Terungkapnya jaringan pedofilia di media sosial oleh Kepolisian Indonesia menghebohkan publik. Polri mencokok empat admin grup Facebook yang diberi nama ‘Official Candy’s Group’. Di grup yang beranggotakan 7.479 orang ini, terdapat ratusan konten pornografi anak-anak. “Berdasarkan yang kami lakukan analisa, ada 600 images, terdiri dari 500 video dan 100 foto,” ujar Direktur Reskrimsus Polda Metro Jaya Kombes Wahyu Hadiningrat.
Wahyu menyatakan salah satu admin grup tersebut terhubung dengan sebelas grup pedofil di sembilan negara, termasuk di antaranya dari Peru dan Amerika serikat. “Salah satu admin WW itu yang punya koneksi. Dari grup Facebook itu connect ke WhatsApp dan Telegram sehingga di ada 11 grup lagi yang internasional.”
Videos by VICE
Kasus ini mengingatkan publik pada begitu mudahnya pedofil memperoleh akses terhadap materi pornografi anak, maupun foto-foto bocah di bawah umur. Investigasi BBC awal bulan ini menyatakan pedofil sangat leluasa menyebarkan konten-konten pornografi melibatkan anak di bawah umur melalui grup-grup privat di Facebook. Seringkali konten foto anak itu bahkan tidak mengandung muatan seksual, namun tersebar di grup yang dikelola jaringan pedofilia.
Lembaga Commons Media Committee di Inggris menyatakan teguran mereka kepada Facebook tak kunjung digubris. Mereka menemukan fakta 80 persen konten anak-anak di grup yang berisi para pedofil tak juga dihapus oleh sistem moderasi Facebook.
Jika dikaitkan dengan situasi di Indonesia, muncul kekhawatiran lain setelah grup Candy terungkap kepolisian. Banyak orang tua yang memakai Facebook di Tanah Air mengunggah foto ataupun video yang menampilkan anak-anak mereka. Pakar telematika Abimanyu Wachjoehidajat, menegaskan orangtua patut berhati-hati mengunggah konten semacam itu. “Saat seseorang mengunggah foto anaknya, konten ini tidak akan pernah hilang lagi dari ranah internet. Mau si anaknya atau orangtuanya sudah menghapus konten tersebut,” ungkap Abimanyu ketika dihubungi VICE Indonesia.
Pada era pemanfaatan media sosial yang massif seperti sekarang, sebagian pengguna Internet sebetulnya sadar bahaya mengunggah foto anak tanpa kehati-hatian. Influencer sosial media Cinta Ruhama Amelz—yang juga sering memposting foto anaknya—berbagi saran kepada orang tua lain. Dia mengingatkan agar foto anak yang diunggah tidak mencantumkan informasi mengenai lokasi spesifik, seperti alamat rumah atau alamat sekolah.
Aisyah Khairunnisa, ibu yang tinggal di Jakarta, mengamini pendapat tersebut. Dia mempublikasikan foto anaknya setelah beberapa trik khusus. “Gue mencoba ‘cari aman’ pas posting foto anak dengan kasih watermark di salah fotonya. Awalnya gue begitu buat menghindari supaya anak gue engga dicomot fotonya sama akun-akun penjual bayi,” ungkap Aisyah. “Tapi secara zaman semakin canggih, sekarang ada aja usaha orang jahat untuk crop muka anak dan ditempel ke foto naked body.”
Dihubungi terpisah, Pengamat media sosial Enda Nasution menyatakan pornografi anak biasanya diproduksi oleh jaringan kecil. Sangat mungkin sebagian besar konten lain diambil dari foto-foto anak yang tersebar di jejaring sosial. “Yang produksi konten orisinal begitu sangat kecil 5 persen,” ujarnya.
Enda menyatakan Polri juga pasti masih kesulitan melacak di grup medsos mana saja beredar konten anak yang rentan diakses pedofilia. “Permintaan data ke facebook itu tentu pakai prosedur karena Facebook enggak bisa serta merta ngasih data tanpa ada permintaan resmi dari kepolisian. Sedangkan biasanya kepolisian penyelesaian kasusnya lewat dijebak bukannya dicari informasinya.”
Apapun itu, mengunggah foto anak ke medsos terlalu sering bukan pilihan bijak. Enda merasa setiap orang tua kini perlu berpikir ulang setiap kali hendak posting foto sang buah hati. “Motivasinya engga jelek, cuma harus disadari ada risiko kalau sampai diakses oleh orang yang engga tepat.”
Sejauh ini Polri menjerat orang-orang yang terlibat jaringan Candy dengan pasal-pasal dari UU Informasi dan Teknologi. Para pedofil itu dianggap bersalah menyebar konten pornografi. Jika ditemukan bila ada yang menjadi pelaku kekerasan seksual pada anak, maka pasal yang dipakai adalah pidana. Hukuman bagi pedofil yang sekaligus melakukan kekerasan seksual di Indonesia bertambah berat.
Pemerintah Indonesia telah merevisi hukuman bagi pelaku kejahatan seksual yang selama ini dianggap terlalu ringan yang diatur dalam UU No. 23 tahun 2002. Kini ditambahkan satu pasal baru hukuman dikebiri secara kimiawi bagi siapapun yang melakukan kejahatan seksual pada anak. Beleid tersebut telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR. Di dalamnya tercantum hukuman kebiri bagi pelaku kekerasan seksual pada anak-anak meskipun ditolak dua fraksi yakni Gerindra dan PKS, karena keputusan tersebut dianggap tidak solutif bagi perlindungan anak.