Jasad Bergelimpangan Tiap Malam: Merekam Perang Narkoba Brutal Filipina

*Foto-foto di artikel ini mengandung kekerasan.

Lebih dari 6 ribu orang tewas selama operasi pemberantasan narkoba yang dicanangkan Presiden Filipina Rodrigo Duterte. Presiden kontroversial itu berusaha mencari simpati masyarakat dengan berjanji membunuh lebih dari 100 ribu pelaku kriminal lalu membuang jasad mereka di Teluk Manila. “Ikan-ikan pasti akan gemuk karena makan mayat penjahat tiap hari,” kata Duterte tahun lalu.

Videos by VICE

Siapa sangka, kebijakan penuh pelanggaran HAM itu disambut positif masyarakat Filipina. Sejak Duterte terpilih Juli 2016, pembunuhan ekstrajudisial terjadi setiap malam. Tidak jelas siapa pelakunya. Kadang memang operasi kepolisian, seringkali orang-orang bertopeng membawa senjata yang menjemput target naik sepeda motor lalu membunuh mereka diam-diam. Para sasaran operasi ini diklaim bandar narkoba, namun tak sedikit hanya warga miskin biasa yang bahkan tidak pernah terkait kasus peredaran narkoba.

Mayat yang berlimpangan setiap malam di sudut-sudut Ibu Kota Manila adalah pemandangan rutin. Terlalu rutin malah.

Kami menghubungi Jes Aznar, fotografer jurnalistik pemenang anugrah foto dunia, yang selama lima bulan berturut-turut rutin mendokumentasikan jasad-jasad di Filipina. Kami bertanya bagaimana pembunuhan tanpa pengadilan itu dilakukan, dan apa tantangan para jurnalis lokal saat mendokumentasikannya.

Jes mengaku siklus hidupnya terbalik lima bulan terakhir. Pagi sampai siang dia tidur, sementara sore sampai larut malam akan dia gunakan untuk mencari temuan jasad baru yang dibuang. Berkat kerja kerasnya, media massa Internasional mendapat gambaran utuh mengenai kekerasan mengerikan yang sedang terjadi di Filipina. Foto-foto Jes telah dimuat di New York Times, Getty, dan Der Spiegel.

Halo Jes, bisakah kamu ceritakan seperti apa caranya liputan mencari jasad baru tiap malam? Apakah kamu mengikuti polisi atau menghubungi masyarakat?
Jes Aznar: Semua jurnalis nongkrong di press room Kepolisian Manila. Ini kantor polisi terbesar. Semua orang yang mencari berita menunggu di sana, wartawan lokal, jurnalis asing, fotografer. Kami biasa menunggu di press room. Tapi wartawan tidak bisa langsung ke TKP bersama polisi. Mereka melarang media massa ikut operasi lapangan. Polisi beralasan takut TKP tercemar, juga soal keamanan kami, dan lain-lain. Kami hanya diberi akses kalau penembakan sudah berakhir. Intinya kalau sudah ada jasad. Justru yang paling banyak memberi bantuan info pada wartawan adalah pegawai kamar mayat. Mereka sudah mendapat informasi beberapa jam berikutnya kalau akan ada bandar narkoba ditembak. Kadang mereka ngirim whatsapp atau LINE terus bilang, “hey, nanti penembakan di daerah ini, kami nanti yang ngurus mayatnya.”

Seorang petugas forensik memeriksa jasad Paul Lester Lorenzo, 32, yang ditembak mati polisi di pinggiran Kota Manila pada 17 Agustus 2016. Istri Lorenzo, Aileen Ferrer, menyatakan suaminya sempat terlihat diborgol polisi hidup-hidup, tapi kemudian dalam beberapa jam ditemukan sudah jadi mayat.

Kamu harus mewawancari orang-orang yang berduka karena kehilangan anggota keluarganya dalam penembakan itu. Ada cerita yang paling menyentuhmu?
Setiap saat, persis setelah penembakan, keluarga yang mendapat informasi pertama kali akan terguncang. Mereka menjadi emosional. Mereka pasti menolak bicara dengan wartawan. Kami mengerti. Kami tidak akan memaksa. Kami baru datang besok atau lusanya, lalu pelan-pelan mengajak mereka bicara. Pasti berat sekali kan saat mengetahui anak, suami, atau saudara kalian ditembak mati begitu saja di jalanan. Kami akan tetap mencoba bertanya pada hari H, tapi yang ringan-ringan saja. Misalnya, siapa nama kalian, bolehkah kami datang ke rumah besok? Dan sebagainya. 

Saking banyakya penembakan, saya jadi bingung harus memilih cerita yang mana yang paling menyentuh. Gimana ya, soalnya pembunuhan terjadi setiap malam. Tidak mungkin kami bisa membuat peringkat cerita terbaik atau yang paling menyedihkan. Rata-rata ada 10 penembakan setiap malam, sejak Juli tahun lalu. Bisa kebayang kan, betapa banyak orang yang mati dan TKP yang harus didatangi. Tapi, kalau memang harus memilih, saya selalu tersentak melihat rata-rata kondisi jasad. Jenazah korban dibuang tanpa identitas, tergeletak begitu saja di jalanan. Tangan dan kaki terikat, mulut biasanya disumpal lakban. Wajah mereka juga ditutup plastik. Mayat baru tak ada bedanya dari mayat yang kami lihat tahun lalu. Seperti rutinitas. Kenyataan ini menyentak saya. Mereka ini manusia lho. Punya nama, punya keluarga, punya cerita. Tapi dia kemudian dibunuh, dinistakan begitu saja, tanpa diberi keterangan siapa namanya. Mereka dibuang bagaikan bangkai hewan. Di momen seperti itu, saya merasa marah dan sedih, sekaligus terganggu. Saya tidak ingin mati dengan cara seperti itu. Siapapun, manusia yang punya martabat, tidak akan rela jasadnya diperlakukan seperti itu.

Foto oleh JES AZNAR

Ada berapa TKP pembunuhan yang sudah kamu datangi setidaknya sejak akhir tahun lalu?
Aduh, susah menghitungnya. Setidaknya puluhan lah.

Duterte bulan lalu bilang perang narkoba akan dihentikan sementara. Apakah artinya teror pembuangan jasad misterius ini akan berhenti?
Mungkin dalam waktu dekat tentu berhenti. Tapi jangan lupa, kata-kata presiden dengan kebijakan hitam di atas putih itu berbeda. Walaupun mereka bilang perang narkoba dihentikan sementara, nyatanya penembakan masih terjadi kok. Polisi mengganti istilah teknisnya saja. Pernah beberapa malam lalu, ditemukan mayat mati ditembak. Para wartawan memastikan pada jubir polisi, apakah itu korban penembakan misterius. Tapi polisi membantah. ‘oh, itu bukan terkait kasus narkoba, tapi perampokan mobil, dst.’

Bagaimana sih modus penembakan misterius di Filipina? Kabarnya pelaku mengendarai sepeda motor?
Ada banyak metode pembunuhan sih. Salah satunya itu. Ada tim yang mengendarai sepeda motor. Biasanya tim penembak misterius ini boncengan satu motor dua orang. Mereka bakal ngebut, berhenti pas di dekat posisi sasaran, terus menembak mati korban dari jarak dekat. Sebelum terjadi insiden macam itu, warga pasti bilang beberapa hari sebelumnya ada orang asing seliweran di sekitar perkampungan mereka. Sepertinya mereka itu intel yang memetakan kebiasaan sasaran, jam dia keluar rumah, dan semacamnya.

Metode lain adalah tim lebih dari lima orang pakai topeng merangsek masuk ke rumah, sasaran, menembak mati satu orang, kadang lebih. Tahun lalu, operasi semacam ini sering terjadi dan polisi mengakui merekalah yang merangsek ke rumah. Alasan polisi sih ada pengedar narkoba di rumah tersebut. Mereka melakukan operasi untuk menangkapnya. Tapi beberapa jam setelah ada kabar itu, kami dapat informasi lain kalau orang yang ditangkap sudah mati. Polisi kemudian bikin jumpa pers seadanya, bilang kalau tersangka berusaha kabur atau merebut senjat petugas sehingga terpaksa “dilumpuhkan”. Sebetulnya lucu juga dipikir-pikir. Ternyata ribuan penjahat di Filipina berusaha merebut senjata polisi saat tangan mereka diborgol. Metode pembunuhan lainnya adalah penghilangan misterius. Sosok yang sudah diincar tiba-tiba tak kelihatan lagi berhari-hari. Tidak jelas kapan mereka diculik. Tiba-tiba saja orang yang hilang tadi sudah teronggok jadi mayat di jalanan, jauh dari rumah mereka. 

Nestor Hilbano menghibur istrinya, Alma, yang tersedu-sedu setelah tahu putra mereka telah terbujur kaku di gang sempit kawasan Tatalon. Richard Hilbano, anak mereka, ditembak polisi atas tuduhan terlibat perdagangan narkoba. Polisi mengklaim Richard sedang merokok ganja bersama tiga temannya. Mereka semua ditembak mati saat itu juga. JES AZNAR

Jadi keluarga atau tetangga saja sampai tidak tahu ada yang diculik dan tiba-tiba mereka sudah jadi mayat?
Betul. Di jasad orang yang diculik itu akan terpasang karton atau potongan kardus yang ditulisi spidol. Tulisannya ‘saya pengedar narkoba’ atau ‘saya pecandu narkoba’, dan semacamnya. Karena itulah, rasanya, di Filipina jika kalian tidak suka seseorang, tinggal culik saja dia, bunuh, lalu pasang kardus yang mengesankan dia itu pengedar. Tidak akan ada polisi yang menyelidiki kasus tersebut.

Ada kabar militer Filipina akan dilibatkan dalam perang narkoba. Apakah pembunuhan bisa meningkat?
Tentu saja. Tentara Nasional Filipina (AFP) adalah kombatan, sementara polisi itu warga sipil bersenjata. Mandat dan tugas pokok serta fungsinya berbeda. Di negara manapun pasti sama. Seharusnya kita tidak menugaskan militer untuk mengurus keamanan warga sipil. Filipina sudah terlalu sering mengalami pelanggaran HAM oleh tindakan militer, terutama pada era Diktator Ferdinand Marcos. Pelanggaran tak kunjung berhenti setelah Cory Aquino merebut kekuasaan, bahkan sampai presiden-presiden selanjutnya berganti. Militer negara kami sudah terbiasa dengan pelanggaran HAM. Jadi, jika Duterte bilang militer bisa terlibat perang narkoba, kita sudah bisa menduga hasilnya seperti apa.

Katakanlah militer jadi terlibat perang narkoba, apa yang paling mungkin terjadi? 
Selama ini militer lebih banyak ditempatkan di selatan Filipina, di kawasan pemberontak. Saya menduga perang narkoba akan terjadi hingga pelosok-pelosok desa, di pegunungan, sawah. Artinya pembunuhan ekstrajudisial akan terjadi tak hanya di kawasan perkotaan. Tentu saja itu baru perkiraan awal. Kita lihat saja nanti seperti apa hasilnya.

Walaupun kebijakannya dikecam komunitas internasional, popularitas Duterte di mata rakyat Filipina masih sangat tinggi. Apa alasannya?
Saya sih tidak terkejut. Banyak warga memang lelah melihat angka kejahatan yang sangat tinggi di Filipina beberapa tahun belakangan. Rakyat kecewa melihat pemerintah sebelumnya menangani kemiskinan dan juga kriminalitas. Sementara oligarki orang-orang terkaya Filipina seakan mengendalikan negara. Orang-orang muak kemudian mereka menjatuhkan harapan pada Duterte, sosok yang bukan berasal dari keluarga elit politik di Filipina. Banyak orang memandang Duterte sebagai juru selamat. 

Apakah Duterte, terlepas dari perang narkoba ini, memang berhasil membawa perubahan pada Filipina?
Harus diakui, beberapa menteri di kabinet Duterte bekerja dengan baik. Ada banyak prgram pro-orang miskin serta kebijakan yang menjangkau warga pedesaan. Belum lama ini menteri lingkungan di negara kami menghentikan izin perusahaan tambang besar yang merusak lingkungan. Jadi, dari sisi jurnalis sendiri memang tidak bisa mengecam seluruh kebijakan Duterte hanya karena perang narkoba tersebut.

Jadi, bagaimana cara kalian meliput pemerintahan Duterte yang punya banyak sisi?
Satu hal yang patut diingat. Filipina merupakan salah satu negara yang paling berbahaya bagi jurnalis di dunia. Kami bisa jadi berada di urutan kedua, setelah Suriah. Setidaknya dua jurnalis di Filipina terbunuh setiap pekan. Sejauh ini, memang belum ada wartawan yang terbunuh karena meliput perang narkoba. Tapi, jika kalian melihat media sosial, ada banyak kecaman dari pengguna Internet di Filipina terhadap para wartawan. Kami dianggap memfitnah Duterte, ketika media kami menulis laporan kritis terhadap kebijakan pemerintah. Kami dianggap dibayar oleh kalangan oposisi untuk menjelek-jelekkan pemerintah. Bahkan, surat kabar kredibel seperti the New York Times tidak luput dari kecaman. Bayangkan, New York Times, Der Spiegel, Aljazeera, CNN, BBC, semua dituding media bayaran kubu anti-Duterte. Tentu saja semua tudingan itu gila. Warga Filipina sekarang memusuhi jurnalis, mereka menganggap remeh kebebasan pers, dan juga mengabaikan faktor keselamatan jurnalis saat bekerja di lapangan.

Selama merekam pembunuhan di jalanan Manila, saya sudah sering menerima ancaman pembunuhan dan juga serangan di Internet. Pertama kali aku memotret foto pembunuhan itu tahun lalu untuk program Open Society. Padahal foto ini cuma diunggah di Instagram. Bayangkan, instagram doang. Dalam beberapa jam tiba-tiba pesan-pesan penuh kebencian masuk ke inbox Instagram itu. Lalu, foto-foto saya dimuat di the New York Times, dan saya terlibat pembuatan video dokumenter Davao Death Squad. Itu adalah kelompok pembunuh bentukan Duterte ketika dia masih menjabat Wali Kota Davao. Setelah video itu tayang saya menerima ribuan kecaman. Saya mulai mengurangi meliput pembunuhan narkoba sejak Januari lalu. Saya kelelahan. Semua kekerasan ini tentu terlalu berat untuk dicerna otak orang biasa. Saya terlalu rutin melihat jasad dan menyaksikan keluarga-keluarga menangis kehilangan orang yang mereka sayangi. Saya sempat ingin cuti panjang untuk mejauhkan diri dari semua gambaran kekerasan mengerikan itu.

Apa harapanmu terhadap masa depan Filipina? 
Kita semua pasti punya harapan. Tapi, sebagai jurnalis, apa yang bisa kami lakukan? Buat saya, kami harus terus berjuang melaporkan semua cerita-cerita di lapangan. Kami harus menceritakan semua peristiwa penting pada para pembaca dan pemirsa. Itu tugas kami. Jika memang foto dan berita kami bisa mengubah keadaan, kami akan sangat bersyukur. Tapi apa yang di luar kuasa kami sebagai wartawan, tentu kami tidak bisa berbuat apa-apa. Kami terus bekerja saja sebaik mungkin.


Kalian bisa melihat portofolio Jes di situs 
www.jesaznar.com  atau follow Instagram-nya di akun jeszmann

Follow Tess di  Twitter @tessairini