal Blase Cupich dari Chicago, salah satu sosok kunci dalam penyelenggaran pertemuan tingkat tinggi tersebut, saat diwawancarai VICE News. “Tugas utama kami adalah memastikan anak-anak di gereja aman. Jika kami serius melakukannya, segalanya akan berjalan seperti semestinya.”
Rasa optimis seperti ini tak dimiliki oleh generasi muda Katolik. VICE News betemu dengan sekelompok anak muda Katolik asal Amerika Serikat yang tengah menempuh pendidikan di Roma.
John Paul Check, 21 tahun, merasa respons yang diberikan Vatikan tidak memadai. “Lambannya Vatikan merespon kasus pelecehan seksual beberapa tahun lalu jujur saja sangat memalukan. Menurut saya berpura-pura bikin pertemuan lima hari, atau kegiatan sejenis itu, lalu merasa sudah cukup mengenyahkan pelecehan seksual di lingkungan gereja adalah gagasan konyol.”
Rekan satu kelas Check, Jordan Carew, juga kecewa melihat keputusan gereja.
Carew dilahirkan di keluarga Katolik taat. Dia adalah putra altar dan selalu terlibat paduan suara di gereja dekat rumahnya. Baginya, dampak kasus pelecehan seksual di lingkungan gereja Katolik terlanjur menggerus kepercayaan masyarakat—setidaknya di Amerika Serikat.
“Dampaknya tak bisa dipandang sebelah mata,” katanya pada VICE News. “Di keuskupan saya di Minnesota, misalnya, pendeta yang berusia muda tinggal segelintir. Makanya, kamu harus menggabungkan empat paroki berbeda jadi satu. Hanya ada dua pendeta untuk empat paroki. Parahnya lagi, dampaknya kasus pelecehan seksual di lingkungan gereja ini berlipat ganda. Pasalnya, kami tak cuma kehilangan pendeta tapi juga jemaat gereja.”
Video laporan pendek VICE soal upaya Vatikan menangani kasus pelecehan seksual petinggi gereja bisa ditonton di tautan awal artikel. Segmen tersebut dimulai menit 14.06.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE News