Geliat Bisnis Perdukunan di Tanah Air Mengikuti Tren 4.0

Jasa perdukunan kini dipasarkan di situs marketplace, Instagram dan WhatsApp

Aroma tanah sehabis diguyur hujan deras memenuhi indra pencium tatkala saya tiba di kediaman Cokro Pamungkas yang berlokasi di kawasan Condet, Jakarta Timur. Rumah berwarna biru ini cukup susah ditemukan, karena mesti melewati banyak gang kecil yang bercabang.

“Mari masuk, mas,” sapanya dengan ramah. “Tapi, jangan lupa cuci tangan dulu di situ, ya,” kata Cokro seraya menunjuk saluran air berbentuk galon kecil yang berdiri di sudut rumah. Dukun pun, menurutnya, kini menerapkan social distancing saat praktik.

Videos by VICE

Penampilan laki-laki yang kerap disapa Ki Pamungkas ini terbilang nyentrik. Rambutnya ygondrong lebih dari sebahu terlihat menyatu dengan atribut serba hitam—baik itu sarung maupun blangkon—yang melekat pada tubuhnya. Saat saya datang, Cokro tengah melayani pasien, pasangan suami istri, yang sudah dikenalnya sejak lama.

“Saya itu kangen dengan Pak Kyai. Makanya saya sore ini sengaja datang ke sini,” tutur si suami. Cokro menjuluki pasiennya itu sebagai “Pak Haji”. Tak lama berselang, mereka masuk ke salah satu ruangan di dalam rumah Cokro selama kurang lebih 15 menit, sebelum akhirnya menuju halaman depan. Cokro lantas mengambil posisi di samping motor Pak Haji, yang bersebelahan dengan kendaraan milik saya. Dia diam sejenak dan sejurus kemudian membaca rapalan doa yang diamini secara seksama oleh Pak Haji.

Sulit mendengar isi doa yang dibacakan Cokro. Hanya beberapa penggal kalimat yang saya tangkap, seperti “semoga lancar” serta “terhindar dari bahaya.” Yang pasti, usai sesi doa tersebut berakhir, wajah Pak Haji tampak sumringah bak memperoleh durian runtuh.

Gambaran di atas merupakan kegiatan yang dilakukan Cokro sehari-hari. Oleh banyak orang, termasuk Pak Haji, Cokro dipandang sebagai ahli spiritual, merangkap dukun sampai paranormal, yang bisa membantu menyelesaikan pelbagai masalah batin maupun duniawi. Reputasinya telah moncer ke banyak penjuru.

Tapi, berbeda dari citra kebanyakan penyedia jasa layanan spiritual di Tanah Air, tak ada banyak asap dupa, aroma menyan, atau jampi-jampir selama pertemuan kami. Memang deretan keris masih terpampang di kediaman Cokro. Namun, selama kami ngobrol, Mata Cokro beberapa kali tertambat pada ponsel pintar. Sebab, jasanya dipasarkan terutama lewat internet.

Target pasarnya adalah mereka yang melek teknologi, termasuk anak muda usia di bawah 30 tahun. Dia sekaligus melayani konsultasi, maupun penjadwalan tatap muka dengan pasien, lewat aplikasi pesan WhatsApp. Perdukunan kini mulai turut tersapu gelombang revolusi industri 4.0.

Satu hal yang identik dari dunia klenik atau perdukunan adalah terbatasnya informasi mengenai para dukun. Satu dekade lalu, info dukun yang bukan dari kenalan kalian, lazimnya tersebar lewat iklan baris publikasi cetak menjangkau demografi kelas sosial menengah ke bawah seperti Meteor, Lampu Merah, Majalah Misteri, Hidayah, hingga Liberty.

Kendati segmented, taktik beriklan macam itu membuat kancah klenik menjadi lebih cult dan ikonik. Pembaca yang tumbuh besar di awal 2000-an pasti masih ingat iklan jasa primbon legendaris “cocoknya kerja di air” atau sosok ratu susuk Jeng Asih yang iklannya dua dekade lalu rajin bertebaran di berbagai media yang disebut di atas.

Seiring waktu, terlebih ketika kebutuhan masyarakat akan membaca informasi dari media cetak sudah tergantikan internet, dunia klenik harus beradaptasi. Mayoritas pelaku di dalamnya tidak lagi mengandalkan jasa iklan yang disediakan media cetak dan beralih ke ruang-ruang digital.

Contoh pelaku kancah klenik yang mulai mengedepankan strategi digital adalah Cokro. Saya menemukan informasi tentang dirinya tidak dari omongan teman yang sudah pernah memakai jasanya, melainkan dari internet. Semua hal yang berkaitan dengan Cokro terpampang begitu jelas di situs ini. Tak hanya memakai situs, informasi soal bisnis Cokro juga mampu diakses lewat WhatsApp resmi, yang sehari-harinya dipegang oleh admin khusus.

Cokro mengaku inisiatif untuk hadir secara daring datang dari anak didiknya yang rata-rata masih berusia muda. Oleh mereka, Cokro dibujuk agar bersedia membikin situs resmi sehingga strategi pemasaran bisa berjalan efektif dan menjaring banyak massa. “Saya setuju saja dan saya pikir ini cara bertahan di zaman sekarang,” tegasnya.

Selain Cokro, ada pula Tristiatul Mufalikhah, akrab disapa Jeng Risti, seorang paranormal muda asal Jepara yang mendaku punya aliran energi Aji Gembala Geni, hasil “ngelmu sejak remaja.” Bisnis klenik Jeng Risti berfokus pada pasang susuk modern.

Di ranah digital, publikasi soal Jeng Risti sangat lengkap. Dia punya situs resmi, akun Twitter dan Facebook, kanal YouTube, serta Instagram yang jumlah followers-nya sudah mencapai ribuan. Banyaknya saluran daring yang dimiliki Jeng Risti membuat layanan konsultasi, ambil contoh, lebih mudah dilakukan tanpa harus datang bertatap muka di tempat praktiknya.

Yang berseliweran di ranah daring tidak sebatas para pelakunya, tapi juga produk-produk klenik atau supranatural. Sekarang, jika Anda menginginkan produk seperti itu, layanan e-commerce menyediakan banyak alternatif. Saya menjumpai di Tokopedia ada akun yang menjual “Ajian Lembu Sekilan Instan” dengan harga Rp1,2 juta. Konon katanya, ajian ini bisa membuat pemakainya kebal dari senjata apa pun. Dahysat.

Setiap perubahan zaman punya respons dengan bermacam bentuk. Ada yang menolak tunduk, ada pula yang bersedia menyesuaikan diri. Bagi para pelaku di kancah klenik, opsi nomor dua dianggap lebih realistis. Teknologi, di mata mereka, mampu membuat kerja-kerja ‘spiritual’ menjadi lebih mudah dan syukur-syukur, harapannya, menjaring banyak (calon) konsumen.

Prapto Yuwono, dosen Sastra Jawa dari Universitas Indonesia, menerangkan bahwa kemunculan praktik klenik, setidaknya di Pulau Jawa, bakal sulit terhapus hanya karena kemajuan teknologi. Sebab, ditinjau dari perspektif sosiologis, klenik merupakan eskapisme sekaligus sikap pemberontakan manusia dari kekuasaan agama maupun politik yang dianggap represif terhadap kebebasan mereka.

“Akarnya bisa ditarik sejak zaman kolonial. Waktu itu, kekuasaan agama dilihat sebagai wujud pengekangan. Bahkan, oleh pemerintah Belanda, agama juga dipakai sebagai alat politik. Inilah yang kemudian membuat orang-orang Jawa, yang dikenal kolot untuk urusan agama, membelot. Maka, dari sini muncul istilah seperti ‘Ratu Adil’ dan sejenisnya,” kata pengarang buku Sistem Hukum Jawa Abad ke-18 ini saat dihubungi VICE.

Dalam penerapannya, upaya pelarian itu acapkali disebut sebagai cara baru mencari Tuhan. Sebagaimana sebuah usaha pada umumnya, Prapto bilang, tentu ada trial and error. Artinya, tidak semua berhasil dilakukan. Yang sukses melewati tahapan tersebut biasanya termanifestasi melalui wujud kebatinan ( kejawen). Sedangkan yang gagal, dan ini jadi masalah ke depannya, berubah rupa sebagai klenik.

“Klenik ini hakikatnya meminta bantuan makhluk lain memakai jalan mistis. Ini yang melenceng dari tujuan pencarian tadi,” terangnya.

1594271575531-_DSF5288
koleksi keris di kediaman Cokro.

Pertentangan terhadap praktik-praktik seperti ini sudah pasti tumbuh di kalangan masyarakat. Praktik kejawen, misalnya, dianggap sesat dari ajaran agama oleh para ulama yang baru pulang dari Mekkah. Padahal, menurut Prapto, kejawen sudah menjadi bagian dari tradisi masyarakat, yang pertama kali diperkenalkan di zaman Sultan Agung Mataram melalui sinkretisme. Tujuannya: mengenalkan Islam dengan pendekatan kearifan lokal agar mudah diterima orang-orang setempat.

“Hanya karena baru pulang belajar atau ibadah dari Mekkah, orang-orang dan ulama ini seketika merasa paling tahu soal agama. Lalu tibalah mereka menyatakan praktik kejawen sebagai sesat, syirik, dan tuduhan buruk lainnya,” ujar Prapto. “Akhirnya, mereka yang menerapkan kejawen pelan-pelan mundur dari keramaian dan memilih melakukan ibadahnya secara sembunyi-sembunyi.”

Selain marak di kelompok akar rumput, praktik klenik juga tumbuh subur di level elite pemerintahan, terutama saat rezim Orde Baru berkuasa. Sang pemimpin rezim, Suharto, dikenal cukup militan dalam menerapkan laku-laku mistis semacam itu. Prapto sendiri pernah menjadi saksi mata bagaimana Soeharto percaya betul dengan hal-hal berbau klenik.

“Jadi ceritanya Pak Harto sempat mengumpulkan banyak dukun di satu tempat, dan mereka ditanyai satu per satu tentang arah kebijakan pemerintah,” ujarnya seraya tertawa.

Dani Saptoni, filolog sekaligus pemimpin komunitas sejarah Solo Societeit, mengungkapkan bahwa klenik menjadi masalah selama digunakan di luar niat utama: mendekatkan diri pada Tuhan dan semesta alam. Karena, menurut Dani, klenik sendiri merupakan turunan dari praktik budaya Jawa yang mengakar kuat di lingkungan sosial masyarakat.

“Ada dua tujuan dari klenik. Satu, tujuan yang bersifat mistis, dalam hal ini ada korelasinya dengan ketuhanan. Kedua, tujuan komersil yang bisa dilihat lewat paranormal, pengobatan alternatif, sampai upaya menyakiti orang lain. Nah, yang kedua inilah yang sebetulnya dilarang,” papar lulusan Sastra Jawa Universitas Negeri Sebelas Maret Solo ini.

Kiprah Cokro dalam kancah realisme magis nusantara tidak sekonyong-konyong lahir begitu saja. Jalannya panjang dan, mengutip penuturannya, dipenuhi belokan yang berliku. Cokro tumbuh di lingkungan religius. Masa kecil hingga remajanya dihabiskan di sebuah pondok pesantren di Jombang, Jawa Timur.

Selama belajar di pondok, Cokro muda gemar sekali menekuni bela diri, selain membaca kitab suci. Alasan mengapa dia suka olahraga tersebut cukup sederhana: bagi Cokro, bela diri menyediakan ruang meditasi. Pendeknya, dia bisa merasakan ketenangan.

“Karena di samping olahraga, bela diri itu juga olah rasa. Bagaimana kita mengatur segala hal yang ada di dalam tubuh kita, ada di pikiran kita,” jelasnya kepada VICE.

Mentas dari pondok, sekitar warsa 1996, Cokro melanjutkan studi ke jurusan tarbiyah. Di sela-sela perkuliahannya, Cokro menyempatkan diri untuk memulai petualangan dalam mencari ilmu yang tidak didapatkannya secara formal. Dia lalu njajah desa milang kori (menjelajah desa) hingga Trowulan dan berguru pada sejumlah ajengan lokal.

Salah satu jujukannya yakni kiai yang mengaku pernah menjadi pengawal Pangeran Diponegoro. Di sana, Cokro belajar banyak hal; dari spiritual, kebatinan, supranatural, hingga penerapan nilai-nilai keislaman yang sudah menyatu dengan tradisi Jawa—atau kejawen.

Setelah dirasa cukup, Cokro menyudahi petualangannya. Dia lantas menuju Surabaya untuk bekerja di perusahaan kontraktor, bidang profesi yang sama sekali tidak berhubungan dengan latarbelakang pendidikannya. Selama di Ibu Kota Jawa Timur, bukannya merasa nyaman, Cokro justru diliputi kebimbangan. Pikirannya kalut, dan dia kian tidak fokus bekerja dari hari ke hari.

“Sampai tiba ketika saya mimpi tiga malam berturut di mana saya ditunjukkan pintu bertuliskan exit yang terbuka. Itu di lorong kantor saya,” kenangnya. “Akhirnya, saya memutuskan untuk keluar waktu krisis moneter 1998. Jadi momennya pas.”

Dari Surabaya, Cokro pergi ke Kediri guna mengajar di sebuah pondok pesantren kecil. Enam bulan di sana, Cokro diperbantukan di bagian pembacaan kitab suci. Cokro menerima tawaran itu dengan harapan pikirannya dapat segar kembali selepas pergulatan batin yang dialami ketika bekerja di Surabaya.

Setahun pascareformasi, Cokro menerima panggilan dari Ki Edan Amongrogo, yang pada masa itu sudah menyandang status sebagai paranormal kondang. Cokro diminta ke Jakarta untuk membantu praktik Amongrogo yang terbentang dari jasa pengobatan alternatif sampai perburuan demit. Cokro, tanpa pikir panjang, menyanggupi.



Pengalaman bekerja bersama Amongrogo lantas mendorong Cokro untuk membuka praktik secara mandiri. Awal 2000-an, rencana tersebut dia wujudkan. Cakupan bisnisnya cukup beragam. Dia melayani jasa konsultasi masalah rumah tangga hingga kiat sukses jadi PNS. Tak hanya itu, pengobatan alternatif yang memakai metode totok maupun ruqyah turut dia operasikan.

Dalam perjalanannya, Cokro tidak menerima pasien secara serampangan. Dia lebih dulu melihat kondisi pasien, apakah benar-benar datang ke tempat praktiknya dengan niat ‘sembuh’ dari masalah, atau malah justru punya tujuan jahat seperti ingin mengirim santet kepada orang lain.

Namun demikian, untuk kasus santet, Cokro tidak serta merta menolak. Dia akan berpura-pura menyetujui, tapi sejatinya, di balik itu, dia berupaya meluruskan niat orang bersangkutan melalui obrolan intensif—mengajaknya introspeksi diri.

Mereka yang biasanya datang untuk keperluan santet, menurut Cokro, berasal dari kelompok berpenghasilan cukup, alias orang-orang yang mapan secara finansial. Ini, Cokro bilang, tidak mengherankan lantaran modal santet tergolong tinggi—tanpa menyebut berapa nominalnya.

“Makanya jarang sekali anak muda yang datang untuk itu [santet]. Karena mereka enggak mau ambil risiko kehilangan banyak uang. Beda dengan mereka yang sudah mantap secara karier,” ucapnya.

Karier spiritual Cokro tak sekadar diisi dengan membereskan masalah-masalah klien. Dalam beberapa kesempatan, dia juga pernah berpartisipasi pada reality show bertajuk Lorong Mistik, yang ditayangkan di salah satu saluran televisi berbayar. Program ini bertujuan untuk mencari keberadaan mereka yang ghaib dan seturut klaim Cokro, “menggunakan pendekatan metafisik serta ilmu eksakta.”

Beberapa tahun belakangan, ketika takhayul perlahan ditinggalkan dan orang-orang memuja teknologi, Cokro mengakui jasa perdukunan mendapat citra yang makin negatif. Tapi dia yakin kemajuan teknologi tak akan langsung menghapus kebutuhan pasar terhadap praktisi ilmu supranatural. “Lagi pula kenapa cuma alergi terhadap dukun, tapi tidak dengan tabib yang secara umum kerjanya sama-sama mengobati?”

Cokro memilih mengabaikan tudingan miring yang terus dialamatkan pada bisnis perdukunan. Untuknya, yang terpenting adalah bagaimana profesi ini bisa memberi manfaat bagi orang-orang yang membutuhkan.

“Di sinilah kemudian saya sadar bahwa ini jalan hidup saya,” tandas Cokro. “Sebab dengan begini saya bisa bermanfaat bagi sekeliling saya.”

Faisal Irfani adalah jurnalis lepas di Jakarta. Follow dia di Instagram